Kutemui kau sepagi ini, karena kerinduan tak bisa kutahan lagi. Kita berdiri berhadapan seperti biasa, saling tatap penuh cinta. Ingin rasanya aku menyentuh pipimu yang merona jingga---seolah senja rebah di sana.
Aku telah mengenalmu begitu lama. Mungkin sejak aku dilahirkan atau membuka mata, entahlah. Yang kutau engkau telah ada di sana dan aku jatuh cinta pada pandangan pertama.
Tapi cinta kita terlarang, sayang. Mereka tak pernah mengerti tentang kita. Katanya aku gila. Ibuku bilang, akal sehatku sudah hilang. Mencintaimu adalah sebuah kesalahan. Tentu saja, mereka tidak pernah tau bagaimana kita dipertemukan oleh luka.
Kita sama-sama nista. Kehormatan yang tercerabut paksa. Lalu kita menjadi hina. Menelan derita diam-diam dan menyimpannya dalam airmata. Inilah luka yang membuat kita jatuh cinta.
Matamu tiba-tiba tergenang. Kesedihan yang selama ini kau simpan jadi terkenang. Maafkan aku membuatmu sedih. Jangan menangis, sayang. Selamanya kita akan bersama. Persetan dengan mereka!
Lalu kau kembali tersenyum dengan bibir menggoda. Aku kehilangan kata-kata. Kukecup kau tiba-tiba. Bibirmu begitu hangat, sayang. Sehangat mentari pagi ini. Lalu sekali lagi ku kecup bibirmu dengan lembut. Kali ini lebih lama---karena aku ingin kehangatanmu merasuki ruang batinku yang terluka. Bibir kita bertaut sempurna, seakan surga ada di depan mata.
“ALINAAA..!!” suara teriakan yang kukenal memanggil namaku.
“I..i…ibu,” suaraku tergagap. Ah, kita tertangkap basah sayang.
“Singkirkan cermin itu!! Sebelum kau benar-benar masuk Rumah Sakit Jiwa!”
(AM)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H