Ada jajak pendapat yang menarik yang dilakukan oleh sebuah media nasional yang berkantor pusat di Jakarta. Jajak pendapat itu berkisar pada perayaan Idul Fitri atau di Indonesia disebut Lebaran. Hasil jajak pendapat itu menyatakan bahwa Lebaran itu diperuntukkan untuk seluruh warga Indonesia tanpa memandang soal agama. Pendapat ini diungkapkan oleh warga baik muslim maupun non muslim.
Fenomena ini memang masih bisa kita lihat kental pada masyarakat kita. Banyak non muslim yang pulang kampung saat libur lebaran yang panjang itu. Mereka rela antri untuk mendapat tiket maupun menyetir sendiri sampai kampung mereka dan bertemu dengan orangtua, sanak saudara maupun kerabat jauh.Â
Liburan panjang itu juga sering mereka manfaatkan dengan berkumpul dengan teman waktu sekolah dasar / menengah, teman waktu kuliah maupun saat pertama kali membangun karir di tempat asal.
Di beberapa kota kecil kita melihat toleransi yang begitu indah yang ditampakkan dari warga dengan perbedaan agama. Sewaktu salat Id misalnya, beberapa orang non muslim menyediakan koran untuk dipakai sebagai alas salat. Mereka berdiri berjajar di depan lapangan dan membagikan koran-koran kepada umat yang datang untuk salat.
Di sebagian kampun dan perumahan di kota, toleransi juga terjaga dengan kebiasaan untuk saling bermaafan tepat selesai salat Id. Para warga kampung atau perumahan berjajar baik itu muslim atau non muslim untuk saling bermaafkan dan menyampaikan selamat merayakan hari raya Fitri. Ucapan itu tanpa memperhatikan sekat agama apa dan kepercayaan apa.
Banyak keluarga terutama keluarga besar sering memiliki anak yang berbeda agama dan mereka membawa keluarganya untuk pulang kampung. Mereka berkumpul, dan yang muslim akan menunaikan salat Id dan saudara mereka yang berbeda agama akan memasak bersama dan kemudian dimakan bersama-sama. Anak-anaknyapun akan bermain bersama, sebagian bermain kembang api atau bercengkrama bersama.
Situasi ini memberikan sinyal kuat bahwa Idulfitri itu punya karakter inklusif dan terbuka untuk semua kalangan yang berbeda keyakinan sekalipun. Mereka sama-sama bergembira ria meski dengan pemaknaan berbeda. Situasi ini mereka jaga dengan baik, sehingga menimbulkan kebahagian bersama.
Ini tak lepas dari sejarah bagaimana Islam berkembang di Indoensia. Sebagian melalui perdagangan dan kebudayaan. Tidak ada pemaksaan atau kekerasan saat itu, sehingga sebagian warga yang akhirnya memeluk Islam menerimanya dengan baik. Bagi yang tetap pada keyakinannya juga tida berkeinginan merusak keyakinan yang diyakini  oleh teman atau kerabat mereka.
Jalur budaya dipilih oleh para wali ketika berkembang di jawa karena dianggap tidak akan merusak hubungan horizontal - antar warga-. Islam tidak meniadakan atau memusnahkan tradisi yang hidup di tengah masyarakat waktu itu (sebagian adalah Hindu Budha dan aliran kepercayaan). Peleburan ajaran Islam ke dalam sendi-sendi kebudayaan bangsa seperti demikian lantas melahirkan berbagai ragam tradisi Idulfitri yang sangat khas Indonesia, seperti mudik dan halal bihalal.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H