Mohon tunggu...
ANDIK MAWARDI
ANDIK MAWARDI Mohon Tunggu... Lainnya - analis hukum

membaca dan menulis

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Urgensi Pembentukan Perda PDRD

27 Februari 2023   14:10 Diperbarui: 27 Februari 2023   14:08 373
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Birokrasi. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Dengan berlakunya UU No. 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah (UUHKPD), terutama terkait dengan ketentuan Pasal 187 huruf b yang menegaskan perda pajak daerah dan retribusi daerah (Perda PDRD) yang ditetapkan berdasarkan UU No. 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (UU PDRD) masih berlaku paling lama 2 (dua) tahun sejak UUHKPD diundangkan, atau paling lama 5 januari 2024. Problem yuridis yang muncul kemudian yakni terkait dengan pembentukan Perda PDRD berdasarkan ketentuan Pasal 94 UUHKPD yang menyebutkan bahwa Jenis Pajak dan Retribusi, Subjek Pajak dan Wajib Pajak, Subjek Retribusi dan Wajib Retribusi, objek Pajak dan Retribusi, dasar pengenaan Pajak, tingkat penggunaan jasa Retribusi, saat terutang Pajak, wilayah pemungutan Pajak, serta tarif Pajak dan Retribusi, untuk seluruh jenis Pajak dan Retribusi ditetapkan dalam 1 (satu) Perda dan menjadi dasar pemungutan Pajak dan Retribusi di Daerah.

Sesuai ketentuan UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (UUPPP) dan UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (UU Pemda), materi muatan Perda yakni penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas pembantuan, dan penjabaran lebih lanjut ketentuan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Namun sampai awal tahun 2023, PP peraturan pelaksanaan UUHKPD belum terbit, sehingga menyulitkan dalam penyusunan Rancangan Perda PDRD yang merupakan delegasi ketentuan Pasal 94 UUHKPD.

Dalam cacatan penulis, penyusunan Perda PDRD dalam 1 (satu) naskah Perda sudah jauh-jauh diamanatkan oleh ketentuan Pasal 286 ayat (1) UU Pemda yang menegaskan pajak daerah dan retribusi daerah ditetapkan dengan undang-undang yang pelaksanaan di daerah diatur lebih lanjut dengan Perda. Sehingga dalam pendekatan pendekatan historis (historical approach) hukum, justru UU Pemda sejak tahun 2014 mengamanatkan pembentukan Perda PDRD dalam 1 (satu) naskah Perda. Baru kemudian terkait dengan kebijakan omnibus law, ketentuan Pasal 94 UUHKPD menegaskan kembali omnibus law Perda PDRD provinsi dan kabupaten/kota dalam 1 (satu) Perda PDRD.

Adapun urgensi pembentukan Perda PDRD bagi pemerintah daerah, pertama, dari aspek pembentukan peraturan perundang-undangan yakni penyederhanaan regulasi atau simplifikasi regulasi di daerah, melalui pembentukan Perda PDRD dalam 1 (satu) naskah Perda akan menyederhanakan regulasi di daerah terkait dengan PDRD, dalam praktek yang ada selama ini, kepala daerah dan DPRD cenderung melakukan penyusunan, pembahasan, dan penetapan Perda PDRD dipisah baik berdasarkan jenis pajak daerah maupun jenis retribusi daerah, tidak jarang dalam 1 (satu) provinsi dan/atau 1 (satu) kabupaten/kota ditemukan puluhan yang mengatur terkait dengan Perda PDRD. Hal ini tentunya tidak sesuai dengan implikasi penerapan Perda PDRD dengan biaya yang harus dikeluarkan dan manfaat yang diperoleh dari penerapan suatu Perda terutama terkait dengan metode Regulatory Impact Analysis (RIA).

Kedua, menjaga aspek sustainable pendapatan daerah, dalam pengelolaan keuangan daerah, sesuai ketentuan UU Pemda, PP No. 12 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah dan Permendagri No. 77 Tahun 2020 tentang Pendoman Pengelolaan Keuangan Daerah yang mengatur salah satu sektor pendapatan daerah yang bersumber dari pendapatan asli daerah (PAD) yakni hasil pemungutan PDRD. Sehingga pembentukan Perda PDRD merupakan keharusan dalam menjaga PAD, hal ini sangat berpengaruh terhadap belanja pemerintah daerah yang rencanakan dalam APBD.

Ketiga, paradigma baru pemungutan PDRD, UUHKPD menganut sistem tertutup (closing system), jenis dan obyek PDRD yang diatur dalam UUHKPD tidak boleh ditambah oleh pemerintah daerah. Perda PDRD hanya mengatur jenis dan obyek PDRD yang diatur dalam UUHKPD. Sehingga dapat dipastikan, apabila pemerintah kabupaten/kota dan provinsi memasukan jenis dan obyek PDRD diluar ketentuan UUHKPD bisa dipastikan akan terevaluasi oleh Mendagri dan Menkeu untuk Perda PDRD provinsi, dan gubernur sebagai wakil pemerintah pusat (GWPP) untuk Perda PDRD kabupaten/kota.

Keempat, penyederhanaan jenis dan obyek PDRD, UUHKPD menyederhanakan jenis dan obyek PDRD, lebih khusus terkait dengan retribusi daerah, UU ini menyederhanakan jenis dan obyek retribusi daerah sehingga berdampak pada beberpa obyek PDRD yang tidak dipungut oleh pemerintah daerah lagi. Yang sangat terpengaruh dengan penyederhaaan jenis dan obyek PDRD yakni kabupaten/kota, dimana berdasarkan UU PDRD dapat memungut misalnya pajak penerangan jalan umum (PPJU) berdasarkan ketentuan UUHKPD tidak dipungut lagi, beberapa retribusi yang tidak dipungut lagi misalnya retribusi pengendalian menara telekomunikasi, retribusi pelayanan tera/tera ulang, dan retribusi pengujian kendaraan bermotor, tentunya penghapusan obyek PDRD tersebut berpotensi menurunkan PAD dari sektor PDRD.

Dengan kondisi yang ada tersebut, maka diperlukan percepatan dalam pembentukan Perda PDRD, pertama, pemerintah pusat agar segera menerbitkan PP turunan UUHKPD tertutama terkait PP tindak lanjut Pasal 95 UUHKPD yang mengatur ketentuan umum dan tata cara pemungutan pajak dan retribusi. Pemerintah daerah dalam penyusunan ketentuan umum dan tata cara pemungutan PDRD tidak mempunyai referensi hukum terkait pengaturan ketentuan umum dan tata cara pemungutan PDRD yang meliputi (a) pendaftaran dan pendataan; (b) penetapan besaran pajak dan retribusi terutang; (c) pembayaran dan penyetoran; (d) pelaporan; (e) pengurangan, pembetulan, dan pembatalan ketetapan; (f) pemeriksaan pajak; (g) penagihan pajak dan retribusi; (h) keberatan; (i) gugatan; (j) penghapusan piutang pajak dan retribusi oleh kepala daerah; dan (k) pengaturan lain yang berkaitan dengan tata cara pemungutan pajak dan retribusi.

Kedua, DPRD segera membahasan Rancangan Perda PDRD bersama SKPD teknis, agar tengang waktu penetapan Perda PDRD dalam lembaran daerah provinsi/kabupaten/kota oleh kepala daerah paling lama 5 Januari 2024 dapat dilakukan, mengingat prosedur pembentukan Perda PDRD sesuai dengan ketentuan UUHKPD dan PP No. 10 Tahun 2021 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah dalam rangka Mendukung Kemudahan Berusaha dan Layanan Daerah yakni adanya mekanisme evaluasi oleh Menkeu dan Mendagri untuk Perda PDRD provinsi dan evaluasi oleh GWPP oleh Perda PDRD kabupaten/kota. Sehingga persetujuan DPRD provinsi dan kabupaten/kota merupakan salah satu syarat untuk dapat sebuah Perda PDRD dievaluasi oleh Menkeu, Mendagri, dan GWPP.

Dalam rangka peningkatan PAD dari sektor PDRD yang perlu diatur dalam Perda PDRD provinsi, kabupaten dan kota yakni pengaturan pengunaan teknologi informasi dalam pendataan, penetapan, dan pembayaran pajak daerah untuk efektifitas dan efisiensi pelaksanaan Perda PDRD. Selanjutnya pendekatan reward and punishment dalam penegakan Perda PDRD perlu dilakukan pengkajian. Kecenderungan pengaturan Perda baik Perda PDRD maupun perda lain merumuskan sanksi (punishment) baik sanksi administratif maupun sanksi pidana dalam Perda harus benar-benar mempertimbangkan kebutuhan perumusan sanksi tersebut dalam Perda.

Kepala daerah dengan persetujuan DPRD perlu mempertimbangkan pemberian penghargaan (reward) kepada wajib pajak dan wajib retribusi yang sudah berkontribusi dengan membayar PDRD sesuai dengan ketentuan Perda PDRD. Pendekatan pemberian sanksi dalam Perda PDRD sudah harus mulai diganti dengan pendekatan pemberian penghargaan (reward) sehingga memacu wajib pajak dan wajib retribusi yang belum patuh untuk membayar PDRD sesuai dengan ketentuan Perda PDRD. Pendekatan penghargaan (reward) dapat berupa piagam penghargaan, pengurangan/pembebasan pajak daerah, dan/atau pengurangan retribusi daerah serta penghapusan sanksi administratif merupakan kebijakan daerah yang afirmatif terhadap peningkatan investasi daerah sesuai ketentuan PP No. 24 Tahun 2019 tentang Pemberian Insentif dan Kemudahan Investasi di Daerah.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun