Mohon tunggu...
Andiko Nanda Fadilah
Andiko Nanda Fadilah Mohon Tunggu... Guru - Mahasiswa S1 Pendidikan Sosiologi FIS UNJ

Mahasiswa S1 Pendidikan Sosioogi FIS UNJ

Selanjutnya

Tutup

Money

Saat Ini Kurir Dieksploitasi dan Itu Tidak Mengapa

2 Juli 2021   04:43 Diperbarui: 2 Juli 2021   04:46 163
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bisnis. Sumber ilustrasi: PEXELS/Nappy

Kondisi di Indonesia masih sama menyeramkannya kala kasus pertama Covid-19 ditemukan, mungkin sedikit lebih baik karena tidak ada paranoia yang meresahkan, tetapi tidak beranjak menjadi sangat baik. Atau mungkin, penulis sangat naif ketika hanya melihat tolok ukur ke-"baik-baik saja"-an kondisi dengan parameter tunggal, yakni paranoia. 

Akan tetapi, penulis tidak merasa salah karena memang tingkat paranoia terhadap Covid-19 sangat rendah yang tentu saja diiringi perbandingan yang sangat tinggi dari sisi masyarakat yang tidak percaya pada Covid-19 beserta peneliti yang jumlahnya sudah melampaui batas tidak wajar.

Baikah, di luar paranoia, penulis melihat indikator lain yang sudah dapat dikatakan "lumayan" seperti ranah kesehatan karena sudah memasuki fase vaksinasi---sampai saat essai ini ditulis, kasus aktif Covid-19 tidak berkurang, bahkan alat tes GeNose ditarik dari peredaran---yang mengejar target 1 juta dosis per hari, dan ranah ekonomi yang disinyalir akan mendatangkan banyak investasi dan pertumbuhan UMKM imbas dari disahkannya RUU Omnibus Law.

Apakah hal itu negatif? Tidak juga. Lalu, positif? Belum tentu. Kenapa demikian? Ya karena penjabaran penulis di atas disampaikan dengan sifat netral, alias penulis hanya menyampaikan fakta yang dapat dilihat di media, tidak menyertakan persuasi untuk menghakimi bahwa itu negatif atau positif. 

Bagaimana cara menentukan fakta tersebut bersifat negatif atau positif? Tergantung bagaimana Anda membacanya dengan perspektif apa, apakah sebagai suatu mekanisme robot adikuasa yang besar atau sekrup kecil penunjang yang bahkan ketika patah dengan cepat diganti dengan yang lain?

Atau anda bisa melihat dengan kacamata yang lebih realistis, yakni sebagai siapa peran anda di dalam masyarakat sehari-hari? Sebagai korporat kah? Atau sebagai demonstran? Kalau anda mengidentifikasi diri Anda sebagai robot adikuasa-korporat, Anda akan mengglorifikasi bahwa Covid-19 telah ditangani sedemikian rupa dan itu berhasil, alhasil itu menjadikan dasar pada Anda untuk terus mendukung kebijakan yang berdampak secara makro seperti mendukung promosi pariwisata kala pandemi, pengesahan RUU Omnibus Law, pembijakan pembatasan mobilitas masyarakat kecil tapi tidak melakukan pembiayaan atau memberikan pembiayaan tapi dikorupsi dan melindungi pelakunya.

Sebaliknya, jika Anda mengidentifikasi diri Anda sebagai sekrup kecil pabrik-demonstran, Anda akan menyatakan bahwa pemerintah telah sangat gagal menghadapi pandemi. 

Pengesahan RUU Omnibus Law sarat akan kepentingan oligark dan menyusahkan rakyat kecil, tidak adanya pemprioritasan kesehatan dan berfokus pada karantina wilayah serta memberi subsidi yang safe, komersialisasi pendidikan dan tidak adanya gagasan yang mumpuni terkait pendidikan daring berjalan beriringan, fasilitas kesehatan yang tidak menuju ke tingkat memadai yang mumpuni, dan sederet argumentasi lain yang mengglorifikasi bahwa pemerintah telah gagal sama sekali dalam menangani pandemi dan pemenuhan ha-hak rakyatnya.

Sebelum masuk lebih jauh, paling tidak dalam masa pandemi seperti ini terdapat 4 fase dalam masyarakat. Wulandari (2020) menjelaskan ada 4 fase dalam tata kehidupan sosial di masa pandemi ini, yakni: fear phase, learning phase, growth phase, dan enlightment phase. 

Dengan adanya pandemi, kehidupan masyarakat berubah jauh lebih besar yakni seperti kehilangan norma dan nilai-nilai sosial di dalam masyarakat yang menurut Durkheim mengakibatkan anomie dalam masyarakat. Seperti misalnya fenomena panic buying yang seakan-akan umat manusia akan mati jika tidak mendapatkan barang vital yang diperebutkan pada awal kemunculan Covid-19.

Hal tersebut merupakan awal dari hilangnya sifat kemanusiaan yang menimbulkan ketakutan di masyarakat. Inilah yang disebut dengan fear phase (fase ketakutan). Lalu masyarakat memasuki learning phase, yakni fase belajar dari apa yang sudah terjadi sebelumnya, yakni semisal mulai memberlakukan social distancing, masyarakat mulai berpikir jernih dan mulai beradaptasi sedikit demi sedikit. 

Di fase ini pula masyarakat mulai menyadari aktivitas-aktivitas apa saja yang dapat berguna bagi diirnya sendiri, seperti fokus kembali melakukan hobi dan mengasah kembali bakat serta potensi yang dimiliki. Informasi yang kelebihan muatan pun sudah mulai terkendali yang membuat masyarakat mengurangi sifat antipatinya.

Selanjutnya memasuki growth phase (fase pertumbuhan), yakni masyarakat atau tiap-tiap individu mulai menyadari dan peduli terhadap orang lain di sekelilingnya yang juga mengalami dampak sosial yang sama. Di tengah pandemi ini, individu mulai bergerak untuk memberikan bantuan di setiap institusi kepada masyarakat lainnya yang membutuhkan pertolongan, serta mulai memberanikan diri bergabung dengan relawan dan aktif di komunitas-komunitas di lingkungan sekitarnya. Pada fase ini, terlihat kemajuan yang sedikit signifikan menuju fase pencerahan. Masyarakat sangat belajar dari pengalaman pahit pada fase-fase sebelumnya.

Lalu memasuki enlightment phase (fase pencerahan) yang mana pada fase ini masyarakat harus membangun kembali humanity values (nilai-nilai kemanusiaan) yang disokong oleh solidaritas lingkungan masing-masing individu. Tatanan normal baru sudah dapat diterapkan jika masyarakat sudah memasuki tahap ini, mereka tercerdaskan dan mengurangi tindakan individualistisnya, menyadari bahwa pandemi menghantam semua struktur di masyarakat dan mereka terdorong untuk melakukan perannya kembali dengan tetap tidak mengabaikan protokol kesehatan. Fase pencerahan ini adalah sebaik-baiknya fase yang harus dicapai masyarakat sebelum vaksinasi masal dilakukan oleh pemerintah.

Namun, apakah secara umum masyarakat sudah tercerdaskan dan sudah masuk ke fase pencerahan? Menurut hemat penulis, belum semuanya. Posisi kunci dari fase ini adalah langgenggnya kembali nilai-nilai kemanusiaan, memberi kepedulian yang setara pada setiap kelas masyarakat. Akan tetapi, tidak semua lapisan masyarakat menerima perlakuan yang manusiawi saat pandemi tengah berlangsung, dan mereka yang paling rentan bahkan tidak memiliki suara adalah para kurir, baik itu driver ojek online maupun kurir e-commerce.

Profesi kurir yang marak juga merupakan imbas dari ekonomi gig yang sedang tren di Indonesia, terlebih saat pandemi. Dalam artian bebas, ekonomi gig ialah kondisi pasar tenaga kerja yang banyak diisi oleh pekerja lepas atau pekerja kontrak independen. Cakupan pekerja ekonomi gig relatif luas karena mencakup profesi seperti penulis, fotografer, desainer lepas, dan lain sebagai macamnya.

Kurir bekerja sebagai perantara yang diinginkan konsumen ke tujuan mereka. Jika kurir bekerja sebagai mitra di aplikasi ojek online, maka statusnya adalah sebagai driver. Jika bermitra dengan aplikasi e-commerce, maka job desc mereka adalah sebagai pengantar barang yang dipesan oleh konsumen. 

Profesi menjadi kurir sangat diminati saat ini berkat terjadinya pandemi tidak menyurutkan konsumen untuk berperilaku konsumtif, persyaratan yang relatif mudah, mendapat janji diupah dengan layak, dan yang paling penting adalah melepas status pengangguran dikala pandemi yang notabenenya banyak pekerja yang kehilangan pekerjaannya.

Maka menjadi wajar jika banyak warga usia produktif  "melarikan" diri menjadi kurir. Industri e-commerce memiliki peran penting dalam proses pemulihan ekonomi Indonesia yang babak belur karena pandemi karena warga dipenetrasi untuk banyak berdiam diri di rumah, lalu secara psikologis mereka akan mencari sesuatu guna mengusir rasa bosan. Berbekal daya konsumsi yang tinggi dan peluang menggenggam gawai lebih sering, maka aplikasi e-commerce kebanjiran pesanan selama masa pandemi ini.

Namun menurut Singgih (2021) ekonomi digital Indonesia mekar di tengah setumpuk masalah substansial, termasuk ongkos logistik yang mahal, pembangunan infrastruktur yang tak merata, data alamat rumah yang tak bisa diandalkan, tingkat inklusi keuangan yang rendah, serta penetrasi cepat internet dan ponsel cerdas tanpa literasi publik yang memadai. Hal tersebut menjadikan kurir pada status quo sekarang terhimpit tekanan eksploitasi. Mengapa?

Ternyata dalam status pekerja bagi kurir, mereka tidak diangkat sebagai pegawai tetap, melainkan pihak perusahaan berlindung dibalik sistem "mitra" yang menjadikan kurir tidak mendapatkan hak yang layak. Seperti tutur seorang kurir bernama Anzhar dalam Singgih (2021) bahwa pendapatannya selama empat pekan bekerja mengantar barang berbasis jarak antaran adalah Rp. 793.000. 

Meskipun ada bonus untuk pengiriman paket di atas jumlah tertentu dalam sehari, Anzhar tidak mendapatkan tunjangan, jaminan sosial atau asuransi, serta risiko kesehatan, kecelakaan, dan kerusakan sepeda motor berada dalam tanggungannya sendiri.

Singgih (2021) juga merekam pengalaman Latifah yang merupakan orangtua tunggal dari 5 anak. Latifah menuturkan bahw ia harus bekerja mengantarkan penumpang atau barang dari pagi hingga telah malam agar dapat membiayai kebutuhan keluarga. Penuturan 2 mitra tersebut merepresentasikan bahwa: 1. Kondisi terjepit secara ekonomi dan peran sosial yang memaksa mereka untuk tidak apa-apa dieksploitasi asalkan tanggungan mereka tercukupi kebutuhannya.

2. Mereka adalah sekrup kecil yang terhimpit dan rentan patah sementara mereka tidak begitu "berharga" karena posisi mereka sangat mudah untuk diganti, ya, perusahaan tinggal membuka kembali lowongan pekerjaan jika mereka sudah tidak sanggup lagi bekerja. 

Betapa ironisnya kondisi tersebut, ketika para kurir sudah merasa terdesak di kehidupannya dan merasa dengan menjadi kurir akan mendapatkan jam kerja yang fleksibel karena ada tuntutan peran lain di keluarga, mereka justru terhimpit pula harus bekerja sekian jam demi meningkatkan performa di aplikasi dan untuk memudahkan mereka mendapatkan order.

Hal tersebut sesuai dengan apa yang diutarakan Organisasi Buruh Dunia atau ILO (dalam Singgih, 2021) bahwa salah satu alasan pekerja bergabung dengan platform digital memang karena mencari kebebasan dan fleksibilitas, terutama yang terkait jam dan jadwal kerja. Namun pada kenyatannya, aplikasi dirancang dengan algoritma yang mendisiplinkan para kurir sehingga kebebasan yang digaung-gaungkan sebenarnya semu.

 Aplikasi mejadi bos seukuran gawai yang terus menerus memantau, menilai, memberi insentif, dan menghukum para "mitra". Pada praktiknya, manajemen algoritmis membentuk proses dan performa kerja dengan cara-cara yang membatasi otonori para pekerja platform digital.

Hal yang mendesak untuk dibenahi adalah di sektor regulasi. Status quo yang memberatkan mitra adalah adanya kekosongan hukum yang cenderung diabaikan pemerintah. 

Driver ojek online dan kurir tidak masuk dalam cakupan UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan karena status mereka adalah mitra, bukan pegawai. 

Status kemitraan malah terdefinisi pada Undang-Undang No. 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah yang disebutkan bahwa kemitraan yang terjalin haruslah berlandaskan pada prinsip saling memerlukan-memercayai-memerkuat-menguntungkan.

Realita yang didapatkan kurir sangat jauh dari apa yang sebenarnya mereka impikan, yakni mendapatkan work life balance dengan terhindar pula dari jeritan ekonomi akibat pandemi. 

Menurut Marsh (2010) work life balance dapat tercapai jika kita tidak menghabiskan waktu di tempat kerja terus menerus, dapat makan bersama keluarga, berbincang bersama teman, meditasi, dan ekonomi juga tercukupi. Seharusnya hal tersebut sangat mungkin diwujudkan bagi kelas menengah yang memilih bekerja dengan waktu yang fleksibel, tetapi aplikasi secara sistemik tidak menghendaki demikian.

Maka jalan yang dapat ditempuh adalah dengan melakukan perlawanan kolektif agar para kurir mendapatkan prioritas legitimasi alih status, tidak lagi selamanya bersembunyi eksploitatifnya atas nama mitra. Dinamisasi ekonomi gig sangat ditopang dari perputaran yang dihasilkan oleh para mitra tersebut, maka cara terakhir dan juga radikal adalah dengan melakukan pembangkangan sipil agar hak-hak mereka sebagai manusia juga dipandang dengan cara manusiawi

DAFTAR PUSTAKA

Marsh, Nigel. 2010. How to Make Work Life Balance Work. Sidney: Ted diakses melalui Ted App pada 2 Juni 2021.

Singgih, Viriya. 2021. E-Commerce Indonesia Tumbuh Besar di Atas Punggung Para Kurir. Diakses melalui https://projectmultatuli.org/e-commerce-tumbuh-kurir-sekrup-kecil/ pada 2 Juli 2021

Wulandari, I. (2020, Mei 6). Modernis. Diakses melalui modernis.co: https://modernis.co/ketiadaan-nilai-kemanusiaan-dan-nilai-keadilan-ditengah-covid-19/08/06/2020/ pada 2 Juli 2021

Yuliawati, Y. (2011). Pengaruh Kualitas Jasa Terhadap Nilai Pelanggan Serta Dampaknya Terhadap Citra PT. POS Sebagai Penyedia Jasa Kurir. JURNAL ILMU MANAJEMEN DAN BISNIS, 3(1), 1-13.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun