Bayangkan Pak! Nanti, jika semua guru seperti itu. Apalagi penerusnya adalah kami, generasi Z. Lalu kami sebagai murid, siapa yang akan menuntun dan mengarahkan dari kebutaan akan ilmu?
Kami tahu, kami juga salah disini. Tapi dalam masa remaja kami yang labil ini, kami bisa apa?
Menjadi guru di posisi ini juga serba susah dan lelah kan Pak? Atau, ketidakhadiran guru tadi adalah jeda yang diambilnya untuk menenangkan diri?
Saya hanya menyatakan kekhawatiran atas apa yang saya alami :D
Menurut Bapak, bagaimana kisah diatas? Bagaimana jika Bapak yang berada di posisi Sang Guru?
Terima kasih Bapak
----
Itulah isi suratnya. Tidak lupa ia juga menuliskan gratis TTD untuk saya. Ada juga permintaan maaf karena tidak bisa mengirimkan suratnya sendiri.
Sampai tulisan ini saya buat, saya masih berpikir jawaban apa yang bisa saya berikan. Biasanya saya juga mencari artikel penelitian terkait, supaya mencontohkan ke anak-anak, bahwa untuk bicara, biasakan menggunakan data.
Saya juga sengaja menunda untuk membalas surat ini dengan surat yang saya buat untuk dikirimkan ke pondok pesantren tempat anak ini mondok. Saya lebih suka membalasnya secara langsung. Sehingga kita bisa berdiskusi panjang lebar. Sambil menikmati kopi atau es kopi, mengenang masa lalu dan menanyakan kabar teman-teman yang lainnya.
Seperti biasanya, saya cukup sabar untuk menunggu libur lebaran untuk bertemu dan berdiskusi di Sokola Sogan.