Mohon tunggu...
Andi Istiabudi
Andi Istiabudi Mohon Tunggu... -

# Pembaca Harian Kompas sejak kecil # Autograph Collector # Professional Creative Writer / Content Writer # Penulis buku : "Cerita Tentang Mereka" (2012), "Martin Hutagalung : Mengamen dari Medan hingga Belanda" (2015), "Bersama Presiden & Wapres" (2016) #Twitter : @andiistiabudi #Instagram : @andi_istiabudi

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Ibu Nas dalam Kenangan

19 September 2016   18:27 Diperbarui: 19 September 2016   18:36 1404
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ny. Johanna Sunarti Nasution atau lebih dikenal dengan panggilan Bu Nas merupakan istri dari Jenderal Besar A.H. Nasution, salah satu prajurit terbaik yang pernah dimiliki TNI dan bangsa Indonesia. Diantara istri para Jenderal yang menjadi target penculikan dalam peristiwa G30S/PKI, Bu Nas bisa dibilang merupakan yang paling dikenal masyarakat karena keberaniannya menemui langsung pasukan penculik di rumahnya dan membantu suaminya meloloskan diri dari upaya penculikan tersebut.

Sebelumnya mari kita bercerita sedikit tentang sosok suami beliau, yakni A.H. Nasution. Semasa hidupnya, A.H. Nasution yang di masa tuanya akrab dipanggil Pak Nas dikenal sebagai salah satu Jenderal paling brilian sepanjang sejarah TNI. Pak Nas berhasil menciptakan konsep strategi perang gerilya, dimana konsep tersebut menjadi pelajaran wajib bagi banyak perwira militer di dunia, bahkan konon konsep perang gerilya miliknya tersebut juga diterapkan oleh gerilyawan Vietcong saat melawan tentara Amerika Serikat dalam perang Vietnam.

Pak Nas juga dikenal sebagai pencipta konsep Dwi Fungsi TNI yang dalam pelaksanaannya selama pemerintahan Presiden Soeharto ternyata jauh melenceng dari konsep awalnya. Namun Pak Nas sendiri mungkin lebih dikenal dalam sejarah Indonesia sebagai satu-satunya Jenderal TNI-AD target penculikan yang berhasil lolos dalam peristiwa G30S yang terjadi pada tanggal 1 Oktober 1965.

Meskipun beliau akhirnya berhasil lolos, namun putri bungsunya, Ade Irma Suryani Nasution justru menjadi korban setelah pasukan Cakrabirawa menembaknya. Selain itu ajudan Pak Nas, Lettu Pierre Tendean juga diciduk pasukan Cakrabirawa karena mereka menganggap dirinya adalah sosok Jenderal A.H. Nasution yang mereka cari. Tendean sendiri akhirnya ditemukan dalam keadaan tewas secara mengenaskan bersama beberapa Jenderal TNI AD yang turut menjadi korban penculikan tersebut.

Sejarah kemudian mencatat peristiwa dinihari tersebut sebagai salah satu lembaran hitam dalam perjalanan Republik Indonesia tercinta ini. Peristiwa tersebut juga menandai awal berakhirnya kekuasaan Presiden Soekarno dan awal dari kekuasaan Jenderal Soeharto di Indonesia. Pak Nas sendiri kemudian setelah peristiwa G30S/PKI sempat terpilih menjadi ketua MPRS sebelum akhirnya tersingkir dari panggung politik nasional pada pemerintahan masa Orde Baru karena dianggap berseberangan dengan pemerintah.

Pak Nas sempat merasakan dikucilkan dari politik nasional sebelum akhirnya dianugerahi gelar Jenderal Besar TNI bersama Presiden Soeharto dan almarhum Jenderal Sudirman tahun 1997. Pak Nas akhirnya wafat pada tanggal 5 September 2000 di Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat (RSPAD) Gatot Subroto dan kemudian dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Nasional Kalibata, Jakarta.

Bu Nas sendiri mengisi hari tuanya dengan aktif dalam berbagai kegiatan dan yayasan sosial yang didirikannya. Sebelum bertemu Bu Nas, pada awal tahun 2009 saya sempat mengunjungi Museum Jenderal Besar TNI A.H. Nasution yang terletak di bekas kediaman Pak Nas di Jl. Teuku Umar Menteng, Jakarta Pusat. Museum tersebut menyimpan barang-barang peninggalan Pak Nas selama masa hidupnya. Bu Nas dan pihak keluarga kemudian memutuskan menyerahkan rumah tersebut kepada negara agar generasi muda Indonesia dapat mengenang sosok Pak Nas sebagai salah satu tokoh pejuang nasional.

Dalam kunjungan tersebut, saya sempat menanyakan kepada petugas jaga museum yang kebetulan merupakan anggota TNI dimanakah Bu Nas kini tinggal. Tentunya bukan perkara mudah menghubungi Bu Nas, mengingat saat itu beliau tidak lagi tinggal di kediaman lamanya yang kini sudah beralih fungsi menjadi museum. Ternyata Bu Nas memilih tinggal bersama anaknya yang letaknya masih di sekitar kawasan Menteng, Jakarta Pusat.

Berdasarkan informasi alamat yang saya peroleh dari penjaga museum, saya kemudian mengirimkan surat kepada Bu Nas yang isinya memberikan ucapan terima kasih atas kesediaan Bu Nas dan keluarga untuk menyerahkan rumah dan barang-barang pribadi milik Pak Nas untuk dijadikan koleksi Museum Jenderal Besar A.H. Nasution sehingga memungkinkan masyarakat Indonesia mengetahui lebih banyak lagi tentang sosok Pak Nas dan tentunya seputar peristiwa G30S/PKI yang terjadi di rumah beliau.

Dalam surat tersebut saya juga memberikan beberapa masukan dan saran terkait pengelolaan Museum Jenderal Besar A.H. Nasution. Saya mengutarakan kepada beliau tentang harapan saya agar museum tersebut nantinya mampu menggugah generasi muda untuk lebih mengetahui dan memahami sosok Pak Nas sebagai seorang pejuang, prajurit dan negarawan sejati. Saya juga mengatakan kepada beliau jangan sampai nasib museum tersebut berakhir tragis seperti Museum Adam Malik (mantan Wapres RI).

Seperti diketahui, Museum Adam Malik yang memiliki ribuan koleksi berharga barang antik dari seluruh penjuru dunia yang dikoleksi secara pribadi oleh almarhum Adam Malik, ditutup beberapa waktu lalu oleh pihak keluarga karena kesulitan membiayai perawatan koleksinya yang nilai koleksinya sendiri mungkin mencapai ratusan milyar rupiah. Koleksinya sendiri akhirnya ada yang disumbangkan ke beberapa museum dan sisanya disimpan pihak keluarga.

Seminggu kemudian saya mendapat surat balasan dari Bu Nas. Dalam surat tersebut, beliau memberikan saya sepucuk kartu nama beliau yang ditandatangani dan dibalik kartu nama tersebut tertera pesan kepada saya untuk mengambil buku tentang Pak Nas di kantor yayasan milik Bu Nas. Beliau juga menyertakan selembar foto Pak Nas yang mengenakan seragam kebesaran Jenderal Besar TNI dengan bintang lima. Dalam foto tersebut, Pak Nas tampak sedang mengangkat tangan kanannya untuk memberikan hormat sembari tersenyum. Foto tersebut diberikan sebagai kenang-kenangan yang dibaliknya ditandatangani langsung oleh Bu Nas. Buku yang akan diberikan tersebut akhirnya batal diambil karena Bu Nas kemudian meminta saya menemuinya secara langsung.

Setelah beberapa kali saya berkomunikasi via telepon secara langsung dengan Bu Nas, akhirnya disepakati saya dapat bertemu dengan beliau pada Minggu pagi tanggal 1 Maret 2009 di kediaman anaknya yang terletak di kawasan Jl. KH. Agus Salim Menteng, Jakarta Pusat. Setelah melapor kepada petugas jaga, saya kemudian dipersilahkan masuk dan menunggu di ruang tamu samping. Foto-foto dan lukisan Pak Nas saat muda dan mengenakan seragam militer terlihat menghiasi dinding ruang tamu samping yang tidak terlalu besar tersebut.

Tidak lama kemudian, Bu Nas muncul bersama seorang perawat yang mendampinginya. Meskipun usianya saat itu lebih dari 80 tahun, namun secara keseluruhan ibu dari mendiang Ade Irma Suryani ini masih tampak sehat. Beliau berjalan perlahan-lahan sambil mengenakan tongkat dibantu seorang perawat yang senantiasa menjaganya. Setelah Bu Nas duduk dan bersalaman dengan saya, perawat tersebut kemudian meninggalkan Bu Nas. Kami pun segera memulai percakapan yang diwarnai suasana hangat dan penuh kekeluargaan.

Pembicaraan kami dimulai dari asal usul dan latar belakang keluarga saya hingga tentang sosok Pak Nas yang saya kagumi. Pembicaraan tersebut menurut saya bagaikan pembicaraan antara seseorang nenek dengan cucunya, dimana suasananya terasa sangat akrab dan bersahaja. Dari pembicaraan tersebut, saya kemudian mengetahui bahwa Bu Nas pernah tinggal di Probolinggo, Jawa Timur yang merupakan kota kelahiran ibu saya. Bu Nas mengaku pernah tinggal di Probolinggo saat masih muda namun sudah lama tidak mengunjungi kota tersebut.

Dalam pertemuan tersebut ada beberapa pembicaraan tentang Pak Nas yang sangat menarik dan baru saya ketahui dari beliau, diantaranya adalah permasalahan pribadi antara Bung Karno dan Pak Nas serta kehidupan Pak Nas saat Presiden Soeharto berkuasa. Menurut Bu Nas, meski diterpa berbagai masalah namun hal itu tidak pernah membuat Pak Nas mengeluh, sebaliknya beliau tetap tegar dan bersemangat menghadapinya. Mendengar cerita Bu Nas, jujur saya sedih dengan keadaan Pak Nas saat itu, namun hal itulah yang membuat Pak Nas layak disebut sebagai prajurit dan negarawan sejati.

Tentu saja pembicaraan yang paling menarik minat saya adalah tentang Dwi Fungsi TNI dan seputar peristiwa G30S/PKI yang terjadi di rumah beliau. Bu Nas mengatakan bahwa Dwi Fungsi TNI yang dicetuskan oleh Pak Nas sebenarnya sangat baik diterapkan di Indonesia, namun sayangnya dalam penerapannya ternyata banyak disalahgunakan dan tidak sesuai dengan konsep aslinya. Sejak reformasi terjadi tahun 1998, masyarakat cenderung anti Dwi Fungsi TNI tanpa melihat konsep sebenarnya dari Dwi Fungsi TNI tersebut.

Menurut Bu Nas, bangsa Indonesia lebih suka melihat model demokrasi ala Amerika Serikat dibandingkan demokrasi Pancasila yang memang lahir dari budaya bangsa Indonesia. Baik Demokrasi Pancasila maupun Dwi Fungsi TNI sebenarnya memiliki saling keterikatan dan saling melengkapi untuk mewujudkan tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara yang baik bagi rakyat Indonesia.

Seandainya Pak Nas saat ini masih hidup, beliau tentunya akan merasa sedih dengan kondisi kehidupan berbangsa dan bernegara bangsa Indonesia yang lebih cenderung mengandalkan asas kebebasan dibanding asas musyarawarah mufakat serta adanya sikap anti militer di sebagian kalangan masyarakat, padahal TNI dan rakyat adalah bagian yang tidak dapat terpisahkan karena TNI ada dan berasal dari rakyat serta berjuang bersama untuk rakyat. Itulah konsep sebenarnya dari Dwi Fungsi TNI.

Mengenai peristiwa G30S/PKI, Bu Nas mengatakan apa yang ditampilkan dalam cuplikan adegan film Pengkhianatan G-30S/PKI dimana sekelompok pasukan Cakrabirawa menyerbu kediaman Pak Nas memang benar seperti itu kejadiannya, bahkan sebenarnya kejadiannya jauh lebih mencekam karena saat itu kondisi rumah gelap gulita akibat listrik dipadamkan, sambungan telepon diputus dan bau amunisi bekas tembakan pasukan Cakrabirawa begitu menyengat di dalam rumah. Bagi Bu Nas, kejadian puluhan tahun silam tersebut seolah baru terjadi kemarin dan akan terus diingatnya.

Beliau mengaku tidak akan pernah melupakan peristiwa yang merengut nyawa putri bungsunya tersebut. Ketika ditanya seputar pelaku utama G30S/PKI, Bu Nas tampaknya enggan menjawab meskipun saya yakin beliau pasti mendapat penjelasan dari Pak Nas, siapa yang sekiranya dianggap paling bertanggung-jawab dalam peristiwa yang merupakan sejarah kelam bagi bangsa Indonesia tersebut.

Namun Bu Nas mengatakan bahwa situasi politik Indonesia saat itu memang sedang memanas dan sangat berbahaya, terutama antara Presiden Soekarno, TNI AD dan PKI. Siapapun dalangnya, yang jelas Pak Nas nyaris menjadi korban dan putrinya Ade Irma Suryani serta ajudan Pak Nas, Lettu Pierre Tendean akhirnya justru menjadi korban tak berdosa peristiwa memilukan tersebut. Bu Nas berharap peristiwa tahun 1965 tersebut tidak pernah terulang kembali di bumi Indonesia.

Usai berbincang-bincang selama setengah jam, Bu Nas kemudian memberikan kepada saya kenang-kenangan berupa dua buah buku tentang Pak Nas, yakni A.H. Nasution : Bisikan Nurani Seorang Jenderal dan A.H. Nasution : Prajurit, Pejuang dan Pemikir yang sudah dijanjikan kepada saya sebelumnya. Beliau meminta saya membaca kedua buku tersebut dan berjanji memberikan tanggapan saya setelah membacanya. Akhirnya saya pun izin pamit kepada beliau mengingat beliau juga memiliki kesibukan lainnya pagi itu. Sebelum berpisah, saya sempat berfoto bersama dengan Bu Nas dan diperkenalkan dengan anak, menantu serta cucunya.

Beberapa bulan kemudian saya kembali mengirimkan surat kepada Bu Nas untuk menyampaikan kepada beliau bahwa kedua buku yang diberikan kepada saya tersebut sudah selesai dibaca. Namun surat itu tidak pernah dibalas oleh Bu Nas hingga pada tanggal 20 Maret 2010 atau setahun setelah pertemuan dengan beliau, saya mendengar berita bahwa Bu Nas wafat dalam usia 87 tahun di Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat (RSPAD) Gatot Subroto, Jakarta.

Ketika mendengar berita wafatnya Bu Nas, saya seolah tidak percaya karena serasa pertemuan dengan beliau baru terjadi kemarin. Bukan hanya saya yang merasa kehilangan sosok Bu Nas yang sudah saya anggap sebagai nenek sendiri meski baru bertemu sekali.

(Tulisan merupakan bagian dari buku "Cerita Tentang Mereka" karangan Andi Istiabudi)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun