Mohon tunggu...
andika hendra mustaqim
andika hendra mustaqim Mohon Tunggu... Editor - unmitigated learner

unmitigated learner

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Perang Laut China Selatan Bisa Pecah Kapan Saja, Indonesia Tak Boleh Tinggal Diam

30 Mei 2024   10:21 Diperbarui: 30 Mei 2024   10:21 638
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Laut China Selatan adalah bara yang bisa saja menjadi api perang di dekat Indonesia. Itu karena Laut China Selatan juga bisa menjadi permata yang menggoda banyak pihak untuk menguasainya. Itulah kenapa banyak negara memperebutkan Laut China Selatan sehingga perang bisa saja pecah kapan saja di kawasan tersebut. Akibatnya, Indonesia berada di dekat perbatasan Laut China Selatan pun ikut terkena getahnya.

Indonesia makin gerah ketika China Daily mengumumkan Peta Standar China 2023 yang diklaim mendorong pembangunan bangsa dan peradaban. Dalam peta tersebut, China mempertahankan klaim klasiknya yang disebut sebagai sembilan garis putus-putus [nine-dash-line] di kawasan Laut China Selatan.

Melansir BBC, hal terbaru dalam peta ini adalah masuknya kawasan laut bagian timur Taiwan sehingga menambah satu garis putus--dari sembilan menjadi 10 garis putus-putus. 10 garis putus-putus dalam peta baru China ini juga memperluas klaim atas wilayah laut yang berbatasan ekonomi eksklusif milik Malaysia dekat Sabah dan Sarawak, Brunei, Filipina, Indonesia dan Vietnam.

Selain itu, hubungan dengan China perihal laut China Selatan dan Natuna. Pada Desember 2021, China pernah meminta Indonesia menghentika pengeboran minyak dan gas alam di wilayah Natuna yang berdekatan dengan Laut China Selatan karena merupakan Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia.

Dan hal paling berbahaya adalah kedaulatan Indonesia terancam karena konflik Laut China Selatan. Perang pun bisa pecah kapan saja di Laut China. Mau tak mau, Indonesia tidak boleh tinggal diam dan harus bergerak serta bersiap-siap.

Seperti diungkapkan Pensiunan Laksamana Angkatan Laut AS James Stavridis, mantan panglima tertinggi sekutu NATO di Eropa, mengatakan bahwa perang dunia baru bukan muncul di Ukraina dan Eropa. Melansir Newsweek pada Desember 2023, dia memprediksi, perang dunia baru akan muncul di Laut China Selatan.

Indonesia mau tak mau dan siap tak siap harus menerima kenyataan. Ancaman perang pun bisa saja terjadi dan kapan saja bisa pecah. Setidaknya ancaman perang konvesional dan perang modern akan pecah jika konflik Laut China Selatan tidak terselesaikan. Belajar dari pengalaman dan memandang visi kedepan, Indonesia juga sudah bergerak dan bersiap menghadapi berbagai jenis perang yang bisa saja terjadi di Laut China Selatan.

Perang Laut: Indonesia Memiliki Doktrin Perang Semesta

tnial.mil.id
tnial.mil.id

Pada 21 Maret 2024 lalu, Brahma Chellaney, profesor emeritus studi strategis di Pusat Penelitian Kebijakan yang berbasis di New Delhi dan penulis "Water, Peace, and War: Confronting the Global Water Crisis", menulis sebuah artikel di Japan Times yang menyebutkan bahwa risiko eskalasi perang terbesar mungkin terletak di Laut China Selatan, tempat upaya agresif China untuk memperkuat dominasinya sering kali berujung pada konfrontasi yang berbahaya, termasuk dengan kapal perang dan pesawat Amerika Serikat.

Chellaney mengungkapkan, baik angkatan laut dan angkatan udara China secara rutin berpatroli di zona ekonomi eksklusif (ZEE) tetangganya dan penjaga pantainya -- yang terbesar dan paling termiliterisasi di dunia -- telah melakukan "patroli yang mengganggu" di ladang minyak dan gas lepas pantai negara lain. Tentunya, apa yang dilakukan China adalah membayangi, memburu, dan mengganggu kapal-kapal milik AS, serta negara-negara tetangga yang lebih kecil, seperti Filipina dan Vietnam, yang memiliki klaim teritorial di wilayah tersebut.

Dari analis Chellaney menunjukkan kemungkinan perang yang bisa terjadi adalah perang laut. Hal tersebut sangat masuk akal karena wilayah yang diperebutkan sebagian besar adalah laut. Titik konfliknya adalah laut, meskipun banyak terumbu karang dan pulau buatan yang sudah dibangun.

Dengan begitu, siapa yang memiliki armada Angkatan Laut yang kuat, maka mereka yang siap dalam menghadapi pertempuran di Laut China Selatan. Kekuatan militer Indonesia dalam pemeringkatan versi Global Fire Global berada pada posisi ke-15. Indonesia memiliki total aset 332, dengan 205 kapal patroli, 25 kapal corvettes, 4 kapal selam dan 8 frigates. Untuk armada udara, Indonesia memiliki 14 pesawat jenis fightrer dan 37 kapal jenis penyerang, dengan dukungan 210 helkopter dan 15 helikopter perang. Dengan jumlah tentara aktif mencapai 400.000, Indonesia menjadi negara yang patut disegani di kawasan Laut China Selatan.

Namun demikian, pengalaman suatu negara dalam perang laut juga menjadi suatu hal pengalaman berharga. Sejarah mencatat bahwa Indonesia pernah mengalami perang laut yakni perang Laut Aru yang terjadi di Laut Arafura di Maluku pada 15 Januari 1962. Itu merupakan perang antara Indonesia dan Belanda.

Dalam perspektif pertahanan rakyat semesta yang dianut Indonesia menunjukkan perang laut menjadi suatu hal yang tidak bisa diabaikan. Sistem tersebut sebenarnya menjadi andalan Indonesia dalam persiapan menghadapi konflik di Laut China Selatan.

Apalagi, tak banyak negara menerapkan sistem tersebut di mana perang tidak hanya mengandalkan di mana pertahanan negara selain didukung militer, tetapi juga sipil yakni warga negara diikuterstakan dalam mempertahankan kedaulautan negara dan keutuhan wilayah Indonesia. Selain itu, unsur lain seperti wilayah dan sumber daya nasional juga dipadukan sesuai dengan Undang-Undang Nomor 23 tahun 2019 tentang pengelolaan sumber daya nasional untuk pertahanan negara.

Perang Nuklir: Indonesia Mendorong ASEAN sebagai Zona Bebas Nuklir

pexels.com
pexels.com

Perang nuklir yang sangat mengerikan bisa saja terjadi di Laut China Selatan. Kenapa? China sebagai pihak yang ikut dalam ketegangan di Laut China Selatan merupakan negara yang memiliki senjata nuklir.

Berdasarkan data Arms Control Association, per Oktober 2023, China memiliki 500 senjata nuklir dan diprediksi memiliki 1.000 hulu ledak nuklir pada 2030. Seperti dikemukakan Amrita Jash, pakar geopolitik dari India, menyebutkan bahwa China memiliki senjata nuklir dengan tujuan kontestasi dengan Amerika Serikat dan India, serta meningkatkan pengaruh globalnya, termasuk di Laut China Selatan.

Sedangkan Amerika Serikat (AS) yang ikut dalam ketegangan di Laut China Selatan juga merupakan negara dengan kekuatan nuklir dengan memiliki 5.244 senjata nuklir. Dengan dalih kebebasan navigasi, AS unjuk diri dengan menyatakan bahwa Laut China Selatan merupakan perairan internasional di mana banyak negara memiliki kepentingan. Selain itu, AS merupakan sekutu Filipina yang ikut terlibat berbagai provokasi dengan China di Laut China Selatan.

Yang paling menegangkan ancaman kedaulatan terhadap Indonesia di Laut China Selatan yakni perang nuklir ternyata sudah di depan mata. Seperti laporan Voice of America pada 16 Mei 2024 lalu menyatakan bahwa China dikabarkan mengembangkan reaktor nuklir terapung di Laut China Selatan. Selain itu, China juga membangun kapal dengan sumber tenaga nuklir bergerak di kawasan tersebut. Meskipun laporan South China Morning Post menyebutkan proyek tersebut sebenarnya sudah dihentikan setahun lalu karena faktor keamanan dan efektivitas.

Yang jelas, apa yang dilakukan China itu merupakan ancaman kedaulatan negara-negara yang berada di sekitar Laut China Selatan, termasuk di Indonesia. China ingin memamerkan bahwa mereka memiliki kemampuan dan teknologi nuklir. Itu juga menunjukkan sebagai upaya China menggertak negara-negara yang tidak sepakat dengannya dengan ancaman perang nuklir.

Kehadiran nuklir terapung di pulau buatan China di Laut China Selatan untuk menjadi dalih bagi China bahwa mereka hadir dan siap untuk mempertahankan wilayah yang diklaim tersebut. Itu juga sebagai upaya menakuti negara lain agar tidak mendekati wilayah yang tersebut sehingga China bisa mengusir kapal perang negara lain di wilayah tersebut dalih keamanan nuklir terapung tersebut.

Nuklir terapung tersebut juga memperlihatkan bahwa China sudah mempersiapkan diri untuk menghadapi perang nuklir di masa depan. Apalagi, itu juga bisa menjadi sumber energi yang mampu menggerakkan berbagai alat perang China lainnya sudah dipersiapkan di Laut China Selatan.  

Bagaimana dengan Indonesia? Menurut Nuclear Threat Initiative, Indonesia tidak memiliki program senjata nuklir. Apalagi, Indonesia juga negara yang menandatangani Non-Proliferation of Nuclear Weapons (NPT) pada 1970 dan sangat aktif mendorong pemusnahan senjata nuklir.

Menteri Luar Negeri Indonesia Retno Marsudi dalam berbagai kesempatan di forum diplomasi memperingatkan ancaman senjata nuklir yang bisa menyebabkan kesalahan kalkulasi sehingga menimbulkan kehancuran. Dalam Konferensi ASEAN pada Juli 2023 silam, Retno mengajar agar kawasan ASEAN menjadi zona bebas nuklir.

Apa yang sudah dilakukan Pemerintah Indonesia sudah tepat. Sudah selayaknya Indonesia menolak senjata nuklir karena hanya akan menciptakan malapetakan dan kehancuran. Dengan mendorong ASEAN sebagai zona bebas nuklir akan memberikan konsekuensi menghindarkan Laut China Selatan dari perang nuklir. Namun, seruan Indonesia harus mendapatkan dukungan dan meraih konsensus di ASEAN melalui upaya diplomasi yang gencar.

Perang Drone: Indonesia Siap dalam Perang Gerilya Modern

tnial.mil.id
tnial.mil.id

Sebuah drone survei lingkungan China jatuh di perairan antara Taiwan dan Filipina, Beijing memperingatkan pada Rabu (29/5/2024) ketika Tentara Pembebasan Rakyat (PLA) bersiap untuk meluncurkan latihan dua hari di sekitar pulau tersebut. Kecelakaan itu terjadi ketika ketegangan meningkat di Laut China Selatan, dengan serangkaian perselisihan maritim antara kapal China dan Filipina dalam beberapa bulan terakhir.

Itu menunjukkan bahwa perang drone memang sudah menjadi hal yang tak bisa dihindari di Laut China Selatan. Itu semakin intensif dalam beberapa tahun terakhir, tetapi itu dimulai pada 2016 saat Angkatan Laut AS menyita unmanned underwater vehicle (UUV) milik China. AS juga berulang kali menerbangkan drone mata-mata MQ-4C Triton di Laut China Selatan yang dianggap Beijing memicu risiko konflik.

Sudah menjadi fakta baik China dan Amerika Serikat semakin banyak menggunakan drone sipil dan militer di perairan yang disengketakan, termasuk di Laut China Selatan.  Menurut laporan "The Global Naval Vessels and Surface Combatants Market Forecast 2024-2034" dari GlobalData, China akan menghabiskan sekitar USD46,2 miliar untuk pengadaan berbagai kapal angkatan laut selama sepuluh tahun ke depan. Dari jumlah tersebut, 8,5% akan diarahkan untuk pengadaan kapal amfibi dan kapal induk, termasuk kapal induk drone.

Belajar dari perang Rusia dan Ukraina, di mana drone udara dan laut menjadi pengubah peperangan. Dunia juga dikejutkan ketika Iran mengirimkan 170 drone, 120 rudal balistik, dan 30 rudal jelajah ke Israel yang menunjukkan pesawat nirawak menjadi daya tawar dalam peperangan. Drone bukan sekadar sebagai alat bantu dalam peperangan, tetapi menjadi hal yang utama dan menjadi penentu kemenangan dalam perang.

Pada dasarnya, perang drone adalah perang gerilya baik di udara dan laut dengan teknologi berbasis artificial intelligence. Seperti pernah diungkapkan Mao Zedong, presiden pertama China, bahwa taktik dan strategi revolusioner yang efekrif jika dilaksanakan dengan perang yang tak beraturan atau perang gerilyawa, "gerilya harus bergerak bersama rakyat seperti ikan berenang di lautan."

Bukannya Indonesia memiliki sejarah panjang dengan perang gerilya? Namun kini, perang gerilya dilaksanakan dengan bantuan teknologi drone baik di darat dan laut. Terus, apakah Indonesia menjadi penonton saja dalam perang drone?

Jawabannya tidak. TNI AU sudah memiliki berbagai drone, seperti CH-4 dan ANKA. Selain itu, Indonesia sudah membeli drone asal Turki, Bayraktar. TNI Au juga berencana menambah dua skuadron drone baik di Tarakan dan Malang. Untuk mengantisipasi perang drone di Laut China Selatan, Indonesia sudah memiliki skuadron S2 di Natuna, dan didukung dengan Skuadron S1 di Pontianak.

Kedepannya, Indonesia diharapkan memproduksi drone sendiri dengan mengandalkan banyak sumber daya manusia yang mumpuni di bidang tersebut. Dengan dukungan political will dari pemerintah, maka hal tersebut bukan hal mustahil. Jika Indonesia memiliki drone buatan sendiri, maka perang gerilya di udara dan laut bisa dimenangkan oleh Indonesia.

Seperti Institute Teknologi Sepuluh September (ITS) Surabaya berhasil mengembangkan drone sniffing yang mampu mendeteksi polusi udara. Kedepannya, itu bisa dikembangkan untuk kepentingan militer. Selain itu, pada Desember 2023, SINDONews melaporkan bahwa Mayor Laut Cahya Kusuma mampu membuat drone kamikaze yang untu misi bunuh diri. Drone tersebut mampu terbang dengan jarak 10.000 meter dengan ketinggian 80 meter dengan kecepatan 80 km per jam ditambah kecepatan maksimalnya mencapai 200 km per jam. Selain itu, Indonesia juga memiliki drone kamikaze buatan PT Dana yang telah dipamerkan pada 2022 dengan nama Rajata yang diklaim tidak kalah dengan Kalashnikovnya Rusia, Warmatenya Polandia, hingga Hero-30 milik Israel.

Perang Elektronik: Indonesia Harus Mulai Beradaptasi dengan Perang Setan

tnial.mil.id
tnial.mil.id

Perang elektronik, sebagai salah satu jenis perang hibrida dan perang berbasis artificial intelligence, sudah lama dimulai di Laut China Selatan. Newsweek melaporkan pada 28 Februari 2024 bahwa juru bicara Angkatan Laut Filipina menyatakan gangguan sinyal yang mempengaruhi pelayaran Filipina di perairan yang diklaim China sama dengan perang elektronik. Itu dialami kapal penjaga pantai Filipina yang mengalami gangguan sinyal identifikasi otomatis (AIS),

Bahkan, Presiden Filipina Ferdinand Marcos Jr sudah mengungkapkan bahwa intervensi elektronik yang mempengaruhi kapal-kapal Filipina di Laut Filipina Barat sangat mengkhawatirkan. Filipina menyebutkan bahwa perang elektronik sudah berlangsung 2021 silam, namun makin intensif sejak 2024.

Dalam penelitian dilakukan J Michael Dahm berjudul Electronic Warfare and Signals Intelligence, dari Applied Physics Laboratory Universitas Johns Hopkins pada 2020, mengungkapkan bahwa China menggunakan strategi perang elektronik berbasis mobile ground dan pesawat yang menyebarkan jamming atau SIGINT. Itu bertujuan untuk mengganggu sistem komunikasi dan kapasitas radar. Dahm menyarankan melawan jaringan elektronik China yang kompleks akan menjadi solusinya memerlukan pendekatan sistem-sistem yang terintegrasi yang mengintegrasikan cara-cara kinetik dan nonkinetik untuk menolak rancangan tentara China untuk mendapatkan dan mendapatkan keuntungan informasi di ruang pertempuran.

Perkembangan terbaru adalah peneliti China membuat terobosan dalam mengembangkan teknologi perang elektronik. Melansir dari India Times menyebutkan bahwa Beijing mampu mengembangkan metode berkelanjutan, bandwidth yang luas, monitoring real-time dan analisis spektrum elektromagnetik yang lebih efektif untuk mengalahkan musuh di medan perang. Dengan teknologi baru yang dikembangkan pada awal 2024 itu menjadikan China mampu melumpuhkan sinyal musuh dan mendekode karakteristik fisik musuh serta menetralkan mereka. Bahkan, South China Morning Post mengungkapkan bahwa teknologi tersebut sudah digunakan China dalam perang elektronik di Laut China Selatan.

Bagaimana Indonesia menghadapi perang elektronik di Laut China Selatan? Indonesia masih tertinggal dan harus berbenah. Namun, semuanya belum terlambat. Indonesia diyakini mampu mengejar ketertinggalannya. Pasalnya, perang elektronik adalah perang hantu, suatu pertempuran yang tak terlihat.

Itu dibuktikan dengan TNI Angkatan Udara mengirim 15 perwira untuk mengikuti pendidikan perang elektronika di MASS Consultant, Lincolnshire, Inggris, pada Juli 2023. Selain itu, TNI AL juga pernah menggelar latihan perang elektronika di wilayah Komando Armada I dan II pada Oktober 2023 silam. Latihan tersebut ditujukan untuk mengikuti perkembangan teknologi militer yang menjadi penentu dalam operasi laut.

Komitmen Kementerian Pertahanan Indonesia juga ditunjukkan oleh Sekretaris Jenderal Kementerian Pertahanan Marsdya TNI Donny Ermawan Taufanto pada 2023. Dia mengungkapkan kalau kebijakan pertahanan negara terkait pertahanan udara dan perang elektronika, diperlukan kebijakan pembangunan SDM yang profesional, adaptif dan responsif terhadap perkembangan lingkungan strategis.

Sebagai salah satu jenis perang modern, perang elektronik adalah suatu keniscayaan. Apa yang dilakukan Indonesia sudah menunjukkan pola adaptasi terhadap perkembangan teknologi militer yang berkembang sangat pesat. Membeli peralatan perang elektronik sudah melekat pada kapal perang dan pesawat tempur juga menjadi pilihan. Apalagi, banyak pesawat tempur dan kapal perang yang sudah dilengkapi perang elektronik, baik buatan AS, Rusia atau China hingga berbagai negara lain.

Alangkah baiknya jika Kementerian Pertahanan bekerja sama dengan Badan Riset Nasional yang memiliki para ahli untuk mengembangkan teknologi perang elektronik. Dengan mengandalkan kemampuan dan keahlian para ahli teknologi militer Indonesia, maka mereka bisa membuat alat yang berbeda dan tidak bisa ditiru oleh negara lain. Dengan begitu, Indonesia akan mampu menjaga kedaulatan dengan perang berbasis pada artificial intelligence, seperti perang elektronik.

Perang Siber: Dengan Dalih Nasionalisme, Perlu Merangkul Hacker Indonesia

Instagram TNI Angkatan Darat
Instagram TNI Angkatan Darat

Perang siber sudah dimulai di China. Apa buktinya. Vietnam yang cukup vokal terhadap China dalam kasus Laut China Selatan, menurut analisis Viet Dung Trinh, kandidat PhD di Universitas Queensland, dalam artikelnya di East Asia Forum, menyatakan Vietnam kerap menjadi korban serangan siber oleh hacker asal China. Itu menganggu kedaulatan, keamanan dan stabilitas domestik. Misalnya pada 2012, peretas China mereta kantor berita dan media di Vietnam. Bahkan, bandara Tan Son Nhat dan Noi Bai juga pernah dieratas. Pada 2023, sebanyak 6.000 serangan siber dilaporkan terjadi di Vietnam.

Mengantisipasi serangan siber berkaitan dengan konflik Laut China Selatan, Filipina juga meningkatkan pertahanan siber. Pasalnya, sepanjang tahun ini saja, akun media sosial Pasukan Penjaga Pantai Filipina selalu menjadi target peretasan. Lagi-lagi, China selalu membantah dalam setiap serangan siber.

Bukan hanya peretasan, menurut Michael Raggi dan Sveva Scenarelli dari PwC Threat Intelligence mengungkapkan bahwa mereka mendeteksi spionase siber yang dilakukan oleh China terhadap negara-negara yang terlibat konflik di Laut China Selatan. Misalnya, aksi spionase siber yang dilakukan China sejak 2013 menarget organisasi yang fokus pada Laut China Selatan,

Masa depan internet bergantung pada negara yang mendominasi Laut China Selatan. Itu diungkapkan Maurizio Geri, mantan analis senior NATO.  Mengapa hal tersebut bisa terjadi? Laut China Selatan bukan hanya jalur lalu lintas kapal dan sumber mineral serta minyak. Selain itu, Laut China Selatan juga merupakan kawasan Big Data di mana masa depan di mana pemenang konflik Laut China Selatan juga menjadi penentu.

Menurut Geri, 486 kabel bawah tanah menyediakan jaringan internet internasional yang didominasi perusahaan AS. Tapi, pada 2022, Malaysia bergabung dengan program kabel South East Asia Hong Kong Express Cable System sepanjang 5.000 km menghubungan Hong Kong, China, Filpina dan Thailand hingga Singapura.

Untuk perang siber, Indonesia sudah siap. Pada awal tahun 2024, Presiden Indonesia Joko Widodo pernah menyatakan bahwa TNI dan Polri harus memanfaatkan teknologi terutama untuk menghadapi perang siber yang makin meningkat. TNI juga memiliki Satuan Siber yang mengantisipasi perang multidimensional di dunia maya yang mulai bekerja pada 2017 silam. Satuan Siber merupakan pasukan khusus yang menjadi Kopasus di dunia maya.

Munculnya wacana tentang angkatan siber yang dpernah disampaikan oleh Mantan kepala Badan Intelijen negara AM Hendropriyono makin menguat karena makin banyak serangan siber ke Indonesia. Namun, usulan tersebut hanya akan menambah anggaran dan tumpang tindih karena TNI sudah memiliki satuan siber dan pemerintah juga memiliki Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN).

Yang perlu dilakukan, seperti halnya dilakukan negara-negara Barat, Indonesia perlu merangkul para hacker dan peretas yang berkeliaran dan bekerja tanpa arahan. TNI melalui Satuan Siber bisa bekerja sama dengan mereka dengan menerapkan Doktrin Perang Semesta dengan menjadikan para hacker sebagai peserta bela negara. Dengan kemampuan hacker Indonesia yang sudah canggih dan mumpuni, maka Indonesia mempersiapkan diri dalam menghadapi perang siber, salah satu jenis perang hibrida, untuk menjaga kedaulatan Indonesia, terutama di Laut China Selatan.

Indonesia Sudah Banyak Bergerak Menjaga Kedaulatan di Tengah Ancaman Perang Laut China Selatan

Pemerintah Indonesia, terutama TNI, sudah bergerak untuk menjaga kedaulatan dalam menghadapi ancaman berbagai perang, baik konvesional hingga modern. Namun, Indonesia harus terus meningkatkan kemampuan dan kewaspadaan sehingga tidak boleh lengah.

Inovasi adalah kuncinya. Mengembangkan teknologi militer buatan dalam negeri menjadi hal mutlak sehingga tidak mengalami ketergantungan dengan negara lain. Bekerja sama dengan semua elemen bangsa, baik perguruan tinggi hingga perusahaan swasta untuk mengembangkan teknologi militer yang mumpuni bukan suatu hal yang sulit, tetapi perlu niat baik dan konsistensi.

Kedaulatan adalah motivasinya. Membangkitkan semangat untuk menjaga kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia menjadi motivasi paling puncak. Jika kedaulatan sudah diganggu, bukan hanya TNI yang bergerak, tetapi seluruh rakyat Indonesia akan membantu dengan doktrin Sistem pertahanan keamanan rakyat Semesta menjadi sistem pertahanan yang dianut Indonesia dalam menjaga kedaulatan negara.

Itu sesuai dengan ajaran Jenderal TNI AH Nasution dalam bukunya berjudul Pokok-pokok Gerija bahwa perang rakyat membantu perjuangan TNI. Kenapa? AH Nasution mengatakan, perang bukan hanya usaha tentara, tetapi usaha rakyat semesta.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun