Ajining Diri Dumunung Aneng Lathi. Demikian petuah para leluhur bangsa Indonesia. Mengajarkan kepada kita bahwa kualitas diri terletak pada tutur kata. Berbahasa dan berkata mengandung energi yang menunjukkan diri kita, bisa membangun (penuh welas asih) atau merusak (penuh kebencian).
Dulu tentu kita begitu akrab dengan nasehat orang tua yang mengatakan 'ndak ilok', 'pamali', 'asa unang', kepada  anak-anaknya apabila berucap yang tidak sesuai norma agama maupun sosial.
Ketika setiap individu mampu meningkatkan kualitas bicaranya, otamatis kualitas dirinya akan semakin meningkat. Dan akhirnya berdampak pula pada peningkatan kualitas bangsanya. Pertanyaannya, apakah masyarakat Indonesia masih menjalankan petuah leluhur itu?
Sebagaimana kita ketahui bersama saat ini kehidupan sosial tak hanya di ruang nyata, melainkan juga secara maya.
Jika dulu seseorang mampu menjaga bicaranya karena bertatap muka dengan yang diajak bicara, maka saat ini ada kemungkinan tidak demikian lagi. Begitu banyak yang saling melontarkan ujian kebencian dengan bersembunyi dibalik akun media sosial anonim.
Ujaran kebencian  (Hate Speech) adalah tindakan komunikasi yang dilakukan oleh suatu individu atau kelompok dalam bentuk provokasi, hasutan, ataupun hinaan kepada individu atau kelompok yang lain dalam hal berbagai aspek seperti ras, warna kulit, gender, cacat, orientasi seksual, kewarganegaraan, agama dan lain-lain.
Di Indonesia kasus ini diatur dalam Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik Pasal 28 ayat (2) . Namun demikian masih banyak yang berani menyebarkan ujaran kebencian, terbukti pada tahun 2018, dalam jangka 2 bulan (januari-februari) Direktorat Tindak Pidana Siber Bareskrim Polri sudah menciduk 18 orang terkait kasus ujaran kebencian.
Beragam kasus ujaran kebencian yang terjadi terkadang hanya menguntungkan pihak tertentu. Tak jarang ada pihak tidak bertanggung jawab yang menyebarkan berita bohong (hoax) agar kita terprovokasi untuk mengecam, mengolok orang lain.
Hal itu akan terus menjadi lingkar kebencian yang lebih besar ketika narasi kebenciaan yang kita ucapkan, kita sebarkan di media sosial kemudian ditanggapi oleh orang lain dan itu tersebar lagi pada orang selanjutnya.
Tentu kita sepakat bahwa tidak ada manfaat ketika lisan ini melontarkan ujian kebencian. Yang ada hanya berpotensi memecah belah kerukunan beragama, berbangsa, dan bernegara.
Orang yang menyebarkan kebencian, dalam dirinya tentu diliputi dengan energi negatif (emosi, marah, iri), dalam kesehatan kondisi ini dapat memicu timbulnya penyakit berbahaya.
Asisten Profesor di Universitas of Minnesota, Karen Lawson, mengatakan kesehatan emosional yang buruk dapat melemahkan sistem kekebalan tubuh dan mengakibatkan beragam penyakit, seperti tekanan darah tinggi, stroke, nyeri punggung, diabetes, dimensia, kanker.
Menyadari dampak negatif dari ujaran kebencian, maka mari kita sepakat untuk berkomitmen pada diri sendiri untuk menghindari hal ini.
Dimulai dari langkah yang sederhana yakni dalam satu hari kita usahakan untuk menahan diri dari membuat dan menyebar ujaran kebencian. Munculkan gerakan hari bebas kebencian (hate free day) agar lathi kita bisa menjadi sebab ajining diri.
Ketika dalam satu hari kita berhasil bebas dari berujar kebencian, maka tingkatkan lagi menjadi dua hari dan seterusnya membiasakan hate free day. Jika ini yang dilakukan, kualitas diri semakin meningkat, bebas dari penyakit jahat, dan kualitas bangsapun ikut terangkat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H