"Anak didik diibaratkan sebagai wadah kosong yang siap dibentuk karakternya dan siap menerima transfer pengetahuan, motivasi melalui ceramah dari gurunya."
Berbicara mengenai pendidikan selalu tidak pernah ada habisnya. Pendidikan mestinya menjadi ruh dalam proses pembangungan dan transformasi sosial suatu bangsa. Bicara  mengenai Indonesia, terdapat pemeo ganti menteri ganti kurikulum. Yang terbaru adalah kurikulum merdeka belajar.Â
Di dalam kurikulum merdeka belajar ini terdapat visi pendidikan mewujudkan Indonesia maju yang berdaulat, mandiri, dan berkepribadian melalui terciptanya Pelajar Pancasila yang bernalar kritis, kreatif, mandiri, beriman, bertakwa kepada Tuhan YME, dan berakhlak mulia, bergotong royong, dan berkebinekaan global. Dalam upaya implementasinya terdapat Program Sekolah Penggerak yang diluncurkan pada tahun 2021.
Dalam paparan program sekolah penggerak, visi dari program ini adalah sebagai katalis untuk mewujudkan visi pendidikan Indonesia.Â
Sekolah Penggerak adalah sekolah yang berfokus pada pengembangan hasil belajar siswa secara holistik dengan mewujudkan Profil Pelajar Pancasila yang mencakup kompetensi dan karakter yang diawali dengan SDM yang unggul (kepala sekolah dan guru).Â
Dengan definisi tersebut tentu akan ada perubahan-perubahan baru dari kondisi saat ini.
Dilihat dari 5 kategori perubahan tersebut, penulis mencoba meninjau dari filosofi pendidikan yang disampaikan oleh Paul Ernest (1991)
Pada 3 kolom pertama: Industrial Trainer, Technological Pragmatism dan Old Humanism merupakan paradigma lama yang berujung pada kapitalisasi dan industrialisasi pendidikan.Â
Anak didik diibaratkan sebagai wadah kosong yang siap dibentuk karakternya dan siap menerima transfer pengetahuan, motivasi melalui ceramah dari gurunya.Â
Pengetahuan juga diangkap sebagai sesuatu yang kaku, baku yang siap disampaikan dan dicerna oleh anak didik. Nilai moral masih pada batasan baik dan buruk yang sudah ditentukan serta bersifat praktis.Â
Teori society juga masih berupaya melanggengkan struktur sosial yang ada, dengan tingkatan-tingkatannya. Kemampuan atau talenta siswa harus dikembangkan dan sesuai dengan kebutuhan dunia industry.Â
Sehingga tujuan pendidikannya adalah untuk menguatkan kemampuan dasar seperti perhitungan, untuk memperoleh sertifikat suatu keahlian atau bahkan untuk mendapatkan transfer pengetahuan itu sendiri. Sumber belajarnya adalah guru itu sendiri.
Proses evaluasi menggunakan tes akhir semacam ujian terstandar/ ujian nasional. Dari segi kebudayaan juga terdapat penyeragaman, desentralisasi dan berbasis kompetensi sesuai dengan kurikulum.
Pada 2 kolom sebelah kanan : Progresif Educator dan Public Educator merupakan paradigm kritis, progresif dan inovatif. Dalam dua pandangan ini pengetahuan atau ilmu dianggap sebagai sesuatu yang diperoleh dengan mengutamakan proses berpikir dan aktifitas sosial.Â
Nilai moral yang ingin dicapai adalah kemanusiaan, kemerdekaan/ kebebasan dan keadilan. Siswa menjadi orientasi utama dan berusaha mengembangkan dirinya sendiri.Â
Kemampuan yang dimiliki dipandang sebagai suatu kebutuhan dan penerjemahan-penerjemahan secara pribadi untuk kemudian dikembangkan. Tujuan pendidikannya adalah untuk mencapai kreatifitas dan membentuk setra memberikan makna terhadap hidup siswa sendiri.Â
Dalam proses belajar siswa juga bebas melakukan eksplorasi dan menerjemahkan fenomena yang ada untuk mendapatkan pengetahuan. Kemudian dari hasil eksplorasi dan penerjemahannya disusun pengetahuan dengan bantuan guru melalui diskusi.Â
Sumber belajar bisa berasal dari berbagai macam sumber seperti lingkungan sekitarnya hingga fenomena sosial yang terjadi. Proses evaluasi cukup menggunakan portofolio. Sehingga perbedaan siswa juga lebih diakui.
Dari kelima aspek yang sudah ada : Ekosistem, guru, pedagogi dan penilaian sudah termasuk dalam ranah progresif dan public educator yang termasuk kritis, progresif dan inovatif. Artinya sudah banyak perubahan dari sebelumnya. Namun pada ranah kurikulum masih berbasis kompetensi.Â
Kurikulum yang berbasis kompetensi masih dalam paradigm lama yang erat kaitannya dengan dunia industri.Â
Sehingga kemungkinan besar pendidikan Indonesia masih terseret oleh arus kapitalisme global. Pendidikan yang mengikuti tren pasar. Menyiapkan sumberdaya manusia untuk kepentingan industry yang tentunya lebih humanis.Â
Singkatnya, sekolah untuk kerja. Namun, diluar itu semua perubahan ini perlu disikapi dengan bijaksana oleh semua pemangku kepentingan. Sehingga perubahan pendidikan Indonesia bisa menuju kearah yang semakin baik untuk anak-anak Indonesia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H