Mohon tunggu...
Andi Metta
Andi Metta Mohon Tunggu... wiraswasta -

sesederhana tulisanku seperti itulah aku ingin kau mengenalku

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Untaian Melati

14 Agustus 2012   20:25 Diperbarui: 25 Juni 2015   01:46 198
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Senja romantis ditemani gerimis. Jalanan makin basah oleh langkah-langkah tergesa. Saat waktu menciptakan jembatan antara kenangan dan angan, aku masih diam terpaku, menatap cermin yang memantulkan bayanganku---menghitung detik yang semakin jauh meninggalkan masa lalu. Sekali lagi, kurapikan untaian melati yang tersemat di rambutku. Malam ini, aku ingin terlihat cantik di depanmu.

Dalam perjalanan menujumu, dadaku berdetak tak karuan. Jarak yang terentang memaksa ingatan meloncati dinding-dinding kenangan. Kita pernah melewati jalan ini sambil merangkai mimpi. Lampu-lampu jalan yang sama, menjadi saksi sebuah pelukan penuh janji.

“Kita nikah yuk?” ajakmu tiba-tiba. Di dalam mobil---dalam perjalanan pulang sehabis menikmati satu tahun kebersamaan kita.

“Ah, becanda kamu mas,” jawabku sambil tertawa. Aku menduga, kau sengaja menggodaku malam itu. Kau menatapku dalam-dalam. Tanganmu meraih jemariku, menggenggamnya erat. Kita terdiam dalam tatapan mata yang berbicara. Aku mencoba menerjemahkan tatapan matamu yang berkata tentang cinta. Sepertinya dugaanku salah, kau sama sekali tidak bercanda.

********

Bunyi roda kendaraan berkejar-kejaran dengan irama detak jantung yang semakin memburu. Deru napasku kian tak menentu. Kulipat kembali kenangan bersama gerimis yang telah usai. Aku hampir sampai. Gedung tua romantis telah dihiasi janur kuning---sebagai tanda ada pesta pernikahan di sana. Semua terlihat indah, seperti yang kita pernah rencanakan dulu.

“Di gedung ini saja yah sayang,” usulku waktu itu.

“Tapi ini gedung tua sayang,” protesmu.

“Tapi ini romantis, kalau sudah dihias pasti berbeda,” jelasku, sambil menarikmu masuk ke dalam gedung tua yang lebih mirip museum itu.

Di dalam gedung, terdapat sebuah taman terbuka yang tepat berada di tengah-tengahnya. Kita bisa langsung memandang langit di sana. Saat itu, matahari telah bersembunyi ke belahan bumi lainnya. Bulan dan bintang menghias langit malam dengan sempurna. Lampu-lampu taman mulai menyala satu persatu, memantul ke setiap penjuru. Dilihat dari tengah taman, gedung itu terlihat eksotik dengan segala estetika masa lalu yang masih terjaga---menciptakan aura romantika yang menggoda. Aku yakin kau merasakan hal yang sama.

“Bagaimana? Benarkan gedung ini terlihat romantis?”

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun