Ada fenomena yang tidak biasa bagi bangsa Indonesia pasca Pilpres 2014 dan 2014 dan Pilkada Jakarta 2017. Rakyat terbelah karena perbedaan pilihan politik. Ketebelahan itu mengejutkan banyak orang termasuk yang menjadi pelaku pembelahan itu karena mereka tidak menyangka rakyat begitu saling antipati hanya karena perbedaan pilihan politik.
Fenomena ini tidak ada pada pemilu-pemilu sebelumnya. Kita tahu Pemilu langsung dalam Pilpres ada sejak tahun 2004. Saat itu Presiden Susilo Bambang Yudoyono terpilih menjadi Presiden. Setelah itu pada tahun 2009, berlaku hal yang sama.
Situasi agak berubah ketika Pemilu 2014 akan berlangsung. Saat itu beberapa partai diantaranya partai politik agama memakai politik identatias sebagai strategi dalam menggaet massa. Strategi ini memang pernah dipakai pada pemilu beberapa negara dan berhasil. Mereka berkampanye di rumah-rumah ibadah dan memakai agama sebagai alat untuk menggaet pemilih. Akibatnya, beberapa kalangan yang punya basis ajaran agama trans nasional memberikan pengaruhnya sehingga banyak warga negara yang terpikat.
Keterbelahan dan mengabaikan persatuan seperti yang termaktub dalam Pancasila, terjadi pada banyak kalangan. Saat itu (tahun 2019) partai-partai yang memakai strategi politik identitas meraih 44 % suara rakyat, sedangkan yang nasionalis mendapai 55 %.
Saat itu (termasuk Pilkada Jakarta) pertarungan dalam meraih simpati masyarakat sangat keras dan pertentangan di luar nalar. Ujaran kebencian mewarnai sebagaian besar ruang komunikasi baik nyata maupun maya. Akibatnya, anak-anak kecil dan remaja yang belum punya hak pilih dengan mudah melontarkan kata kata kotor dan bernada kebencian, baik di jalan, di media sosial dan dimana mana.
Situasi saat itu sangat jauh dari akal budi. Akal budi kita biasanya berisi nilai-nilai moral yang diajarkan di keluarga dan rumah ibadah. Semuanya itu tidak berarti hanya karena kontestasi. Keterbelahan mengancam bangsa , sampai pada keluarga. Banyak keluarga retak karena perbedaan pilihan. Begitu juga dengan persahabatan. Tidak ada hal yang bisa meneguhkan persatuan kala itu.
Pemilu 2024 telah berlalu. Keterbelahan karena politik identitas memang takada, tetapi  di sana sini, masih ada pihak yang tidak memakai akal budi dalam menyikai pesta demokrasi ini. Akibnatnya pertentangan masih ada meski tidak sebesar pada tahun 2019.m
Untuk saja pesta demokrasi kemarin berlangsung dnegan aman dan partisipasinya mencapai 85% dan didominasi generasi Z. Ini adalah momentum bahwa dalam pesta demokrasi, meski berbeda pilihan politik, tapi kita wajib merawat akal budi dan juga merawat persatuan Indonesia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H