Mohon tunggu...
Andika Prasetio
Andika Prasetio Mohon Tunggu... Pelajar/mahasiswa

Main Bola

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Teori empati dari martin hoffman

20 Januari 2025   09:12 Diperbarui: 20 Januari 2025   09:12 35
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Teori empati dari Martin Hoffman adalah salah satu pendekatan psikologis yang berfokus pada bagaimana individu merasakan dan memahami perasaan orang lain, serta bagaimana proses ini berkembang sepanjang kehidupan. Hoffman mengembangkan teori empati melalui serangkaian tahapan yang menggambarkan bagaimana kemampuan untuk merasakan empati meningkat seiring dengan bertambahnya usia dan pengalaman hidup. Teori ini menyarankan bahwa empati bukan hanya sekadar kemampuan untuk merasakan atau memahami perasaan orang lain, tetapi juga proses yang kompleks yang melibatkan keterampilan kognitif dan afektif.

1. Pendahuluan tentang Empati Menurut Hoffman

Empati dapat didefinisikan sebagai kemampuan untuk memahami dan merasakan apa yang orang lain rasakan, baik secara emosional maupun kognitif. Hoffman berpendapat bahwa empati merupakan salah satu aspek penting dalam perkembangan sosial dan moral individu. Sebagai bagian dari teori perkembangan moralnya, Hoffman melihat empati sebagai elemen utama dalam kemampuan seseorang untuk merespons kebutuhan dan perasaan orang lain.

2. Tahapan-Tahapan Perkembangan Empati

Hoffman mengusulkan bahwa empati berkembang melalui serangkaian tahapan yang berbeda, yang masing-masing melibatkan bentuk empati yang semakin kompleks seiring bertambahnya usia dan pematangan kognitif dan emosional seseorang. Berikut adalah tahapan-tahapan tersebut:

a. Tahap Perkembangan Empati pada Bayi (Empati Dini)

Pada usia yang sangat muda, bayi dapat menunjukkan respons terhadap perasaan orang lain. Misalnya, bayi bisa menangis ketika mendengar bayi lain menangis. Hoffman menyebut ini sebagai bentuk empati yang masih sangat sederhana, di mana bayi secara afektif merasakan emosi orang lain, meskipun belum memiliki pemahaman kognitif tentang perasaan tersebut. Tahap ini mencerminkan pemahaman empati yang lebih bersifat instinktif dan otomatis.

b. Empati dalam Anak-Anak Kecil (Empati Sosial Awal)

Pada usia sekitar dua hingga tiga tahun, anak-anak mulai menunjukkan empati yang lebih terarah dan relevan secara sosial. Mereka bisa merasakan bahwa seseorang merasa kesedihan atau kebahagiaan dan cenderung ingin membantu. Meskipun masih terbatas pada reaksi langsung terhadap perasaan orang lain, anak-anak mulai memahami bahwa orang lain memiliki perasaan yang berbeda dari perasaan mereka sendiri. Pada tahap ini, empati mulai melibatkan komponen kognitif, meskipun masih sederhana.

c. Empati pada Anak Lebih Tua (Empati yang Lebih Komplek)

Seiring dengan perkembangan kognitif dan sosial, anak-anak yang lebih besar mulai memahami bahwa perasaan orang lain bisa berbeda tergantung pada situasi dan perspektif individu. Mereka mulai bisa merasakan empati secara lebih mendalam dan bisa mengidentifikasi perasaan orang lain, serta lebih mampu memberikan respons yang sesuai, misalnya dengan memberikan dukungan atau perhatian. Pada tahap ini, empati mencakup pemahaman yang lebih canggih tentang motif dan alasan di balik perasaan orang lain.

d. Empati pada Remaja dan Dewasa

Pada usia remaja dan dewasa muda, individu dapat mengembangkan empati yang lebih abstrak dan kompleks. Mereka mulai memahami bahwa emosi dan pengalaman hidup orang lain bisa sangat bervariasi, dan respons mereka terhadap perasaan orang lain lebih dipengaruhi oleh konteks sosial, budaya, dan pengalaman pribadi. Remaja dan dewasa muda cenderung lebih mampu melihat dunia dari sudut pandang orang lain dan mempertimbangkan perasaan serta kebutuhan orang lain dalam pengambilan keputusan mereka.

3. Empati dan Moralitas

Bagi Hoffman, empati sangat berkaitan dengan perkembangan moral seseorang. Dia berpendapat bahwa kemampuan untuk merasakan empati terhadap orang lain berfungsi sebagai dasar bagi munculnya perilaku moral. Dalam banyak kasus, empati memotivasi individu untuk bertindak dengan cara yang menguntungkan orang lain, seperti menolong atau menunjukkan kebaikan. Sebagai contoh, anak-anak yang lebih empatik cenderung lebih mampu untuk berbagi, membantu teman-teman mereka yang sedang kesulitan, dan menunjukkan perilaku prososial lainnya.

4. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Perkembangan Empati

Hoffman juga mengidentifikasi beberapa faktor yang memengaruhi perkembangan empati pada individu. Faktor-faktor ini termasuk pengalaman sosial, pengaruh keluarga, serta faktor-faktor biologis dan kognitif. Misalnya, anak-anak yang tumbuh dalam lingkungan yang mendukung pengembangan empati---seperti dengan orang tua yang menunjukkan perhatian dan memahami perasaan mereka---cenderung memiliki tingkat empati yang lebih tinggi. Selain itu, pengalaman-pengalaman hidup, seperti melihat atau merasakan penderitaan orang lain, juga dapat memperkuat kemampuan untuk berempati.

5. Empati dan Pengaruh Sosial

Menurut Hoffman, pengaruh sosial seperti norma-norma budaya dan sosial dapat memengaruhi cara seseorang mengekspresikan empatinya. Dalam beberapa budaya, misalnya, empati mungkin lebih sering terlihat dalam bentuk tindakan membantu orang yang lebih tua atau yang membutuhkan, sementara dalam budaya lain, empati mungkin lebih banyak diekspresikan melalui dukungan emosional atau pengertian. Pengaruh sosial ini memperlihatkan bahwa empati juga sangat dipengaruhi oleh konteks sosial yang lebih besar, termasuk harapan sosial dan budaya.

6. Kesimpulan

Teori empati Martin Hoffman memberikan wawasan penting tentang bagaimana empati berkembang dari bayi hingga dewasa. Melalui tahapan perkembangan ini, empati bukan hanya dilihat sebagai reaksi emosional spontan terhadap perasaan orang lain, tetapi sebagai kemampuan yang semakin kompleks yang melibatkan aspek kognitif dan afektif. Dalam pandangan Hoffman, empati adalah dasar dari perilaku moral dan prososial, dan perkembangan empati yang baik sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor sosial, lingkungan, dan pengalaman hidup. Dengan demikian, empati bukan hanya tentang merasakan perasaan orang lain, tetapi juga tentang memahami dan meresponsnya dengan cara yang sesuai dan bermanfaat.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!

Jalan Braga Bandung, Ketika Bebas Kendaraan!

7 bulan yang lalu
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun