Salah satu hal yang layak disyukuri untuk era reformasi adalah pembaharuan dibanyak bidang, salah satunya adalah keterbukaan informasi. Dengan jatuhnya Soeharto yang memerintah Indonesia selama 32 tahun dan merepresi (menekan) banyak hak dari warga, pada era reformasi, gaya represif ala Soeharto tidak ada lagi.
Sewaktu reformasi berjalan, presiden kita adalah Presiden Abdurrahman Wahid dan wakil presiden Megawati. Abdurrahman atau disebut Gus Dur waktu itu menata kembali tatanan hak warga. Mulai dari kebebasan berpendapat, kebebasan media untuk emmberitakan sesuatu sampai pada keterbukaan Gus Dur pada beberapa kolompok keyakinan dan etnis yang sebelumnya ditekan oleh Orde baru.
Karena itu Kong Hu Cu yang merupakan satu agama yang banyak dianut oleh etnis Cina di Indoensia, diakui keberadaannya secara resmi saat pemerintahan Gus Dur. Begitu juga tahun baru Cina dijadikan Gus Dur sebagai hari libur untuk menghargai kaum Cina yang memang banyak di Indoensia.
Hal lain yang penting dan sudah disinggung sebelumnya , pada masa reformasi kita mendapatkan kebebasan untuk mengekspresikan sesuatu, entah itu pendapat atau mendapatkan informasi terhadap segala sesuatu.Kebetulan waktu itu dunia termasuk Indoensia mengalami revolusi informasi, sebuah revolusi yang mengubah banyak hal di dunia, termasuk adanya internet dan media sosial .
Platform seperti instagram, twitter, facebook dan Tik tok menawarkan berbagai konten yang bisa memuaskan para pengguna media sosial itu. Namun di sisi lain, adalah terjangkaunya faham transnasional yang ada di beberapa negara dan kemudian masuk dan teramplifikasi (menyebar dengan cepat) di Indoensia.
Salah satunya adalah pengaruh faham transnasional dari Hisbut Tahrir. Hisbut Tahrir artinya Partai Pembebasan dalam bahasa Arab, yang didirikan oleh Taqiuddin al-Nabhani dan tersebar di 45 negara sampai saat inil
Faham ini mengusung gerakan untuk mewujudkan kembali khilafah Islamiyah (atau negara Islam) secara global. Secara teoritis, pendirian ini ditujukan untuk tegaknya syariat Islam pada level politik dan kemasyarakatan. Â
Gerakan global yang masuk ke Indoensia ini menjadi HTI yang secara cerdik dan licik menggunakan media sosial untuk mempengaruhi pandangan generasi muda terhadap agama. Bahkan pada bulan Februari lalu, beberapa eks tokohnya menggelar acara di Taman Mini Indoensia Indah dan diikuti oleh sekitar 1200 orang dan sebagian besar adalah anak muda.
Sebagaimana ISIS menyebarkan mimpi dan pengaruh mereka, HTI selalu memakai media sosial sebagai alat untuk menyebar luaskan propaganda mereka dengan kemasan menarik dan mudah dicerna. Sama dengan apa yang dialukan ISIS, mimpi mereka adalah sekadar mimpi dan jauh dari kenyataan.
Untuk itulah generasi muda memang harus bersikap/ berfikir skeptis dan tidak mudah terpengaruh oleh informasi yang mereka temukan di media sosial. Seharusnya mereka bisa memverikasinya. Jangan sampai pemuja HTI, terjerembab pada kisah-kisah pilu pemuja ISIS.Â