Mohon tunggu...
M. Andika Abi
M. Andika Abi Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Mahasiswa Universitas Gunadarma Communication 23'-24'

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Jejak Pahlawan Penyiaran: Kisah Perjuangan Wartawan dalam Mempertahankan Kebebasan Pers Sejak Zaman Penjajahan

16 Mei 2024   20:23 Diperbarui: 16 Mei 2024   20:23 403
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Presiden Sukarno sedang mengadakan konferensi pers, 1945. Foto: gahetna.nl. 

Kebebasan pers adalah salah satu pilar utama dalam menjaga demokrasi dan keadilan di suatu negara. Di Indonesia, perjuangan untuk kebebasan pers tidaklah mudah dan telah berlangsung sejak masa penjajahan. Para wartawan telah menjadi pahlawan tanpa tanda jasa, berjuang dengan pena dan suara mereka untuk menyuarakan kebenaran dan keadilan. Disini kita akan menggali lebih dalam tentang jejak heroik para wartawan Indonesia dalam mempertahankan kebebasan pers sejak zaman penjajahan hingga saat ini.

Perjuangan wartawan Indonesia dimulai sejak zaman penjajahan Belanda. Pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20, muncul berbagai surat kabar yang menjadi wadah bagi para intelektual pribumi untuk menyuarakan kritik terhadap kebijakan kolonial. Salah satu tokoh penting pada masa ini adalah Tirto Adhi Soerjo, yang mendirikan surat kabar "Medan Prijaji" pada tahun 1907. 

Melalui tulisan-tulisannya, Tirto mengkritik ketidakadilan dan kesewenang-wenangan pemerintah kolonial, meskipun hal ini membuatnya sering kali harus berurusan dengan aparat hukum. Selain Tirto Adhi Soerjo, juga terdapat wartawan lain seperti Douwes Dekker (atau yang dikenal dengan nama Multatuli) yang melalui bukunya "Max Havelaar" membongkar praktik korupsi dan penindasan di Hindia Belanda. Tulisan-tulisan kritis ini tidak hanya menginspirasi rakyat Indonesia untuk bangkit melawan penjajah, tetapi juga menumbuhkan semangat nasionalisme yang kelak menjadi fondasi perjuangan kemerdekaan.

Ketika Jepang menduduki Indonesia pada tahun 1942, situasi kebebasan pers semakin memburuk. Pemerintah militer Jepang menerapkan sensor ketat terhadap media massa. Namun, semangat para wartawan Indonesia tidak mudah untuk menyerah. Mereka menggunakan berbagai macam cara untuk menyampaikan informasi dan membangkitkan semangat perjuangan di kala itu. Beberapa media bawah tanah muncul sebagai bentuk perlawanan terhadap pendudukan Jepang.

Soemanang Soerjowinoto yang mendirikan koran bawah tanah "Suara Asia". Melalui media ini, ia menyebarkan informasi tentang perjuangan rakyat dan menentang propaganda Jepang. Aktivitas ini sangat berisiko, karena penangkapan dan hukuman berat menanti bagi siapa saja yang tertangkap menyebarkan informasi yang bertentangan dengan kepentingan militer Jepang.

Presiden Sukarno sedang mengadakan konferensi pers, 1945. Foto: gahetna.nl. 
Presiden Sukarno sedang mengadakan konferensi pers, 1945. Foto: gahetna.nl. 

Di Era Kemerdekaan munculah harapan dan tantangan baru, setelah proklamasi kemerdekaan pada tahun 1945, kebebasan pers di Indonesia memasuki babak baru. Pada masa awal kemerdekaan, pers memainkan peran penting dalam menyatukan rakyat dan membangun semangat nasionalisme. Namun, perjalanan kebebasan pers di Indonesia tidak selalu mulus. Di era Orde Lama dan Orde Baru, kebebasan pers kembali mengalami tekanan.

Pada masa Orde Baru, pers Indonesia dihadapkan pada sensor yang lebih ketat dan selalu dikontrol oleh pemerintah. Wartawan dan media yang berani mengkritik pemerintah sering kali diintimidasi dan dikecam untuk diam. Meskipun demikian, ada beberapa media dan wartawan yang tetap berani menyuarakan kebenaran. Salah satunya adalah Mochtar Lubis, seorang jurnalis dan penulis terkenal yang kerap kali mengkritik pemerintahan Orde Baru melalui tulisan-tulisannya.

Di tahun 1998 menjadi titik balik bagi kebebasan pers di Indonesia. Saat jatuhnya rezim Orde Baru membuka pintu bagi era Reformasi, di mana kebebasan pers mendapatkan tempat yang lebih baik. Undang-Undang Pers No. 40 Tahun 1999 lahir sebagai jaminan hukum bagi kebebasan pers di Indonesia. Sejak saat itu, media massa tumbuh pesat dan lebih bebas dalam menyampaikan berita.

Namun, tantangan baru juga muncul di era digital ini. Hoaks dan berita palsu menjadi ancaman baru bagi kredibilitas media. Selain itu, wartawan masih menghadapi berbagai tekanan, baik fisik maupun non-fisik, dalam menjalankan tugas mereka. Kasus-kasus kekerasan terhadap wartawan masih terjadi, menandakan bahwa perjuangan untuk kebebasan pers masih belum berakhir.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun