Namun, pendidikan pada saat ini lebih menghargai "to have" (materi yang dimiliki), dan "to do" (yang telah berhasil atau tidak berhasil dilakukan) daripada eksistensi pribadi dari murid yang bersangkutan.
Hal ini justru akan ditengarai terjadinya alienasi dan tercabutnya anak dari budaya serta realitas kesehariannya karena angan-angan Revolusi Industri 4.0 terlalu tinggi sehingga menomor sekiankan visi humanisme yang fundamental dan seperti yang dikatakan Ki Hajar, bahwa murid akan belajar hanya untuk mendapatkan nilai-nilai yang tinggi.
Menurut hemat penulis, Covid-19 setidaknya memberikan dampak positif diantara banyaknya dampak negatif dalam ranah pendidikan. Walau demikian, dampak ini dapat menjadi lompatan besar yang revolusioner dalam menyikapi dehumanisasi pendidikan.
Ialah gap waktu yang dapat digunakan oleh Mas Nadiem untuk berefleksi bahwa realitas pendidikan saat ini sama sekali tidak sehat. Baiklah, sebelumnya Mas Nadiem layak mendapatkan apresiasi kebijakannya tentang Kampus Merdeka dan peniadaan UN yang realisasinya lebih cepat setahun, namun praktis pendidikan sektor lain masih layak untuk dikritik.
Salah satu prinsip pendidikan yang humanis adalah menjadikan murid sebagai subjek yang dapat bertindak bebas secara cerdas, tidak melulu seperti wadah tabungan yang harus diisi materi pembelajaran setiap hari. Momentum belajar dari rumah mengehendaki demikian, dengan jauh dari pantauan guru, maka dapat diberlakukan pembelajaran yang berpusat pada keluarga dan anak itu sendiri untuk dapat berelaborasi dan turut serta mengaktualisasi potensi diri anak dan menjaga perilakunya, apabila elaborasi ini berhasil maka akan didapatkan anak yang memiliki kebudayaan tinggi, mendayakan budinya untuk dapat mengolah dan mengangkat hal-hal yang ada di dalam dirinya maupun luar dirinya menjadi lebih berkualitas.
Proses pembelajaran yang hanya mentrasfer materi tidak akan bermanfaat pada kondisi saat ini, lebih baik mempraktikkan  gagasan Freire yang dikenal dengan sistem "hadap-masalah" dengan memberikan stimulus pada anak untuk melatih kepekaan tentang apa yang menjadi masalah dengan fenomena ini lingkungannya. Solusi ini menjadi lebih bermanfaat karena tidak membahas yang terlampau jauh karena beban kurikulum yang dirancang tidak fleksibel dalam menghadapi fenomena wabah ini.
Sejenak kita meninggalkan angan-angan revolusi industri dan kembali pada permasalahan vital proses pembelajaran. Kurikulum yang dirancang dengan harapan output yang akan bekerja pada industri sama sekali tidak relevan pada situasi saat ini. Sejenak kita kembali melihat filosofi pendidikan bangsa kita yang ternyata sangat menghendaki potensi masing-masing anak berkembang  dengan tidak hanya sekadar untuk isi pikiran, melainkan memiliki peran membangun kecerdasan kehidupan bangsa dalam rangka mewujudkan nilai-nilai kemanusiaan. Sejenak kita menghabiskan waktu untuk merefleksi pendidikan yang selama ini justru menuju pada karakter individualistik.
Kumpulan "sejenak" waktu akan memberi pengalaman, bahwa mimpi-mimpi yang seringkali terabaikan menjadi sangat dibutuhkan, kejadian yang saat ini terjadi akan menjadi proyeksi bagaimana masa depan terkonstruksi.
Dengan berkaca pada nilai-nilai humanis maka akan terbentuk karakter pelajar Indonesia yang tercerdaskan secara sosial dan intelektual, tanpa ada janji bahwa pekerjaan di industri 4.0 akan menjamin kebahagiaan yang nyatanya kebahagiaan adalah buah manis pendidikan, Â harapan untuk rehumanisasi pendidikan sangat ada dan peluang itu ada di depan mata kita.
Referensi
Freire, Paulo. 1985. Pendidikan Kaum Tertindas. Jakarta. LP3ES.