"Dik, ada titipan dari muridmu." Begitu Gus Haidar membuka percakapan kepada saya yang baru saja sampai di Sokola Sogan.
"Apa ke?"
Gus Haidar menyodorkan secarik kertas print-printnan presentasi sejarah. Dibaliknya, ternyata penuh  tulisan tangan. Sebelum membaca, saya langsung membatin. Wah saya dapat PR lagi. Kemudian tulisan itu saya baca. Judulnya Krisis Moral Pelajar.
Pak, sekarang kita hidup di zaman teknologi yang mulai mewabah. Seperti yang bapak bilang bahwa teknologi terus berkembang, modelnya pun berbeda-beda dan terus berubah. Sedangkan dunia pendidikan tidak banyak berubah.
Lalu bagaimana dengan kita generasi z yang belum bisa memilah dampak positif dan dampak negatifnya teknologi. Sehingga kami hanyut di dalamnya. Sepertinya Kakak-Kakak di Sokola Sogan bilang pula bahwa generasi Z cenderung bersifat melankolis. Dan orang melankolis rata-rata kesabarannya terbatas.
Kalau sudah seperti itu, miat kami pada dunia pendidikan akan semakin memudar karena lebih memilih leyeh-leyeh di rumah bermain hp. Toh, di hp sudah banyak situs pembelajaran. Ketimbang di sekolah yang sangat membosankan.
Nah, masalahnya Pak, ketika di kelas, kita jadi suka bermalas-malasan dan tidak mendengarkan pelajaran yang disampaikan oleh guru. Kalau murid tidak semangat mengikuti pelajaran maka guru akan merasakan hal yang sama. Para guru pasti akan lelah jika tidak didengarkan dan diabaikan terus menerus oleh muridnya.
Pada tahun ajaran baru ini, setelah melewati liburan yang lumayan panjang, keseharian kami hanya diisi dengan bermain hp. Akibatnya minat belajar kami menurun sehingga ketika di kelas kami lebih memilih bercerita dengan guru ketimbang memulai pembelajaran.
Tetapi ada beberapa guru kami yang merasa jenuh, bahkan kesal pada kami lantaran susah diatur untuk belajar. Sehingga di pertemuan selanjutnya, Beliau (Guru) tidak menghadiri kelas. Kemudian Beliau membuat pernyataan 'krisisnya moral pelajar'.
Ya, walaupun beberapa dari kita sudah niat, tapi kalau mayoritas tidak, kan sama aja.
Bayangkan Pak! Nanti, jika semua guru seperti itu. Apalagi penerusnya adalah kami, generasi Z. Lalu kami sebagai murid, siapa yang akan menuntun dan mengarahkan dari kebutaan akan ilmu?
Kami tahu, kami juga salah disini. Tapi dalam masa remaja kami yang labil ini, kami bisa apa?
Menjadi guru di posisi ini juga serba susah dan lelah kan Pak? Atau, ketidakhadiran guru tadi adalah jeda yang diambilnya untuk menenangkan diri?
Saya hanya menyatakan kekhawatiran atas apa yang saya alami :D
Menurut Bapak, bagaimana kisah diatas? Bagaimana jika Bapak yang berada di posisi Sang Guru?
Terima kasih Bapak
----
Itulah isi suratnya. Tidak lupa ia juga menuliskan gratis TTD untuk saya. Ada juga permintaan maaf karena tidak bisa mengirimkan suratnya sendiri.
Sampai tulisan ini saya buat, saya masih berpikir jawaban apa yang bisa saya berikan. Biasanya saya juga mencari artikel penelitian terkait, supaya mencontohkan ke anak-anak, bahwa untuk bicara, biasakan menggunakan data.
Saya juga sengaja menunda untuk membalas surat ini dengan surat yang saya buat untuk dikirimkan ke pondok pesantren tempat anak ini mondok. Saya lebih suka membalasnya secara langsung. Sehingga kita bisa berdiskusi panjang lebar. Sambil menikmati kopi atau es kopi, mengenang masa lalu dan menanyakan kabar teman-teman yang lainnya.
Seperti biasanya, saya cukup sabar untuk menunggu libur lebaran untuk bertemu dan berdiskusi di Sokola Sogan.
Kalau kalian ingin ikut mengomentari, saya akan berterima kasih. Karena akan melebarkan sudut pandang anak ini.
Pekalongan, 10 Januari 2024
Andika Nugraha Firmansyah
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H