Nyanyian hujan makin pelan terdengar, seiring derasnya yang makin mereda. Aku seperti melihat siluet tubuhmu di antara tarian rinai air yang begitu indah. Kali ini aku duduk sendiri bersama secangkir kopi hangat — bukan lagi susu cokelat seperti dulu. Beberapa Februari telah terlewati, hujan masih saja setia membawa kerinduanku padamu. Kureguk habis sisa kopi dalam cangkir lalu berdiri dan menyentuh rintik hujan yang tersisa dengan telapak tanganku. “Ini mungkin sisa hujan terakhir di bulan ini, kita bertemu lagi di musim hujan yang akan datang. Simpanlah rindumu pak, simpanlah untuk anakmu.”
Hujan pun berhenti bersama datangnya malam. Dan kulihat rembulan sudah tersenyum. Kudekap tangan basahku seakan mendekapmu. Buatku, kita tak pernah berpisah karena kau hidup dalam hatiku.
“Aku menyayangimu, lelaki hujanku.”
(AM)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H