Mohon tunggu...
Andiko Nanda Fadilah
Andiko Nanda Fadilah Mohon Tunggu... Guru - Mahasiswa S1 Pendidikan Sosiologi FIS UNJ

Mahasiswa S1 Pendidikan Sosioogi FIS UNJ

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Pendidikan yang Mereproduksi Kesenjangan Sosial

29 Desember 2021   10:12 Diperbarui: 29 Desember 2021   10:24 271
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Bagi negara berkembang seperti Indonesia, bukanlah hal yang mengherankan ketika dipublikasikan oleh Badan Pusat Statistik terkait jumlah penduduk miskin yang pada September 2020 berjumlah 27,54 juta penduduk. 

Walaupun jumlah ini diklaim adalah imbas dari pandemi Covid-19, tapi jumlah sebanyak ini bukanlah sesuatu yang dapat diwajarkan. Seakan-akan tidak ada instrumen yang tersedia untuk menunjang mobiltas sosial naik bagi masyarakat.

Masyarakat secara umum sebenarnya sangat bisa menaikkan status sosialnya menjadi bukan masyarakat miskin lagi. Saluran untuk hal tersebut adalah, misalnya, melalui lapangan pekerjaan. 

Lapangan pekerjaan akan memberikan gaji untuk akhirnya masyarakat bisa sejahtera. Tapi perlu diingat bahwa kita tidak hidup di dunia ideal yang segala sesuatunya berjalan sesuai dengan keinginan dan kehendak kita.

Dalam dunia yang tidak ideal ini, masyarakat sangat sulit bersaing untuk mendapatkan pekerjaan, terutama masyarakat kelas menengah dan bawah. 

Keahlian yang dimiliki menjadi "senjata utama" dalam memeroleh pekerjaan yang nantinya secara kontinu menaikkan status sosial masyarakat.

Timbul pertanyaan sederhana dan mendasar, bagaimana masyarakat mendapatkan instrumen yang menjadi "senjata utama" tersebut? Apabila dilihat dari kacamata yang objektif, maka lembaga pendidikanlah yang menyediakan beragam instrumen seperti pengetahuan, keterampilan, keingin-tahuan, bahkan ideologi. 

Setelah itu, muncul pula pertanyaan yang membuntuti berikutnya, ketika sudah ada instumen pendidikan yang berfungsi sebagai penyedia instrumen mobilitas sosial, lantas mengapa masih banyak masyarakat miskin? Jawabannya adalah pendidikan di Indonesia tidak berada dalam pendirian yang ideal.

Permasalahan kesenjangan dalam ranah pendidikan telah menjadi hambatan yang struktural. Istilah struktural tercipta karena istilah kultural tidak lagi relevan dalam menggambarkan permasalahan yang kompleks ini. 

Siswa malas tidak akan memiliki gaji besar karena siswa pintarlah yang akan mendapatkannya berkat ketekunan yang ia jadikan kebiasaan dalam belajar adalah situasi yang kultural. 

Namun yang menjadi permasalahan struktural adalah ketika siswa pintar yang miskin tidak memiliki peluang besar dalam meraih kesejahteraan nantinya karena peluang tersebut telah diambil terlebih dahulu oleh siswa yang malas dan kaya.

Permasalahan dalam pendidikan inilah yang seperti inilah yang menjadi dasar argumen Bourdieu bahwa pendidikan adalah sarana mereproduksi kesenjangan sosial. 

Kesenjangan sosial yang berstandar pada perekonomian, tidak serta merta dapat teratasi dengan pendidikan yang mumpuni ketika individu yang terlahir dari keluarga miskin memiliki etos belajar yang bagus, pandai, dan sungguh-sungguh untuk mengubah status sosial keluarganya.

Bourdieu (Allolayuk, 2021) menjelaskan bahwa dalam ranah pendidikan, setiap individu harus memiliki kapital sebelum terjun ke dalam arena. Kapital dalam hal ini diartikan sebagai modal yang terklasifikasikan diantaranya kapital ekonomi, sosial, budaya, dan simbolik.

Arena yang dimaksudkan Bourdieu dikontekskan dengan arena pendidikan yaitu sekolah. Maka sebelum individu dimasukkan dalam sekolah, setidaknya individu tidak sama sekali tidak mengenal arena yang akan dihadapinya. Namun nahas, demikianlah yang terjadi di lapangan.

Menyoal kapital budaya, yakni diartikan sebagai modal kebiasaan-kebiasaan yang diberikan oleh keluarga kepada siswa (Allolayuk, 2021). 

Hal ini bisa dicontohkan seperti keterampilan berkomunikasi yang siswa pelajari dari keluarga, kemampuan berbahasa inggris, ketekunan, kedisiplinan, kemampuan ekstrakurikuler, dan beragam kemampuan dasar lainnya. 

Siswa yang berasal dari keluarga kaya secara umum telah memiliki hal tersebut karena memang memungkinkan keluarga mereka mengajari hal tersebut. 

Berbeda dengan siswa yang berasal dari keluarga miskin yang orangtuanya tidak kapabel untuk berlaku demikian, mereka cenderung menyerahkan sepenuhnya pemenuhan kapital budaya kepada sekolah.

Hal inilah yang menjadi salah satu akar kesenjangan sosial yang terus-menerus direproduksi: ketidakadilan starting point siswa secara struktural. 

Siswa dari keluarga kaya telah memiliki semua hal di atas terlebih dahulu berkat keluarga mereka yang sudah mapan, sementara siswa dari keluarga miskin sulit mendapatkan akses dan cenderung pasrah menyerahkan kepada sekolah. Sehingga ketika kedua siswa dari latar belakang keluarga yang berbeda ini dipertemukan dalam arena yang sama, siswa kaya akan lebih mudah menguasai arena sementara siswa miskin bersusah payah menyesuaikan diri terlebih dahulu lalu bersaing untuk mengejar ketertinggalan.

Kenyataan ini sangatlah mapan di masyarakat, dan output fenomena ini adalah kemiskinan yang terus menerus direproduksi. Mengapa keluarga miskin terasa sulit untuk memberikan kapital budaya selayaknya keluarga kaya? Jawabnya adalah karena mereka tidak memiliki modal untuk pengetahuan mereka dan selanjutnya menciptakan budaya untuk disosialisasikan kepada anak mereka, tidak seperti keluarga kaya. 

Mengapa keluarga miskin sulit untuk mendapatkan akses modal? Jawabnya adalah karena mereka kesulitan menembus persaingan pekerjaan dengan gaji yang mumpuni sebagai akibat dari kesenjangan kapital budaya pula yang mereka alami sewaktu masih bersekolah. Inilah lingkaran setan yang nyata dan terus menerus mereproduksi kesenjangan sosial.

Maka dengan demikian dapat ditarik kesimpulan bahwa persoalan kesenjangan sosial yang menyebabkan banyaknya kemiskinan di Indonesia karena faktor yang multidimensi, yakni keluarga yang miskin tidak dapat mensosialisasikan budaya yang positif agar menunjang pengetahuan dasar sebelum anak masuk ke arena sekolah. Siswa dari keluarga miskin akan kesulitan bersaing dalam arena karena mereka bercampur dengan keluarga kaya yang secara budaya sudah memiliki kapital yang mumpuni. Maka siswa dari keluarga kaya akan unggul dalam starting point meraih kesejahteraan.

DAFTAR PUSTAKA

Allolayuk, A. (2021). Menyingkap Sisi Gelap Pendidikan sebagai Arena Reproduksi Kesenjangan Sosial Berdasarkan Perspektif Pierre Bourdieu. Syntax Idea, 3(8), 1802-1813.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun