Mohon tunggu...
Andiko Nanda Fadilah
Andiko Nanda Fadilah Mohon Tunggu... Guru - Mahasiswa S1 Pendidikan Sosiologi FIS UNJ

Mahasiswa S1 Pendidikan Sosioogi FIS UNJ

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Rehumanisasi Pendidikan Kala Pandemi, Mungkinkah?

9 Mei 2020   13:00 Diperbarui: 9 Mei 2020   13:06 89
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Mari kilas balik keadaan sebelum Covid-19 menghantam Indonesia, semua media pemberitaan sampai penyelenggaraan seminar menggaungkan wacana Revolusi Industri 4.0 mulai dari asal-usul, sikap yang harus dimiliki manusia, hingga potensi perekonomian yang akan didapat.

Semua pihak tampak bergembira dengan datangnya revolusi ini, semua hal kian mudah dan seperti tidak akan ada persoalan yang tidak dapat diatasi. Hingga suatu saat umat manusia merasakan "pembunuhan" oleh makhluk miko-organisme secara mewabah.

Kampanye yang seakan menjanjikan kehidupan akan berubah, nyatanya sirna dengan sendirinya karena wabah. Mungkin itulah salah satu yang dapat disyukuri oleh ranah pendidikan karena akan menunda terjadinya degradasi humanisme padanya, walaupun pada saat ini ranah pendidikan menghadapi rintangan yang sangat sulit dengan terpaksanya dilakukan kegiatan belajar mengajar dari rumah secara daring.

Mungkin hal itu lumrah bagi sebagian masyarakat kota tetapi beda halnya dengan yang dialami Avan, seorang guru di Sumenep yang harus datang dari rumah ke rumah muridnya karena tidak semua murid memiliki perangkat untuk menunjang pembelajaran jarak jauh yang bahkan Mas Nadiem sendiri "kaget" dengan adanya kesenjangan digital.

Ranah pendidikan mengalami lag dalam menyikapi wabah ini. Bagaimana tidak, sistem pendidikan yang sampai saat ini dibangun belum sampai pada tahap pembelajaran formal secara daring, pengentasan kebodohan diukur dengan ujian yang seragam, dan bahkan indikator kesusksesan tergantung pada industri yang dapat menyerap lulusan dari institusi pendidikan. Semua realita pendidikan ini mengarah pada satu titik, yakni pendidikan yang mendegredasi nilai-nilai kemanusiaan.

Paulo Freire---tokoh pendidikan yang menjunjung tinggi nilai kemanusiaan---menyatakan bahwa sekolah yang hanya mencetak generasi pekerja adalah sekolah yang menuju pada penindasan.

Pendidikan yang dikala normal melakukan pendidikan "gaya bank" yang mana guru diibaratkan sebagai penabung dan murid adalah wadah menabung dari para guru yang hanya diisi oleh materi yang relevan pada industri.

Realita demikian karena sekolah hanya dijadikan sarana pelatihan untuk bekerja sehingga tolak ukur keberhasilan SDM hanya ditinjau melalui kemampuan siap kerja.

Revolusi Industri 4.0 juga membuka pintu masuk seluas-luasnya investor asing yang siap menanam kapitalnya. Maka lebih lanjut pendidikan akan menjadi lapangan refleksi kepentingan dari para investor dan dalam sistem ini, masyarakat Indonesia akan terasingkan dari budayanya hingga akan terus memandang "wah" segala sesuatu dari luar, fenomena ini dikatakan Freire sebagai pendidikan gaya kolonial yang pada hilirnya akan terus menerus memanjakan industri.

Sejatinya pendidikan yang asli tumbuh dari Indonesia berdasar pada filosofi pendidikan kesetaraan yang merakyat oleh Ki Hajar Dewantara. Berbekal pada tuntunan akan pentingnya pelestarian eksistensi manusia, dalam arti membantu manusia lebih manusiawi, lebih berbudaya, dan sebagai anggota masyarakat yang dapat mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya.

Pendidikan kerakyatan juga bersandar pada semangat keluhuran budi manusia, membangun karakter, dan mendidik ke arah kekeluargaan.

Namun, pendidikan pada saat ini lebih menghargai "to have" (materi yang dimiliki), dan "to do" (yang telah berhasil atau tidak berhasil dilakukan) daripada eksistensi pribadi dari murid yang bersangkutan.

Hal ini justru akan ditengarai terjadinya alienasi dan tercabutnya anak dari budaya serta realitas kesehariannya karena angan-angan Revolusi Industri 4.0 terlalu tinggi sehingga menomor sekiankan visi humanisme yang fundamental dan seperti yang dikatakan Ki Hajar, bahwa murid akan belajar hanya untuk mendapatkan nilai-nilai yang tinggi.

Menurut hemat penulis, Covid-19 setidaknya memberikan dampak positif diantara banyaknya dampak negatif dalam ranah pendidikan. Walau demikian, dampak ini dapat menjadi lompatan besar yang revolusioner dalam menyikapi dehumanisasi pendidikan.

Ialah gap waktu yang dapat digunakan oleh Mas Nadiem untuk berefleksi bahwa realitas pendidikan saat ini sama sekali tidak sehat. Baiklah, sebelumnya Mas Nadiem layak mendapatkan apresiasi kebijakannya tentang Kampus Merdeka dan peniadaan UN yang realisasinya lebih cepat setahun, namun praktis pendidikan sektor lain masih layak untuk dikritik.

Salah satu prinsip pendidikan yang humanis adalah menjadikan murid sebagai subjek yang dapat bertindak bebas secara cerdas, tidak melulu seperti wadah tabungan yang harus diisi materi pembelajaran setiap hari. Momentum belajar dari rumah mengehendaki demikian, dengan jauh dari pantauan guru, maka dapat diberlakukan pembelajaran yang berpusat pada keluarga dan anak itu sendiri untuk dapat berelaborasi dan turut serta mengaktualisasi potensi diri anak dan menjaga perilakunya, apabila elaborasi ini berhasil maka akan didapatkan anak yang memiliki kebudayaan tinggi, mendayakan budinya untuk dapat mengolah dan mengangkat hal-hal yang ada di dalam dirinya maupun luar dirinya menjadi lebih berkualitas.

Proses pembelajaran yang hanya mentrasfer materi tidak akan bermanfaat pada kondisi saat ini, lebih baik mempraktikkan  gagasan Freire yang dikenal dengan sistem "hadap-masalah" dengan memberikan stimulus pada anak untuk melatih kepekaan tentang apa yang menjadi masalah dengan fenomena ini lingkungannya. Solusi ini menjadi lebih bermanfaat karena tidak membahas yang terlampau jauh karena beban kurikulum yang dirancang tidak fleksibel dalam menghadapi fenomena wabah ini.

Sejenak kita meninggalkan angan-angan revolusi industri dan kembali pada permasalahan vital proses pembelajaran. Kurikulum yang dirancang dengan harapan output yang akan bekerja pada industri sama sekali tidak relevan pada situasi saat ini. Sejenak kita kembali melihat filosofi pendidikan bangsa kita yang ternyata sangat menghendaki potensi masing-masing anak berkembang  dengan tidak hanya sekadar untuk isi pikiran, melainkan memiliki peran membangun kecerdasan kehidupan bangsa dalam rangka mewujudkan nilai-nilai kemanusiaan. Sejenak kita menghabiskan waktu untuk merefleksi pendidikan yang selama ini justru menuju pada karakter individualistik.

Kumpulan "sejenak" waktu akan memberi pengalaman, bahwa mimpi-mimpi yang seringkali terabaikan menjadi sangat dibutuhkan, kejadian yang saat ini terjadi akan menjadi proyeksi bagaimana masa depan terkonstruksi.

Dengan berkaca pada nilai-nilai humanis maka akan terbentuk karakter pelajar Indonesia yang tercerdaskan secara sosial dan intelektual, tanpa ada janji bahwa pekerjaan di industri 4.0 akan menjamin kebahagiaan yang nyatanya kebahagiaan adalah buah manis pendidikan,  harapan untuk rehumanisasi pendidikan sangat ada dan peluang itu ada di depan mata kita.

Referensi

Freire, Paulo. 1985. Pendidikan Kaum Tertindas. Jakarta. LP3ES.

Afdilla, Hapsari. "Curhat Guru Datangi Rumah Murid Untuk Mengajar Di Tengah Wabah Corona" (2020, 19 April). Brilio. Diakses melalui https://m.brilio.net/serius/curhat-guru-datangi-rumah-murid-untuk-mengajar-di-tengah-wabah-corona-200419y.html?utm_source=Curhat+guru+datangi+rumah+murid+untuk+mengajar+di+tengah+wabah+corona&utm_medium=LineNewsclick&utm_campaign=LineTodayNews

Narda, Rahel. "Kemendikbud Terus Lakukan Evaluasi Pendidikan Jarak Jauh". (2020, 2 Mei). Detik News. Diakses melalui https://news.detik.com/berita/d-5000123/kemendikbud-terus-lakukan-evaluasi-pendidikan-jarak-jauh

Kumalasari, D. (2010). Konsep pemikiran Ki Hadjar Dewantara dalam pendidikan taman siswa (tinjauan humanis-religius). ISTORIA: Jurnal Pendidikan dan Sejarah, 8(1).

Subarto, S. (2020). Momentum Keluarga Mengembangkan Kemampuan Belajar Peserta Didik Di Tengah Wabah Pandemi Covid-19. 'ADALAH, 4(1).

Wahana, P. (2016). Mengenal Pendekatan Paradigma Pedagogi Reflektif dalam Pendidikan untuk Membangun Manusia yang Cerdas dan Humanis. DIDAKTIKA, 5(1).

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun