Masih ingat dibenak tahun 2015 silam, tanah air digemparkan dengan berita yang menohok publik. Tentang pembunuhan tragis seorang anak belia bernama Angeline di Bali. Selain menohok tentu mengoyak sisi kemanusiaan kita, entah sebagai orangtua, seorang kakak dengan adiknya, seorang paman terhadap keponakannya. Atau seorang manusia kepada manusia lain memaknai keberadaan seseorang di sekelilingnya—seorang anak manusia.
Mengambil perspektif gunung es memang benar adanya. Menilik serentetan kejadian memilukan yang akhir-akhir ini viral dipemberitaan. Pelecehan seksual dengan pemerkosaan dan pembunuhan anak dan atau remaja terjadi begitu jamak dalam tangkapan kamera media(tentu masih banyak sebenarnya). Tidak saja sadis dari cara sebuah kejahatan itu dilakukan(alat: kayu, cangkul) dan direncanakan (motif: asmara, balas dendam) namun kesadisan yang lebih dramatis adalah ia—kejahatan itu—dilakukan dan direncanakan oleh mereka yang masih anak-anak atau remaja itu. Sekaligus korbannya pula pada saat yang sama.
Maka saya harus menyalahkan siapa(jika boleh menyalahkannya)? Anak dan atau remaja itu, hanya karena mereka ‘pelaku’ di lapangan!?
Dan saya harus mengasihani siapa(jika boleh mengasihaninya)? Anak dan atau remaja itu, hanya karena mereka ‘korban’ langsung di lapangan!?
Atau mereka semua—anak dan atau remaja itu—sebenarnya adalah korban sesungguhnya, dari kita, entah sebagai orangtua, seorang kakak dengan adiknya, seorang paman terhadap keponakannya? Yang seharusnya kita, sebagai orangtua wajibnya mengarahkan, mendidik dan melindungi bagi mereka. Yang seharusnya kita, sebagai seorang kakak dengan adiknya wajibnya memberi contoh dan menjadi teladan bagi mereka. Atau yang kita, sebagai seorang paman terhadap keponankannya wajibnya mengasihi dan memanjakannya sebagai rasa sayang bagi mereka.
Atau agaknya saya boleh saja menyalahkan kita, entah sebagai orangtua, seorang kakak dengan adiknya, seorang paman terhadap keponakannya, yang menjadi sebuah lingkungan yang buruk dan paradoks terhadap fungsi kita sebenarnya terhadap mereka. Atau mengasihani kita, entah sebagai orangtua, seorang kakak dengan adiknya, seorang paman terhadap keponakannya, yang tidak mampu menjadi sebuah lingkungan positif untuk tumbuh kembang yang sebenarnya hak mereka. Atau menyalahkan lingkungan masyarakat, tayangan TV yang tidak pernah benar-benar mendidik dan menfasilitasi hak-hak mereka sebagai anak.
Maka pertama-tama kita harus belajar kembali untuk benar-benar menghadirkan dan mengembalikan peran kita masing-masing. Dengan begitu artinya kita membangun sebuah ekosistem yang layak sebagai keluarga dan masyarakat yang positif buat anak dan atau remaja. Maka memahami hak-hak anak adalah hal pertama yang seharusnya sama-sama dipahami.
Hak asasi anak adalah hak khusus yang bertujuan untuk melindungi semua manusia yang berusia di bawah 18 tahun. Anak-anak memang mendapat manfaat yang sama dengan orang dewasa. Apalagi posisinya yang rentan di masyarakat maka anak-anak mendapat hak khusus sebagai perlindungan bagi mereka.
Hak asasi anak merupakan alat untuk melindungi anak dari kekerasan dan penyalahgunaan. Menciptakan penghargaan anak sebagai manusia, yang hanya bisa dicapai apabila semua orang(termasuk anak-anak sendiri), mengakui bahwa setiap orang punya hak yang sama dan kemudian menerapkannya dalam sikap dan perilaku yang menghormati, mengikutsertakan dan menerima orang lain.
Bahkan PBB pun telah meneguhkankannya dalam konvensi hak anak pada tanggal 20 November 1989. Sebuah perjanjian internasional yang mengakui hak-hak sipil, politik, ekonomi, sosial dan budaya dari anak-anak. Adapun sepuluh hak anak yang wajib publik tahu dan pahami yaitu Hak untuk Bermain, Hak untuk Mendapatkan Pendidikan, Hak untuk Mendapatkan Perlindungan, Hak untuk mendapatkan Nama(Identitas), Hak untuk Mendapatkan Status Kebangsaan, Hak untuk Mendapatkan Makanan, Hak untuk Mendapatkan Kesehatan, dan Hak untuk Mendapatkan Rekreasi.
Sangat menarik tentunya bincang anak karena memang perlu sinergi dan dukungan bersama, khususnya media dan tayangan yang mengedepankan hak-hak anak. Maka hadirnya sebuah film berkualitas yang menyoroti pentingnya anak menjadi oase sekaligus momentum untuk menjewer sisi kemanusiaan kita tentunya.
Adalah film Untuk Angeline persembahan spesial dari Citra Visual Sinema sebagai salah satu elemen yang bertujuan untuk peringatan ‘Hari Anak Nasional’ 23 Juli mendatang mampu menjadi suguhan visual yang layak kita tonton sebagai kita, entah sebagai orangtua, seorang kakak dengan adiknya atau seorang paman terhadap keponakannya.
Terinspirasi dari fakta persidangan dalam kasus tragis dan mengenaskan alm. Engeline 2015, di mana tentunya semua nama dan kejadian menjadi tayangan fiksi segala usia yang cocok untuk ditonton. Apalagi diperkuat dengan aktris ibukota kondang seperti Konaryosih, Naomi Ivo, Dewi Hughes, Kak Seto dan sebagainya. Tentu menjadi sebuah jaminan untuk melihat akting Naomi Ivo sebagai Angeline, yang mata saya mendapat kesempatan untuk mencicipi aktingnya dalam sebuah scene singkat namun mampu mengaduk emosi yang melihatnya. Tayang secara nasional pada tanggal 21 Juli 2016.
Stop Kekerasan Anak!
@Andik_IR
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H