Saya sadari bahwa profesiku yang ku jalani sejak Tahun 1991 hingga sekarang ini, Jauh sebelum Undang Undang no.40 Tahun 1999 Tentang pers di sahkan. saya banyak menemui masalah "Delik Pers" karena pada saat masa orde baru berkuasa wartawan tidak se-enaknya bisa menulis dan bahkan pemberitaan tersebut harus diketahui sumber baru bisa diberitakan sehingga dapat dikatakan tidak ada kebebasan pers saat itu.
Bayangkan saja seorang pejabat negara saat itu rela menjual istrinya demi mendapatkan pangkat atau jabatan sehingga dengan keberanian aku tuangkan dalam karya jurnalistik saat itu sehingga menjadi berita yang menghebohkan, akhirnya saya sebagai penulis harus menerima kenyataan dikejar kejar oleh anggota ABRI saat itu dan dicari, seperti bocoran dari anggota ABRI kalau saya akan di bunuh atau ditangkap hidup atau mati. Begitu kejamnya masa orde baru seorang pejabat tidak mudah untuk disoroti oleh publik. dan untuk menghindari kejaran petugas maka saya menyamar sebagai kuli bangunan demi bertahan hidup.
Saat reformasi bergulir dan kebebasan pers disahkan dengan UU pers No.40 Tahun 1999 Tentang Pers masih saja Kebebasan pers terkesan ditekan oleh pejabat,sehingga untuk menulis karya jurnalistik kita harus memperhatikan semua isi berita. apakah berita yang kita hasilkan ada delik pers-nya atau tidak..???
Padahal seharusnya sumber yang diberitakan memiliki hak jawab, kalau berita hasil karya jurnalistik itu membuatnya keberatan atas tulisan yang ditayangkan dalam media cetak atau online. Karena Wartawan dalam membuat karya jurnalistik sudah memenuhi unsur unsur atau ketentuan ketentuan dan aturan yang berlaku tapi karya jurnalistik selalu saja dipersalahkan karena sebuah berita seharusnya diperlihatkan dulu kepada sumber yang akan diberitakan baru bisa di muat di media cetak. kalau hal ini dilakukan maka wartawan yang akan kena dampaknya dari masyarakat. karena pejabat tidak mengetahui kalau "kebebasan Pers itu adalah milik rakyat". dan kami Wartawan bukan hakim yang bisa menentukan orang bersalah tapi kami selalu menulis dengan kata "Dugaan" karena azas praduga tak bersalah harus kita kedepankan dalam membuat karya jurnalistik.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H