Saya Kuliah di Jakarta setelah lulus dari pendidikan Sekolah Menengah Atas ( SMA ). Tahun 1979 saya lulus Sarjana Muda. Waktu itu masaih ada Sarja Muda, pakai diwisuda juga sebagai Sarjana Muda bersamaan dengan wisuda Sarjana.
Saya yang cuma kuliah, merasa perlu ada kegiatan karena sudah sarjana, walupun masih muda.
Waktu pagi atau sore hari, jika tidak kuliah saya ikut kursus bermacam macam, termasuk ikut kursus bahasa Rusia di Pusat Kebudayaan Rusia di Jalan Diponegoro Jakarta, Â saya ikut kursus selain karena ada waktu, kursusnya gratis alias tidak bayar.
Tidak lama setelah memperoleh titel Sarjana Muda, saya baca di koran iklan salah satu perusahan asuransi nasional membutuhkan tenaga sales asuransi jiwa, maka mendaftarlah saya disana. Ternyata yang mendaftar cukup ramai juga.
Saya dan pendaftara lain langsung  masuk pelatihan, jika tidak salah satu mingu dari pagi sampai sore. Selama pendidikan itu kami dilatih dan diberi uang saku harian. Setelah selesai pelatihan kami dipersilahkan mencari nasabah sendiri sendiri, juga diberi uang saku harian, kami hanya diminta laporan kegiatan.
Dalam pelatihan kami diajarkan apa itu asuransi jiwa, manfaat dan kegunaannnya. Selain itu diajarkan juga bagaimana menghadapi calon nasabah, cara duduk bertaua, bagaimana  bicara yang menarik  termasuk  bagaimana memulai pembicaran, jua bagaimana sikap saat duduk bertamu, dimana sebaiknya duduk saat jumpa calon nasabah, dan banyak lagi hal yang bagus untuk menarik oaring mau jadi nasabah asuransi jiwa. Benar benar suatu pengetahuan pertama tambahan yang saya tidak peroleh di bangku kuliah, dan itu sebagian besar yang diajarkan saya masih ingat dan saya kerjakan sampai saat ini, walaupun untuk keperluan lain yang tidak ada kaitannya dengan asuransi jiwa.
Calon nasabah pertama saya adalah tetangga sendiri.
Saya masih ingat, waktu itu untuk memulai kerja mencari nasabah saat masih kuliah agak sukar juga, maka sasaran pertama saya adalah tetangga paman tempat tinggal saya di Jakarta.
Sore hari ketika itu, saya mendatangi rumah Om Akbar katakan begitu namanya. Saya pencet bel rumahnya , dan kemudian mengucapkan salam saat disambut Om Akbar yang tampak sudah santai pulag kerja. Saya dipersilahkan masuk dan duduk di ruang tamu yang saya baru pertama kali itu masuk rumahnya walapun sudah kenal.
Saat ditanya ada keperluan apa. Â Saya katakan ada perlu sediki dengan Om Akbar, yang dia tahu siapa saya karena tetangga sejak saya ikut paman setelah 3 tahun kuliah di Jakarta dan bertetangga.
Saya duduk diposisi seperti diajarkan saat pendidikan, tidak duduk di kursi yang tempat duduk panjang yang bisa untuk bertiga .