Mohon tunggu...
andika hendra mustaqim
andika hendra mustaqim Mohon Tunggu... Editor - unmitigated learner

unmitigated learner

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Perang Laut China Selatan Bisa Pecah Kapan Saja, Indonesia Tak Boleh Tinggal Diam

30 Mei 2024   10:21 Diperbarui: 30 Mei 2024   10:21 811
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Instagram TNI Angkatan Darat

Sudah menjadi fakta baik China dan Amerika Serikat semakin banyak menggunakan drone sipil dan militer di perairan yang disengketakan, termasuk di Laut China Selatan.  Menurut laporan "The Global Naval Vessels and Surface Combatants Market Forecast 2024-2034" dari GlobalData, China akan menghabiskan sekitar USD46,2 miliar untuk pengadaan berbagai kapal angkatan laut selama sepuluh tahun ke depan. Dari jumlah tersebut, 8,5% akan diarahkan untuk pengadaan kapal amfibi dan kapal induk, termasuk kapal induk drone.

Belajar dari perang Rusia dan Ukraina, di mana drone udara dan laut menjadi pengubah peperangan. Dunia juga dikejutkan ketika Iran mengirimkan 170 drone, 120 rudal balistik, dan 30 rudal jelajah ke Israel yang menunjukkan pesawat nirawak menjadi daya tawar dalam peperangan. Drone bukan sekadar sebagai alat bantu dalam peperangan, tetapi menjadi hal yang utama dan menjadi penentu kemenangan dalam perang.

Pada dasarnya, perang drone adalah perang gerilya baik di udara dan laut dengan teknologi berbasis artificial intelligence. Seperti pernah diungkapkan Mao Zedong, presiden pertama China, bahwa taktik dan strategi revolusioner yang efekrif jika dilaksanakan dengan perang yang tak beraturan atau perang gerilyawa, "gerilya harus bergerak bersama rakyat seperti ikan berenang di lautan."

Bukannya Indonesia memiliki sejarah panjang dengan perang gerilya? Namun kini, perang gerilya dilaksanakan dengan bantuan teknologi drone baik di darat dan laut. Terus, apakah Indonesia menjadi penonton saja dalam perang drone?

Jawabannya tidak. TNI AU sudah memiliki berbagai drone, seperti CH-4 dan ANKA. Selain itu, Indonesia sudah membeli drone asal Turki, Bayraktar. TNI Au juga berencana menambah dua skuadron drone baik di Tarakan dan Malang. Untuk mengantisipasi perang drone di Laut China Selatan, Indonesia sudah memiliki skuadron S2 di Natuna, dan didukung dengan Skuadron S1 di Pontianak.

Kedepannya, Indonesia diharapkan memproduksi drone sendiri dengan mengandalkan banyak sumber daya manusia yang mumpuni di bidang tersebut. Dengan dukungan political will dari pemerintah, maka hal tersebut bukan hal mustahil. Jika Indonesia memiliki drone buatan sendiri, maka perang gerilya di udara dan laut bisa dimenangkan oleh Indonesia.

Seperti Institute Teknologi Sepuluh September (ITS) Surabaya berhasil mengembangkan drone sniffing yang mampu mendeteksi polusi udara. Kedepannya, itu bisa dikembangkan untuk kepentingan militer. Selain itu, pada Desember 2023, SINDONews melaporkan bahwa Mayor Laut Cahya Kusuma mampu membuat drone kamikaze yang untu misi bunuh diri. Drone tersebut mampu terbang dengan jarak 10.000 meter dengan ketinggian 80 meter dengan kecepatan 80 km per jam ditambah kecepatan maksimalnya mencapai 200 km per jam. Selain itu, Indonesia juga memiliki drone kamikaze buatan PT Dana yang telah dipamerkan pada 2022 dengan nama Rajata yang diklaim tidak kalah dengan Kalashnikovnya Rusia, Warmatenya Polandia, hingga Hero-30 milik Israel.

Perang Elektronik: Indonesia Harus Mulai Beradaptasi dengan Perang Setan

tnial.mil.id
tnial.mil.id

Perang elektronik, sebagai salah satu jenis perang hibrida dan perang berbasis artificial intelligence, sudah lama dimulai di Laut China Selatan. Newsweek melaporkan pada 28 Februari 2024 bahwa juru bicara Angkatan Laut Filipina menyatakan gangguan sinyal yang mempengaruhi pelayaran Filipina di perairan yang diklaim China sama dengan perang elektronik. Itu dialami kapal penjaga pantai Filipina yang mengalami gangguan sinyal identifikasi otomatis (AIS),

Bahkan, Presiden Filipina Ferdinand Marcos Jr sudah mengungkapkan bahwa intervensi elektronik yang mempengaruhi kapal-kapal Filipina di Laut Filipina Barat sangat mengkhawatirkan. Filipina menyebutkan bahwa perang elektronik sudah berlangsung 2021 silam, namun makin intensif sejak 2024.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun