Â
Disiplin Positif
Dalam pemahaman kita, kebanyakan kata ‘disiplin’ dimaknai menjadi sesuatu yang dilakukan seseorang pada orang lain untuk mendapatkan kepatuhan. Kita cenderung menghubungkan kata ‘disiplin’ dengan ketidaknyamanan. Kata ‘disiplin’ juga sering dihubungkan dengan hukuman, padahal itu sungguh berbeda, karena belajar tentang disiplin positif tidak harus dengan memberi hukuman, justru itu adalah salah satu alternatif terakhir dan bila perlu tidak digunakan sama sekali.
Menurut Nelsen, Lott & Glenn (2007), disiplin positif adalah sebuah model disiplin yang difokuskan pada perilaku positif murid agar menjadi pribadi yang penuh hormat dan bertanggung jawab. Disiplin positif mengajarkan keterampilan sosial dan emosional dan keterampilan kehidupan yang penting dengan cara penuh hormat dan membesarkan hati tidak hanya bagi murid tetapi juga bagi orang dewasa. Kebalikan dari disiplin positif adalah disiplin negatif yang berfokus pada hukuman. Disiplin negatif cenderung menghambat perkembangan sosial, emosional dan keterampilan hidup murid. Dengan disiplin positif, guru diharapkan dapat mewujudkan budaya positif baik di kelas maupun sekolah.
Dalam upaya menciptakan murid yang merdeka belajar, syarat utamanya adalah harus ada disiplin yang kuat. Disiplin yang dimaksud adalah disiplin diri, yang memiliki motivasi internal. Disiplin diri dapat membuat seseorang menggali potensinya menuju kepada sebuah tujuan mulia, sesuatu yang dihargai dan bermakna. Seseorang yang memiliki disiplin diri berarti mereka bisa bertanggung jawab terhadap apa yang dilakukannya karena mereka mendasarkan tindakan mereka pada nilai-nilai kebajikan universal.
Membangun budaya positif di sekolah bisa dimulai dengan membentuk lingkungan kelas yang mendukung terciptanya budaya positif, yaitu dengan menyusun keyakinan kelas. Keyakinan kelas berisi beberapa kesepakatan untuk membantu guru dan murid bekerja bersama membentuk kegiatan belajar mengajar yang efektif. Kesepakatan kelas tidak hanya berisi harapan guru terhadap murid, tapi juga harapan murid terhadap guru. Kesepakatan disusun dan dikembangkan bersama-sama antara guru dan murid.
Pada kondisi tertentu adakalanya murid memerlukan bimbingan guru dalam upaya menginsyafi alasan mereka menjadi seorang murid, nilai kebajikan apa yang mereka yakini, atau mungkin mau menjadi apa mereka di masa medatang, sehingga motivasi yang terbangun adalah motivasi intrinsik, bukan ekstrinsik. Karena seseorang akan lebih tergerak dan bersemangat untuk menjalankan keyakinannya, daripada hanya sekedar mengikuti serangkaian peraturan tertulis tanpa makna.
Posisi Kontrol Guru
Merujuk teori pilihan William Glasser, ada berapa miskonsepsi dan malpraktik kita sebagai guru tentang anggapan bahwa guru dapat mengontrol murid, semua penguatan positif efektif dan bermanfaat, kritik dan membuat orang merasa bersalah dapat menguatkan karakter, orang dewasa memiliki hak untuk memaksa, bahwa semua itu hanyalah ilusi belaka.
Diane C. Gossen berkesimpulan ada 5 posisi kontrol yang diterapkan seorang guru, orang tua ataupun atasan dalam melakukan kontrol. Kelima posisi kontrol tersebut adalah Penghukum, Pembuat Rasa Bersalah, Teman, Pemantau dan Manajer.
Tanpa bisa dipungkiri bahwa praktik kita selama ini paling baik adalah sebagai pemantau, bahkan lebih buruk lagi sebagai penghukum atau pembuat rasa bersalah. Keduanya mempunyai efek kontrol jangka pendek, namun ekses negatif jangka panjangnya tidak baik. Alih-alih menurut, murid malah bisa memendam rasa benci dan penolakan kepada guru.