"Saya ketinggalan banyak, Mas. Dulu jaman SMP daring." Begitu Ia menjawab pertanyaan saya.
"Lho, bukannya teman-teman juga begitu?"
"Iya, memang. Teman-teman juga banyak yang biasa-biasa saja. Tapi kalau melihat teman-teman yang pintar, saya pingin kayak mereka Mas."
Saya senang mendengarnya. Setidaknya dari situ dia punya gairah untuk belajar. Walaupun saya harus memberikan pemahaman kepadanya, bahwa yang dalam bersaing, parameternya bukan orang lain. Tapi dirinya sendiri. Dia harus selalu berusaha lebih baik dari hari ke hari. Ada atau tanpa persaingan dengan orang lain.
"Oke, Mas. Kalau boleh tau, ingin lanjut kuliah di jurusan apa Mas?"
"Kedokteran Mas. Kedokteran UNS."
"Bismillah ya Mas. Saya bantu semampu saya."
Kelas kami dimulai. Selain materi saya juga memberikan tips-tips metode belajar, supaya lebih mudah dan efektif. Jadi, dalam waktu kurang lebih satu tahun setengah kedepan ia bisa mencapai impiannya. Karena saya sadar, waktu belajar bersama selama dua minggu, jika digunakan untuk menyampaikan materi saja, tentu tidak akan memberikan dampak yang signifikan.
Salah satu yang saya berikan adalah pemahaman mengenai piramida belajar yaitu tingkatan cara belajar yang efektif. Dari situ, saya minta supaya teman belajar saya ini untuk membuat komunitas belajarnya sendiri di sekolah. Semacam tutor sebaya. Kemudian, supaya tidak terkesan menggurui, mintalah teman-teman untuk menyimak 'setoran' pemahaman materi yang sudah kamu pelajari. Biarkan mereka bertanya sebanyak-banyaknya. Buat mereka sampai paham dengan cara dan bahasa yang paling sederhana. Sehingga proses perjalananmu untuk meraih impian, juga bisa bermanfaat bagi orang-orang di sekelilingmu.
Saya harap dia mau dan bisa melakukannya. Semoga saja dia menangkap pesan saya.
Boleh jadi anak ambis, tapi usahakan bermanfaat bagi teman-teman juga, jangan individualis.