Mohon tunggu...
Andiko Nanda Fadilah
Andiko Nanda Fadilah Mohon Tunggu... Guru - Mahasiswa S1 Pendidikan Sosiologi FIS UNJ

Mahasiswa S1 Pendidikan Sosioogi FIS UNJ

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Kami Sakit dan Mereka Sibuk Menambah Penyakit

15 November 2020   19:06 Diperbarui: 15 November 2020   19:22 154
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Pandemi Covid-19 dan ambisi untuk menjadikan Indonesia negara maju adalah perpaduan motif paling klise tapi mumpuni untuk memuluskan RUU Cipta Kerja melalui skema Omnibus Law dengan tiadanya partisipasi publik yang signifikan. Pandemi menjadi kata sihir untuk melegalkan kebijakan yang sangat bisa diperdebatkan, tapi kemungkinan secara konstitualnya sudah tertutup. 

Airlangga Hartarto (Pipit, 2020) menyebutkan bahwa ada 7 juta masyarakat yang menganggur dan output dari institusi pendidikan menghasilan 2,9 juta setiap tahun, lalu 87% dari output itu adalah yang pendidikannya menengah ke bawah. Ditambah pula situasi pandemi yang menghasilkan pengangguran sebanya 2,1 juta orang dan tenaga kerja yang dirumahkan sebanyak 1,4 juta orang.

Apabila menilik dari alasan pandemi saja, seharusnya tidak ada resistensi yang digelorakan karena betapa sangat mulianya langkah pemerintah saat ini dalam memerangi pengangguran. Presiden Jokowi pun dalam pidato awal jabatannya di periode kedua ini terlihat tulus dalam memutus rantai pengangguran dengan disebutnya akan mengesahkan Omnibus Law demi merestrukturisasi dan debirokratisasi perizinan guna memermudah investasi. 

Menurut Pakar HTN Bivitri Savitri (dalam Fitryanca, 2019), Omnibus Law adalah sebuah undang-undang (UU) yang dibuat untuk menyasar isu besar, mencabut atau mengubah beberapa UU sekaligus yang ada di suatu negara. 

Dengan demikian, Omnibus Law adalah suatu skema konstitusional untuk mengubah banyak UU, dan yang paling kontroversial adalah yang menyangkut UU Cipta Kerja sehingga menimbulkan resistensi populisme di kalangan masyarakat sipil. Melalui essai ini, penulis akan menyajikan argumentasi kritis dari ahli yang memihak pada rakyat sipil dan menganalisis fenomena ini melalui Teori Dramaturgi milik Erving Goffman.

Fitryanca (2019) menyebutkan bahwa setidaknya ada 6 tujuan Omnibus Law, yakni: 1) mengatasi konflik peraturan perundang-undangan secara cepat, efektif, dan efisien; 2) menyeragamkan kebijakan pemerintah baik di tingkat pusat maupun di daerah untuk menunjang iklim investasi; 3) pengurusan perizinan lebih terpadu, efisien, dan efektif; 4) mampu memutus rantai birokrasi yang berlama-lama; 5) meningkatnya hubungan koordinasi antar instansi terkait karena telah diatur dalam kebijakan omnibus regulation yang terpadu; 6) adanya jaminan kepastian hukum dan perlindungan hukum bagi pengambil kebijakan.

Suriadinata (2019) menjelaskan bahwa penting untuk menciptakan iklim investasi yang kondusif dan memberikan fasilitas yang menunjang akan meningkatkan investasi di Indonesia dan instrumen tersebut adalah hukum. Sangat diperlukan hukum (dalam hal ini UU/peraturan) yang dapat mengakomodir keinginan para investor namun tidak mengabaikan kepentingan nasional. 

Omnibus Law mulai dibahas di DPR setelah diusulkan pemerintah sejak 2 April 2020 dalam Rapat Paripurna ke-13 dengan total 64 kali rapat sampai akhirnya goal disepakati oleh eksekutif dan legistatif pada 5 Oktober 2020. Maka dengan demikian mulailah langkah selanjutnya yakni inisiasi presiden dalam membuat peraturan turunan seperti Perpres.

Kritik pertama dalam proses pengesahan UU Cipta Kerja ini adalah kecacatan formil dalam prosesnya seperti yang diutarakan direktur YLBHI Asfinawati (Purnamasari, 2020) bahwa UU Cipta Kerja dibuat tanpa menganalisis kajian akademik terlebih dahulu untuk memperlajari aspek filosofis dan sosiologis, sehingga yang terjadi adalah UU dibuat terlebih dahulu lantas kajian akademik dibuat hanya untuk menjadi pendamping formalitas belaka. Padahal ketika mempelajari naskah akademik terlebih dahulu akan dapat diperoleh analisis kritis terhadap banyaknya pelanggaran dalam UU Cipta Kerja.

Perlu diingat pula bahwa periode pembahasan UU Cipta Kerja ini berada dalam fase huru-hara pandemi Covid-19. Disaat pemerintah dan institusi terkait mengeluarkan berbagai macam kebijakan untuk mengurangi laju penularan dan berbagai huru-hara lainnya, di sisi lain pemerintah dan DPR juga melakukan persidangan secara intens. 

Maka hal ini akan menimbulkan sebuah drama, di mana rakyat sedang sakit dan pemerintah bersama DPR malah menambah penyakit melalui UU yang diinterpretasikan menambah kesengsaraan rakyat. Interpretasi substantif disampaikan oleh Direktur Eksekutif Lokataru Foundation, Haris Azhar (Badri, 2020) bahwa buruh tidak boleh “macem-macem”, tidak diperkenankan cuti, kesempatan cuti dikurangi, dan tunjangan 7 bulan yang menjadi tidak wajib.

Kritik kedua sesuai dengan apa yang disampaikan Haris Azhar, yakni ketidak-berpihaknya politik hukum UU Cipta Kerja pada pekerja (Badri, 2020). Ia mengkhawatirkan bahwa ketika UU yang tidak memarwahkan pekerja ini akan berbalik menyerang pekerja itu sendiri, seperti misal ketika ada pekerja mendapati pelanggaran dari perusahaan, UU Cipta Kerja dapat membelitkan proses perlindungan pada pekerja. 

Perusahaan diberikan keleluasaan untuk menyerang balik pekerja yang mencoba mengklaim haknya lewat sanksi ketidak-disiplinan dengan alasan beragam, seperti kabur dari tempat kerja ketika mengadu telah terjadi pelanggaran. Pada intinya, Haris Azhar berpendapat bahwa UU Cipta Kerja memberikan keleluasaan perusahaan untuk tidak menghargai marwah pekerja.

Kritik ketiga datang dari suara kaum buruh. KSPI pun sudah mengungkap 7 alasan menolak Omnibus Law (Ratih, 2020), yakni karena: 1) UMK bersyarat dan UMSK dihapus; 2) buruh menolak pengurangan nilai pesangon dari 32 bulan menjadi 25 bulan; 3) buruh menolak Perjanian Kerja Paruh Waktu seumur hidup; 4) outsourcing tanpa dibatasi jenis pekerjaan yang diperbolehkan; 5) jam kerja yang eksploitatif; 6) hak cuti hilang dan hak upah atas cuti hilang; 7) jaminan pensiun dan kesehatan bagi pekerja outsourcing hilang. Dapat dilihat betapa besar animo perlawanan dari kaum buruh atas penderitaan yang akan mereka dera ketika UU ini disahkan.

Penulis mencoba menanalisis fenomena ini melalui sudut pandang yang lebih luas, paling tidak tidak hanya menyoroti proses, skema perlawanan, dan ketidak-adilan saja, tetapi melihat sebagai seperti suatu rangkaian diorama yang penuh dengan drama yang pelik. Menurut Erving Goffman, hidup bukan seperti drama tetapi hidup sendiri itu adalah drama. Melalui pernyataannya tentang drama, ada dua konsep besar yang mengiringi Dramaturgi, yakni: 1) Front stage: bagian pertunjukan seperti setting, front personal, expression equipment (appereance dan manners); 2) Back stage: panggung untuk mempersiapkan diri di panggung depan yang menelanjangkan penampilan sang aktor.

Konstekstualisasi dari teori ini adalah bahwa pemerintah dan DPR sudah mengetahui akan adanya penolakan besar-besaran dari berbagai elemen masyarakat sipil karena masyarakat sipil telah teredukasi secara masif perihal betapa merugikannya UU Cipta Kerja ini melalui media massa baik milik LSM maupun aktivis individual. 

Akan tetapi pada akhirnya, pemerintah tidak bergeming setelah banyak rentetan aksi penolakan, mulai penyuaraan di media sosial, tersadarkannya elemen pelajar, pekerja yang mogok bekerja di berbagai daerah, aksi mahasiswa di berbagai daerah, diskusi hingga perdebatan di saluran tv nasional, sampai aksi gabungan pekerja-mahasiswa-pelajar-petani-LSM secara nasional di Jakarta. Hal tersebut sama sekali tidak menimbulkan dinamika dalam internal pemerintah untuk membuat Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu).

Maka pemerintah sudah mengambil proporsi yang tepat dalam persiapan diri di Back Stage untuk tampil tanpa keraguan me-goal-kan UU Cipta Kerja di Front Stage. Dalam back stage, pemerintah telah sangat sempurna, terlihat dari: 1) mencanangkan dari awal periode untuk membuka keran investasi sebesar-besarnya, padahal membuka keran investasi tanpa batas banyak ditentang karena berpotensi merusak alam seperti pembakaran hutan di Riau dan Kalimantan beberapa waktu lalu; 2) pemerintah memanfaatkan Covid-19 sebagai pelindung untuk akhirnya secara sembunyi-sembunyi membahas rancangan untuk meminimalisir gelombang penolakan akibat diterapkannya PSBB, padahal berfokus untuk menyembuhkan masyarakat jauh lebih mulia.

3) Pemerintah telah menggandeng mayoritas fraksi di DPR, sehingga UU yang digagas oleh presiden ini sukar dikritisi oleh oposisi yang notabenenya sangat lemah suaranya, presiden mengajukan dan mayoritas DPR menyetujui maka tertutup pula peluang menggagalkan UU Cipta Kerja dari excecutive review dan legislative review. Maka dapat dikatakan pemerintah telah sukses merancang keberhasilan skenario drama dalam hal ini UU Cipta Kerja. Penyelesaian akhir atau berdrama di front stage dalam pertunjukan ini juga tidak kalah menakjubkan, pemerintah benar-benar mengakselerasi segala komponen yang dipunya.

Walaupun dinilai oleh ahli bahwa UU ini cacat formil karena tidak menyertakan naskah akademik dalam pembahasan dan juga tidak melibatkan organisasi yang terlibat, pemerintah tidak dapat dikatakan pula telah kalah dalam perdebatan ini. Senjata pemerintah dalam menguasai setting, front personal, dan expression telah sempurna dibawakan oleh juru bicara selaku stake holder pemerintahan, influencers, akun sosial media anonim atau buzzer, dan kegembiraan kaum pengusaha yang seolah meyakinkan bahwa UU ini menciptakan banyak lapangan pekerjaan.

Pemerintah sudah mengetahui akan ada penolakan dan tentu akan memfasilitasi aksi tersebut dengan retorika yang apik, tetapi tidak akan menindaklanjuti aspirasi masyarakat karena kepentingan investasi yang meminta fasilitas pemerintah lebih menguntungkan pemerintah itu sendiri. 

Resistensi atau perlawanan dari masyarakat pada pemerintah akan selalu ada karena itu simbol formal dari suatu negara demokrasi. Akan tetapi, demonstrasi hanya sekadar menjadi demonstrasi, tanpa ada penindaklanjutan dari aspirasi. Negara merupakan suatu kekuatan yang memiliki segala instrumen untuk melakukan mendramatisir demonstrasi dan pergolakan. Pada tahun-tahun berikutnya, demonstrasi tidak ubah hanya menjadi kenangan diorama yang tak mengubah apa-apa. Rakyat masih sakit, sementara pemerintah sibuk menambah penyakit.

DAFTAR PUSTAKA

Jurnal

Fitryantica, A. (2019). Harmonisasi Peraturan Perundang-Undangan Indonesia melalui Konsep Omnibus Law. Gema Keadilan, 6(3), 300-316.

Suriadinata, V. (2019). Penyusunan Undang-Undang Di Bidang Investasi: Kajian Pembentukan Omnibus Law Di Indonesia. Refleksi Hukum: Jurnal Ilmu Hukum, 4(1), 115-132.

Suneki, S., & Haryono, H. (2012). Paradigma Teori Dramaturgi Terhadap Kehidupan Sosial. CIVIS, 2(2/Juli).

Berita

Badri. (2020). Haris Azhar: Politik Hukum UU Omnibus Law Tidak Berpihak Pada Pekerja. Akurat. Diakses pada 15 November 2020 melalui https://akurat.co/news/id-1221044-read-haris-azhar-politik-hukum-uu-omnibus-law-tidak-berpihak-pada-pekerja

Purnamasari, Deti Mega. (2020). YLBHI Nilai UU Cipta Kerja Cacat Formil. Kompas. Diakses pada 14 November 2020 melalui https://nasional.kompas.com/read/2020/10/10/12443881/ylbhi-nilai-uu-cipta-kerja-cacat-formil?page=all

Waseso, Ratih. (2020). KSPI Ungkap 7 Alasan Tolak Omnibus Law Cipta Kerja dan Lakukan Mogok Nasional. Diakses pada 15 November 2020 melalui https://nasional.kontan.co.id/news/kspi-ungkap-7-alasan-tolak-omnibus-law-cipta-kerja-dan-lakukan-mogok-nasional?page=3

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun