Mendatangi pemilih secara langsung inilah yang menjadi kunci akuntabilitas DPT. Â Sebab, ada sebelas (11) langkah penting yang dilakukan, yakni (1) mencatat pemilih yang telah memenuhi syarat, tetapi belum terdaftar dalam daftar pemilih, (2) memperbaiki data pemilih apabila terdapat kesalahan, (3) mencoret pemilih yang telah meninggal, (4) mencoret pemilih yang telah pindah domisili ke daerah lain, dan (5) mencoret pemilih yang telah berubah status sipil menjadi status TNI atau POLRI.
Kemudian, (6) mencoret pemilih yang belum genap berumur 17 tahun dan belum kawin/menikah pada hari pemungutan suara, (7) Â mencoret data pemilih yang dipastikan tidak ada keberadaannya, (8) mencoret pemilih yang terganggu jiwa/ingatannya berdasarkan surat keterangan dokter, (9) Â mencoret pemilih yang sedang dicabut hak pilihnya berdasarkan putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap, (10) mencatat pemilih berkebutuhan khusus pada kolom jenis disabilitas, serta (11) mencoret pemilih yang berdasarkan identitas kependudukan bukan merupakan penduduk pada daerah yang menyelenggarakan pemilihan.
Dengan sebelas langkah ini, mestinya identifikasi pemilih ganda dan pemilih yang tidak memenuhi syarat sudah tuntas saat pelaksanaan pilkada 2018. Bila kemudian muncul persoalan pemilih ganda di DPT 2019, maka patut diduga ini bukan temuan baru, melainkan persoalan lama yang selama ini tidak tuntas dan muncul lagi saat kepentingan akurasi daftar pemilih benar-benar dibutuhkan di pentas Pemilihan Presiden dan perebutan kursi Parlemen.
Pemikiran ini bukan tanpa alasan. Merujuk pasal 57 (ayat 1-6) Peraturan KPU Nomor 11 Tahun 2018, KPU/KIP Kab dan Kota yang melaksanakan Pilkada 2018 tidak melakukan coklit, melainkan menggunakan DPT Pilkada serentak 2018 ditambah pemilih pemula berusia 17 tahun pada April 2019 sebagai daftar pemilih sementara (DPS) Pemilu 2019. Singkat kata, bila DPT Pilkada 2018 tidak bersih, wajar jika pemilih ganda masih ditemukan di DPT Pemilu 2019.
Mengapa hal ini diperlukan? Mengutip harian Kompas edisi 7 September 2018 di halaman 2 dengan judul "Selesaikan Dugaan Pemilih Ganda", Ketua Bawaslu Abhan mengatakan, pihaknya menemukan data ganda tersebut dari salinan digital sistem informasi data pemilih (sidalih) yang terdapat di portal dalam jaringan KPU. Hasil analisis kegandaan tersebut diteliti berdasarkan pada elemen dasar yaitu, nomor induk kependudukan, nama dan tanggal lahir yang diketahui identik.
Bagi sebuah badan negara sekelas Bawaslu, meneliti elemen dasar daftar pemilih tentu pekerjaan mudah, apalagi mendapatkan akses salinan digital sidalih yang memuat informasi data pemilih.Â
Dengan menggunakan program aplikasi Microsoft Exel secara sederhana misalnya, tentu pemilih ganda identik dengan mudah ditemukan. Dalam terminologi pengawasan, bentuk pengawasan seperti ini disebut dengan pengawasan layar, sebuah tata laksana pengawasan dengan cara memeriksa dan meneliti dokumen yang menjadi objek pengawasan. Â
Persoalannya kemudian, data pemilih ganda bukan satu-satunya elemen akuntabilitas data pemilih yang wajib jadi perhatian Bawaslu. Pengawasan layar memiliki kekurangan yang harus dilengkapi dengan pengawasan aktif, melekat pada objek pengawasan. Pengawasan layar tidak bisa mengidentifikasi pemilih yang sudah meninggal, pemilih yang pindah alamat, pemilih yang tidak ditemukan keberadaannya, atau pemilih yang berubah status dari warga sipil menjadi TNI/Polri.Â
Pemilih ganda identik pun harus dipastikan apakah memang secara faktual datanya ganda, atau di lapangan memang ada dua orang atau lebih yang memiliki NIK ganda. Kehati-hatian penyelenggara pemilu menyikapi persoalan ini menjadi sebuah keharusan, karena keputusan mencoret atau tidak mencoret pemilih dari DPT harus dapat dipertanggungjawabkan.
Merujuk Peraturan Bawaslu Nomor 24 Tahun 2018 tentang Pengawasan Pemutakhiran Data dan Penyusunan Daftar Pemilih Dalam Pemilu, tugas pengawasan di emban Bawaslu hingga Panwaslu Kelurahan/Desa.Â