Mohon tunggu...
Andika D.H.
Andika D.H. Mohon Tunggu... -

Peserta terakhir soal asmara. Tinggal di gubuk kata tempat pemuda bernostalgia.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Azizah

15 Agustus 2014   14:01 Diperbarui: 18 Juni 2015   03:29 40
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

KEINGINAN Azizah sebagai pengurus pesantren kini nampak sudah rupanya.  Dia diangkat menjadi pengurus pesantren puteri. Semua ia lewati seakan-akan tidak ada tempat terbaik kecuali menjadi pengurus. Menurutnya menjadi pengurus adalah salah satu kegiatan mulya selama dalam menjalaninya dengan penuh keikhlasan.

Seiring bergulirnya waktu, melihat kinerja Azizah yang penuh tanggung jawab. Akhirnya ia ditetapkan sebagai anggota keamanan putri. Azizah begitu gembira mendengar kabar itu, tanpa ia sadari bulir matanya terjatuh.

“Kenapa menangis kak Ziz?” tanya sahabat karibnya yang datang dari arah berlawanan. Azizah memeluk erat sahabatnya, ia tumpahkan semua rasa gembiranya kepada sahabatnya. Tak perduli santri-santri putri yang lewat di sampingnya melihat penuh pertanyaan.

“A...aku. Sekarang menjadi anggota keamanan, kak Ve,” suara Azizah terbata-bata lirih. Ve tercengang mendengar kata-kata sabatnya itu, serasa tak percaya kalau sahbatnya yang sangat ia sayangi benar-benar menjadi anggota keamanan. Kenapa harus Azizah yang menjadi keamanan, apakah Azizah sudah tahu konsekwensinya menjadi keamanan, bagaimana jika sahabatku ini tidak kuat menjalani tugasnya dikemudian hari. Pertanyaan demi pertanyaan membanjiri fikiran Ve, Ve berusaha tenang meski hati menahan sembilu yang menyakitkan.

“Aku juga merasa senang kak Ziz, berhenti dulu ya menangisnya. Nggak enak banyak santriwati yang melihat,” ke dua ibu jari Ve mengusap air mata sahabatnya yang terus mengalir di bawah kelopak matanya yang merona.

“Ayo kak Ziz, kita kembali ke kamar,” ajak Ve singkat. Azizah tersipu malu ketika santri putra melihatnya menangis di simpang jalan.

***

Satu minggu kemudian Azizah mulai beraktifitas bersama teman-teman keamanan. Manakala hari hampir petang Azizah bersama dua orang temannya menyusuri kampus-kampus yang ada di sekitar pondok pesantren. Hanya sekedar memastikan bahwa santriwati telah kembali ke asramanya masing-masing.

Namun siapa sangka kalau waktu itu ada santriwati yang bersembunyi di balik pohon besar. Ketiga keamanan itu dengan gusar menghampirinya, mendapati ketiga keamanan tersebut menuju kearahnya. Tanpa pikir panjang santriwati tersebut lari dengan sekuat tenaga ke arah timur.

“Hay.... jangan lari,” teriak Azizah yang geram melihat tingkah laku santriwati itu. Seakan tidak dihiraukan kata-katanya, akhirnya Azizah dan satu temannya mengejarnya sambil meninggikan mexi panjangnya hinga ke atas mata kakinya, sedang teman satunya berlari ke kamarnya mencoba menghubungi kantor keamanan pusat meminta pertolongan.

Belum sampai mengangkat gagang telfon, Azizah dan temannya membawa santriwati yang mencoba kabur itu ke kantor keamanan putri. Perempuan yang tadinya akan menghubungi kemanan pusatpun tercengan melihat Azizah dan temannya telah berada di hadapannya.

“Kok cepat sekali,” tanya Ningsih lirih kepada Arum.

“Tanya tu sama Azizah,” ketus Arum manahan sakit. Ningsih tidak menyadari darah yang mengalir pelan dari kaki Arum yang terluka akibat terjatuh saat melakukan pengejaran. Tanpa perduli, Ningsih menghampiri Azizah.

“Braaakkk, ayo ngaku. Sejak kapan kamu kabur dari pondok?” suara meja yang di pukul dengan gagang sapu terdengar ke luar ruang sidang. Ditambah lagi suara Azizah yang nyaring melengking membuat jantung Ningsih berdegup kencang, tubuhnya gemetar, tepat di depan pintu ruang sidang ningsih berdiri membatu. Gertakan Azizah membuat Ningsih mengurungkan niat untuk menemuinya. Ningsih membalikkan badan dan melaju pelan ke luar kamar.

***

Kurang lebih empat tahun Azizah mengabdikan diri ke pondok pesantren sebagai keamanan, ada satu hal yang belum disadari Azizah salama itu. Di luar sana banyak yang membenci keamanan, terlebih kepada Azizah yang bagitu keras ketika melakukan introgasi kepada santriwati yang ketahuan melanggar aturan pesantren.

Omongan tak sedap yang ditujukan kepada sahabatnya itu begitu terasa di telinga Ve. Setiap hari Ve mendengar celoteh para santri yang sinis membicarakan Azizah, baik di dalam kamar, di jalan, di perpustakaan. Hati Ve tercabik-cabik mendengar perkataan itu.

Ve mengerti benar sifat Azizah, sejak SMA ia selalu bersama hingga kini persahabatan mereka masih rekah. Azizah orangnya memang begitu, benar-benar menaati peraturan. Apalagi semenjak dirinya menjadi keamanan pesantren, ia benar-benar menjalankan tugasnya penuh tanggung jawab. Bahkan ia orangnya tidak pandang bulu, siapapun yang ketahuan melanggar, pasti ia hukum. Tak terkecuali aku.

“Tok...tok.. Asalamualaikum,” lamunan Ve berhenti ketika mendengar salam dari luar kamarnya.

“Walaikum salam. Tunggu sebentar,” Ve melangkah ke luar mendekati sumber suara yang ia dengar.

“Oalah, pean kak Ziz. Ayo masuk,” Ve mempersilahkan duduk sahabatnya itu di lantai tak bertikar. “Maaf kak, banyak baju yang berantakan. Maklum lah, para santri belum datang sekolah,” lanjut Ve sambil tersenyum manis.

“Kak Ve, aku ingin curhat nih,” ungkap Azizah

“Ia, ada apa kak Ziz. Cerita saja,”

“Akhir-akhir ini aku merasa ada yang aneh,”

“Aneh kenapa?” potong Ve yang segera ingin tahu keanehan yang dirasakan sahabatnya itu.

“Ada yang aneh. Tadi pas aku mau ke kamar pean, santri-santri di daerah sini melihatku sinis,” Ve mngerutkan dahi. Sudah kuduga, kekhawatiranku selama ini pasti akan ia rasakan. Semoga saja sahabatku bisa menerima. “Bahkan ada yang menyebutku nenek sihir, macam-macam pokoknya kak,” keluh Azizah melanjutkan.

“Orang baik pasti dimusuhi orang kak,” Ve mencoba menenangkan Azizah. “Kadang kita merasa seperti berada di dalam labirin kehidupan. Adakalanya kita dicinta adakalanya kita dibenci, hidup memang penuh lika-liku kak Ziz,” Azizah sedikit tenang mendengar perkataan sahabatnya.

“Iya kak Ve. Tapi aku tidak kuat kalau terus-terusan seperti ini. Hatiku tidak cukup kuat untuk membendung gemuruh ombak yang akan memporak-porandakanku. Aku ingin berhenti saja dari keamanan,” ungkap Azizah berkaca-kaca. Ve tersenyum, meski sebenarnya hatinya begitu sakit melihat sahabat karibnya dicibir para santri.

“Gak perlu berhenti kak Ziz. Ini cobaan buat pean, Allah tidak akan memberikan cobaan diluar batas kemampuan hambanya. Seperti kata kiai waktu kita ngaji di masjid,” Ve mencoba menguatkan kembali hati sahabatnya. Ve tidak ingin melihat sahabatnya menyesal di kemudian hari.

“Terimakasih kak Ve. Akan kucoba untuk tetap tegar menghadapi semua ini kak. Pean benar-benar sahabat sejatiku,” satu kecupan dari Azizah melayang ke pipi Ve. Sontak Ve terkejut mendapati sahabatnya yang bangkit dari tempat duduknya lalu memeluk tubuh Ve yang agak pendek darinya.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun