energi fosil, terutama di Indonesia, telah membawa dampak negatif yang serius, terutama terkait dengan emisi gas rumah kaca. Seorang ahli energi secara rinci membahas konsekuensi polusi dan emisi dari sumber energi konvensional, menggambarkan betapa seriusnya dampaknya terhadap lingkungan dan kesehatan masyarakat. Dalam pandangan mendalam ini, teranglah perlunya beralih ke sumber energi yang lebih bersih dan ramah lingkungan sebagai langkah mitigasi terhadap perubahan iklim.
PenggunaanTidak hanya menyentuh aspek lingkungan, tetapi juga menyoroti urgensi kolaborasi lintas sektoral untuk mencapai keadilan energi yang bersih dan terjangkau. Kontribusi Indonesia dalam mengurangi jejak karbon sesuai dengan komitmen global untuk melawan perubahan iklim menjadi semakin mendesak.
Dalam memberikan pemahaman mendalam tentang dampak lingkungan dari energi kotor terdapat analogi yang kuat: Energi sebagai "darah" dalam tubuh manusia. Sebagaimana darah bersih memberikan nutrisi yang diperlukan oleh sel-sel tubuh, energi bersih menjadi kekuatan utama untuk kelangsungan hidup sektor-sektor kehidupan. Dengan memberikan gambaran energi sebagai "darah," pesan mendalam tentang urgensi menggeser fokus dari sumber energi konvensional ke energi bersih dan berkelanjutan.
Peralihan ini tidak hanya diarahkan untuk mengurangi dampak negatif terhadap lingkungan, tetapi juga untuk mendukung stabilitas ekonomi dan kesejahteraan masyarakat. Energi Baru Terbarukan (EBT) muncul sebagai solusi yang menjanjikan dan nyata, menghadirkan peluang untuk transisi penuh dari energi fosil. Meskipun batubara masih mendominasi sektor pembangkit listrik, target penggunaan EBT sebesar 23% pada tahun 2025 menjadi tantangan yang harus diwujudkan.
Target 23% penggunaan EBT pada tahun 2025 dan Net Zero Emission (NZE) di tahun 2060 harus dikejar dengan penuh tekad. Tantangan yang ada, seperti tingginya biaya dan infrastruktur yang belum memadai, tak boleh menjadi halangan.
Kerja sama multipihak, dari pemerintah, industri, akademisi, hingga masyarakat, menjadi kunci utama. Kolaborasi dan sinergi antar sektor ini akan mempercepat transisi energi dan mewujudkan masa depan yang lebih hijau dan sejahtera.
Pemerintah perlu memperkuat regulasi dan kebijakan yang mendukung pengembangan EBT. Insentif dan kemudahan investasi bagi pengusaha EBT harus dipermudah.
Industri pun perlu didorong untuk beralih ke teknologi yang lebih ramah lingkungan dan meningkatkan efisiensi energi. Akademisi dan peneliti harus terus berinovasi dan mengembangkan teknologi EBT yang tepat guna dan terjangkau.
Selain memberikan manfaat ekonomi, implementasi EBT juga memiliki dampak positif pada masyarakat sekitar. Pembangunan proyek EBTÂ dapat menghidupkan perekonomian lokal dan menciptakan lapangan kerja baru. Namun, perlu diingat bahwa transisi ini tidak datang tanpa tantangan. Aspek-aspek seperti greenflation dan carbon capture storage perlu dipertimbangkan untuk mencapai Net Zero Emission (NZE) pada tahun 2060.
Greenflation, yaitu peningkatan biaya karena kebijakan ramah lingkungan, harus diatasi dengan strategi yang cerdas dan berkelanjutan. Begitu pula dengan pengembangan teknologi carbon capture storage yang menjadi kunci untuk mengurangi emisi karbon secara signifikan. Dalam konteks ini, tanggung jawab tidak hanya ada pada pemerintah, tetapi juga menjadi kewajiban bersama, terutama dari kalangan anak muda.
Energi bukan hanya kebutuhan, tetapi juga pilar tak terpisahkan dari kehidupan manusia. Analogi "Energi adalah Darah" menggambarkan betapa vitalnya peran energi dalam menjaga keseimbangan sosial dan ekonomi. Namun, penggunaan energi fosil sebagai penyebab pemanasan global harus segera diatasi dengan inovasi, terutama melalui EBT.