Untuk menghilangkan jejak suara kejayaan di masa itu, VOC menjadikan Fort Roterdam sebagai pusat kotanya, dan membiarkan Somba Opu menjadi kota mati. Ia lupa bahwa Fort Roterdam (baca: Jung Pandang) tetaplah menjadi lambang keramahan kerajaan Makassar. Segala aturan direkontruksi, Makassar yang awalnya menjadi rumah bagi semua bangsa, oleh VOC dijadikan ekslusif untuknya. Saat di timur sedang mengalami kegelapan, di abad 19 Eropa berhasil membangun daerahnya. Para pemilik modal kelebihan uang, sehingga tidak tahu bagaimana memakannya lagi. Olehnya, para pemodal melobi pemerintah, yang akhirnya menerbitkan Aturan Pemerintah Belanda dalam Staatsblad van Nederlandsch Indie 1870-118 menyangkut undang-undang agraria (Agrarisch Besluit) yang mungkinkan para pemodal menguasai tanah di daerah koloni. Jadilah laut dikuasai, tanah dibeli. Penduduk Makassar terasing dari dirinya sendiri.Â
Tidak hanya itu, seluruh aturan tentang pemerintahan yang menjadi jejak masa lampau dirombak, sedemikian rupa. Nama memang sangat ampuh untuk dimainkan, menghapus nama, sama dengan menghapus sejarahnya. Undang-undang desentralisasi tahun 1903 diberlakukan, muncullah 56 daerah otonom di Provinsi Sulawesi hingga tahun 1948 saat itu di bawah pemerintahan NIT. Pengaturan wajah kota dipoles sedemikian rupa untuk mengkapling jejak globalisasi modern yang ditinggal oleh bangsa Eropa. Balaikota sekarang adalah saksi pemerintahan HB sementara Fort Roterdam (sekali lagi baca Jung Pandang) dan Somba Opu masih ramah menyapa para tetamu untuk sekedar wisata rekreasi sejarah melihat kejayaan dan kesedihan dalam wajah kota lama.
lalu disinilah saya ingin menggaris bawahi, sejarah mana yang dikaburkan oleh Pemerintah sekarang? seperti yang dikatakan oleh Dias Pradadimara, jika hanya sekedar ingin menilik lokalitas di masa lalu? Bahwa hukum atau aturan memang berganti, tapi sejarah peradaaban adalah sebuah kontuinitas yang terus berlangsung. Kehadiran Kerajaan Makassar tetaplah menjadi sejarah untuknya, telah ditulis dalam lontara dan menjadi tradisi lisan dalam sepenggal lagu Anging Mammiri, bukan penggalan modernitas globalisasi yang disulap oleh zaman baru, lalu membibir pada kematian kota lama.
selamat menyambut ulang tahun kota Makassar 409, 9 November 1607-2016. Semoga sinergitas selalu terjalin di dalamnya. Habiskan tehmu guys, dan mari mendendangkan sinrili’.
(Tulisan ini saya tulis dengan menggunakan referensi jurnal-jurnal Dipesh Chakrabarty)
Perpustakaan UI, menjelang Magrib 17.59 WIB.
https://www.facebook.com/andilili.evita