Mohon tunggu...
andika hendra mustaqim
andika hendra mustaqim Mohon Tunggu... Editor - unmitigated learner

unmitigated learner

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Perang Laut China Selatan Bisa Pecah Kapan Saja, Indonesia Tak Boleh Tinggal Diam

30 Mei 2024   10:21 Diperbarui: 30 Mei 2024   10:21 276
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dalam penelitian dilakukan J Michael Dahm berjudul Electronic Warfare and Signals Intelligence, dari Applied Physics Laboratory Universitas Johns Hopkins pada 2020, mengungkapkan bahwa China menggunakan strategi perang elektronik berbasis mobile ground dan pesawat yang menyebarkan jamming atau SIGINT. Itu bertujuan untuk mengganggu sistem komunikasi dan kapasitas radar. Dahm menyarankan melawan jaringan elektronik China yang kompleks akan menjadi solusinya memerlukan pendekatan sistem-sistem yang terintegrasi yang mengintegrasikan cara-cara kinetik dan nonkinetik untuk menolak rancangan tentara China untuk mendapatkan dan mendapatkan keuntungan informasi di ruang pertempuran.

Perkembangan terbaru adalah peneliti China membuat terobosan dalam mengembangkan teknologi perang elektronik. Melansir dari India Times menyebutkan bahwa Beijing mampu mengembangkan metode berkelanjutan, bandwidth yang luas, monitoring real-time dan analisis spektrum elektromagnetik yang lebih efektif untuk mengalahkan musuh di medan perang. Dengan teknologi baru yang dikembangkan pada awal 2024 itu menjadikan China mampu melumpuhkan sinyal musuh dan mendekode karakteristik fisik musuh serta menetralkan mereka. Bahkan, South China Morning Post mengungkapkan bahwa teknologi tersebut sudah digunakan China dalam perang elektronik di Laut China Selatan.

Bagaimana Indonesia menghadapi perang elektronik di Laut China Selatan? Indonesia masih tertinggal dan harus berbenah. Namun, semuanya belum terlambat. Indonesia diyakini mampu mengejar ketertinggalannya. Pasalnya, perang elektronik adalah perang hantu, suatu pertempuran yang tak terlihat.

Itu dibuktikan dengan TNI Angkatan Udara mengirim 15 perwira untuk mengikuti pendidikan perang elektronika di MASS Consultant, Lincolnshire, Inggris, pada Juli 2023. Selain itu, TNI AL juga pernah menggelar latihan perang elektronika di wilayah Komando Armada I dan II pada Oktober 2023 silam. Latihan tersebut ditujukan untuk mengikuti perkembangan teknologi militer yang menjadi penentu dalam operasi laut.

Komitmen Kementerian Pertahanan Indonesia juga ditunjukkan oleh Sekretaris Jenderal Kementerian Pertahanan Marsdya TNI Donny Ermawan Taufanto pada 2023. Dia mengungkapkan kalau kebijakan pertahanan negara terkait pertahanan udara dan perang elektronika, diperlukan kebijakan pembangunan SDM yang profesional, adaptif dan responsif terhadap perkembangan lingkungan strategis.

Sebagai salah satu jenis perang modern, perang elektronik adalah suatu keniscayaan. Apa yang dilakukan Indonesia sudah menunjukkan pola adaptasi terhadap perkembangan teknologi militer yang berkembang sangat pesat. Membeli peralatan perang elektronik sudah melekat pada kapal perang dan pesawat tempur juga menjadi pilihan. Apalagi, banyak pesawat tempur dan kapal perang yang sudah dilengkapi perang elektronik, baik buatan AS, Rusia atau China hingga berbagai negara lain.

Alangkah baiknya jika Kementerian Pertahanan bekerja sama dengan Badan Riset Nasional yang memiliki para ahli untuk mengembangkan teknologi perang elektronik. Dengan mengandalkan kemampuan dan keahlian para ahli teknologi militer Indonesia, maka mereka bisa membuat alat yang berbeda dan tidak bisa ditiru oleh negara lain. Dengan begitu, Indonesia akan mampu menjaga kedaulatan dengan perang berbasis pada artificial intelligence, seperti perang elektronik.

Perang Siber: Dengan Dalih Nasionalisme, Perlu Merangkul Hacker Indonesia

Instagram TNI Angkatan Darat
Instagram TNI Angkatan Darat

Perang siber sudah dimulai di China. Apa buktinya. Vietnam yang cukup vokal terhadap China dalam kasus Laut China Selatan, menurut analisis Viet Dung Trinh, kandidat PhD di Universitas Queensland, dalam artikelnya di East Asia Forum, menyatakan Vietnam kerap menjadi korban serangan siber oleh hacker asal China. Itu menganggu kedaulatan, keamanan dan stabilitas domestik. Misalnya pada 2012, peretas China mereta kantor berita dan media di Vietnam. Bahkan, bandara Tan Son Nhat dan Noi Bai juga pernah dieratas. Pada 2023, sebanyak 6.000 serangan siber dilaporkan terjadi di Vietnam.

Mengantisipasi serangan siber berkaitan dengan konflik Laut China Selatan, Filipina juga meningkatkan pertahanan siber. Pasalnya, sepanjang tahun ini saja, akun media sosial Pasukan Penjaga Pantai Filipina selalu menjadi target peretasan. Lagi-lagi, China selalu membantah dalam setiap serangan siber.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun