Pada setiap 25 November, Indonesia memperingati Hari Guru Nasional, sebuah momen untuk menghormati jasa para pendidik yang telah berjuang memberikan ilmu dan wawasan kepada generasi bangsa.Â
Peringatan ini juga mengingatkan kita tentang betapa pentingnya peran pendidikan dalam membentuk karakter dan pola pikir masyarakat. Namun, selain menjadi alat untuk menambah pengetahuan, pendidikan memiliki kekuatan yang jauh lebih besar sebagai alat perlawanan terhadap kekuasaan yang menindas.Â
Sejarah telah membuktikan bahwa pendidikan, ketika dimanfaatkan dengan baik, mampu menggoyahkan fondasi kekuasaan yang sewenang-wenang. Di balik setiap lembar buku yang dibaca dan setiap pelajaran yang diajarkan, ada potensi untuk meruntuhkan ketidakadilan dan menciptakan perubahan sosial yang lebih baik.
Kisah Malala Yousafzai adalah contoh nyata bagaimana pendidikan mampu mengguncang sistem yang represif. Ketika Taliban melarang anak perempuan bersekolah, mereka sebenarnya sedang berusaha menjaga kekuasaan mereka dengan menutup akses terhadap ilmu.Â
Taliban paham, seorang perempuan terdidik akan mempertanyakan otoritas mereka.Â
Malala, meski hanya seorang remaja, berani melawan dengan pena dan suara. Upayanya tidak hanya memberi harapan bagi anak-anak perempuan di Pakistan, tetapi juga menjadi inspirasi global bahwa pendidikan adalah hak mendasar yang tidak boleh dirampas oleh siapa pun.Â
Serangan yang ia alami membuktikan bahwa ide sederhana tentang pendidikan bisa sangat berbahaya bagi mereka yang ingin mempertahankan status quo.
Di Afrika Selatan, kekuatan pendidikan sebagai alat perlawanan juga tidak bisa diabaikan. Sistem apartheid menggunakan pendidikan sebagai alat untuk memisahkan dan merendahkan warga kulit hitam.Â
Anak-anak kulit hitam diberi pendidikan yang sengaja dirancang untuk membuat mereka tetap berada di posisi rendah dalam struktur sosial. Namun, Nelson Mandela melihat peluang di tengah keterbatasan ini. Ia memahami bahwa dengan mencerdaskan masyarakat, mereka bisa memahami ketidakadilan sistemik dan bangkit melawan.Â
Pendidikan menjadi lentera di tengah kegelapan apartheid, membimbing rakyat Afrika Selatan menuju kebebasan. Dari sinilah lahir gagasan bahwa "pendidikan adalah senjata paling ampuh untuk mengubah dunia."
Indonesia juga memiliki sejarah panjang bagaimana pendidikan digunakan sebagai alat perlawanan terhadap kekuasaan kolonial. Pada masa penjajahan Belanda, kaum pribumi dijauhkan dari akses pendidikan tinggi untuk menjaga dominasi kolonial.Â
Namun, tokoh-tokoh seperti Ki Hajar Dewantara melawan dengan mendirikan sekolah yang tidak hanya mengajarkan ilmu pengetahuan, tetapi juga membangkitkan semangat nasionalisme. Taman Siswa menjadi ruang bagi generasi muda untuk mengenali hak-hak mereka sebagai bangsa yang merdeka.Â
Pendidikan di sini menjadi lebih dari sekadar alat untuk mencerdaskan; ia menjadi nyala api perlawanan yang membakar semangat kebangsaan.
Di seluruh dunia, kampus dan institusi pendidikan sering menjadi tempat lahirnya gerakan perlawanan terhadap kekuasaan. Di Meksiko, misalnya, gerakan mahasiswa tahun 1968 bukan hanya sekadar protes biasa. Kampus menjadi ruang di mana mahasiswa mendiskusikan keadilan, kesetaraan, dan demokrasi.Â
Mereka memanfaatkan pendidikan yang mereka dapatkan untuk melawan sistem yang dianggap tidak adil. Di era modern, Greta Thunberg membuktikan bahwa anak muda yang terdidik mampu memimpin gerakan global seperti Fridays for Future.Â
Dengan pengetahuan tentang perubahan iklim, ia mengkritik pemerintah dan perusahaan besar yang abai terhadap keberlanjutan lingkungan. Pendidikan memberinya keberanian dan kemampuan untuk menyuarakan kebenaran di hadapan kekuasaan.
Namun, pendidikan tidak selalu bebas dari kepentingan. Banyak pemerintah di seluruh dunia mencoba mengontrol narasi yang diajarkan di sekolah untuk melanggengkan kekuasaan mereka. Di Amerika Serikat, misalnya, ada upaya untuk membatasi pengajaran sejarah rasial yang dianggap "mengganggu." Hal ini menunjukkan bahwa pendidikan sering menjadi alat bagi kekuasaan untuk mempertahankan dominasi.Â
Ketika narasi-narasi tertentu dihapus dari kurikulum, generasi muda kehilangan kesempatan untuk memahami dan memperbaiki ketidakadilan di masa lalu. Dalam konteks ini, pendidikan menjadi medan pertempuran ideologi di mana kebenaran dan kepalsuan dipertaruhkan.
Di Myanmar, generasi muda membuktikan bahwa pendidikan adalah senjata melawan kekuasaan yang represif. Setelah kudeta militer pada 2021, para mahasiswa dan aktivis muda menggunakan teknologi dan pengetahuan mereka untuk mengorganisasi protes dan menarik perhatian dunia. Mereka menyuarakan pentingnya demokrasi dan menolak tunduk pada pemerintahan militer.Â
Pengetahuan mereka tentang hak asasi manusia, strategi komunikasi, dan teknologi menjadi kekuatan yang sulit dilawan oleh rezim. Generasi ini adalah bukti bahwa pendidikan tidak hanya melahirkan individu yang cerdas, tetapi juga masyarakat yang berani melawan ketidakadilan.
Gerakan perempuan di Iran juga memberikan contoh nyata bagaimana pendidikan memberdayakan kelompok yang selama ini dimarginalkan. Di negara yang selama bertahun-tahun mengekang hak-hak perempuan, pendidikan menjadi alat pemberdayaan yang sangat penting.Â
Perempuan yang terdidik mulai memahami bahwa diskriminasi terhadap mereka bukan hanya soal budaya atau agama, tetapi juga alat politik untuk mempertahankan kekuasaan.
 Protes jilbab, yang dimulai oleh generasi muda terdidik, menjadi simbol perlawanan terhadap sistem yang tidak adil. Dengan pengetahuan tentang hukum dan hak asasi manusia, mereka menuntut kebebasan yang selama ini direnggut dari mereka.
Dari semua contoh ini, satu hal yang jelas: pendidikan memiliki potensi luar biasa untuk menciptakan perubahan. Ia bukan hanya soal memperoleh gelar atau pekerjaan, tetapi juga soal memahami dunia dan berani menantang ketidakadilan. Pendidikan menciptakan ruang untuk bertanya, berpikir kritis, dan membangun solusi.Â
Ketika masyarakat terdidik, mereka tidak lagi menjadi objek kekuasaan, tetapi menjadi subjek yang mampu menentukan arah hidupnya sendiri. Pendidikan, jika diarahkan dengan benar, adalah alat pembebasan yang tidak bisa dihentikan oleh kekuasaan mana pun.
Bagi Indonesia, pendidikan masih menjadi harapan besar. Meski tantangan seperti ketimpangan akses dan politisasi kurikulum masih ada, potensi pendidikan untuk membentuk generasi kritis tidak boleh diabaikan.Â
Bayangkan jika setiap anak di Indonesia memiliki kesempatan untuk belajar dengan bebas dan berpikir kritis. Mereka akan tumbuh menjadi generasi yang tidak hanya cerdas, tetapi juga peduli terhadap keadilan.Â
Dengan pendidikan yang benar-benar membebaskan, Indonesia bisa menjadi bangsa yang lebih adil, kuat, dan bermartabat. Harapannya, pendidikan tidak lagi dilihat sebagai formalitas, tetapi sebagai kunci untuk membuka pintu masa depan yang lebih cerah bagi seluruh rakyat Indonesia.Â
(Andika Syahputra - Mahasiswa UNDIKSHA)
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI