Mohon tunggu...
Andi Istiabudi
Andi Istiabudi Mohon Tunggu... -

# Pembaca Harian Kompas sejak kecil # Autograph Collector # Professional Creative Writer / Content Writer # Penulis buku : "Cerita Tentang Mereka" (2012), "Martin Hutagalung : Mengamen dari Medan hingga Belanda" (2015), "Bersama Presiden & Wapres" (2016) #Twitter : @andiistiabudi #Instagram : @andi_istiabudi

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Sepenggal Kisah Ny. Sulistina Sutomo (Istri Bung Tomo)

16 September 2016   23:03 Diperbarui: 16 September 2016   23:17 357
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ibu Sulistina Sutomo & Saya (Dokumentasi Pribadi )

Beberapa waktu yang lalu, tepatnya pada tanggal 31 Agustus 2016 dinihari, Ibu Hj. Sulistina Sutomo yang merupakan istri dari pahlawan nasional asal Surabaya, Soetomo (Bung Tomo) menghembuskan nafas terakhirnya di RSPAD Gatot Subroto, Jakarta dalam usia 91 tahun. Berita kepergian wanita asal Malang, Jawa Timur ini langsung membuat saya teringat momen pertemuan saya dengan beliau beberapa tahun silam. 

Dalam pertemuan tersebut, beliau banyak bercerita tentang banyak hal, terutama tentang sosok Bung Tomo. Dalam kesempatan ini untuk mengenang Ibu Sulistina Sutomo maka saya akan menceritakan kembali apa saja yang kami bicarakan dalam pertemuan tanggal 22 Maret 2008 tersebut dimana ini sekaligus merupakan postingan pertama saya di Kompasiana.

Semua bermula pada awal tahun 2008 dimana saya tanpa sengaja melihat buku “Bung Tomo Suamiku : Biar Rakyat yang Menilai Kepahlawananmu” yang terpajang di rak toko buku Gramedia. Sebagai orang Jawa Timur, tentu saja sosok Bung Tomo begitu melegenda dan sangat dihormati, terlebih almarhum kakek saya juga turut berjuang berjuang bersama Arek-Arek Suroboyo saat meletus pertempuran 10 November 1945 di Surabaya. Saya pun akhirnya membeli buku tersebut dan membacanya dengan sangat antusias mengingat buku-buku yang membahas tentang Bung Tomo sangat sedikit yang berada di pasaran saat itu.

Tidak butuh waktu lama bagi saya untuk menyelesaikan membaca buku tersebut, cukup 2 hari saja. Bukunya sendiri menurut saya cukup menarik karena menceritakan sosok Bung Tomo di mata Ibu Sulistina selaku istrinya. Belakangan saya baru mengetahui bahwa buku tersebut sebelumnya juga pernah diterbitkan pada tahun 1995  dan buku yang saya beli merupakan cetakan keduanya dengan gambar sampul buku yang diperbarui. 

Jika pada edisi cetakan pertama menampilkan gambar foto Bung Tomo tersenyum sambil mengenakan topi khas pejuang masa revolusi kemerdekaan, maka pada buku cetakan kedua menampilkan foto Bung Tomo tersenyum dengan kemeja berdasi dan dengan rambut yang disisir rapi serta tampak klimis.

Banyak cerita menarik yang terdapat dalam buku tersebut. Diantaranya fakta bahwa Bung Tomo sebenarnya bertetangga dengan Jenderal Suprapto, salah satu perwira tinggi AD yang menjadi korban penculikan dalam peristiwa G30S/PKI. Diceritakan bahwa pada suatu malam beberapa hari setelah peristiwa tersebut, rumah Bung Tomo tiba-tiba didatangi oleh beberapa orang tentara yang memintanya untuk ikut bersama mereka. 

Menurut Ibu Sulistina, saat itu Bung Tomo bahkan sudah siap melawan dengan pistol di tangannya jika memang benar tentara tersebut berniat menculiknya. Namun komandan tentara yang berpangkat kapten tersebut akhirnya bisa meyakinkan Bung Tomo bahwa mereka benar hendak mengamankan Bung Tomo ke tempat aman yang ternyata merupakan markas Kostrad di Jl. Merdeka Timur. 

Setahun setelah kejadian tersebut, Bung Tomo menulis sebuah buku berjudul “Gerakan 30 September” yang konon merupakan buku terakhir dari lima buku yang pernah ditulis oleh Bung Tomo selama hidupnya. Saya sendiri hingga saat ini masih penasaran ingin mengetahui dan membaca isi buku tersebut. 

Selesai membaca buku tersebut, saya mencoba mencari informasi dan kontak Ibu Sulistina Sutomo karena menurut saya tentunya amat menarik jika mendengarkan kisah hidup Bung Tomo langsung dari istrinya sendiri yang setia mendampingi dan mencintainya hingga wafat di Arab Saudi saat tengah menjalankan ibadah Haji tanggal 7 Oktober 1981. 

Jenazah Bung Tomo sendiri akhirnya bisa dipulangkan kembali ke Indonesia setelah pemerintah Indonesia berhasil melobi dan meyakinkan pemerintah kerajaan Arab Saudi. Lazimnya sesuai aturan Arab Saudi yang berlaku, setiap jamaah Umroh maupun Haji yang wafat ketika sedang menjalankan ibadah di tanah suci maka jenasahnya harus tetap dimakamkan di sana.

Saya mengirimkan email ke penerbit buku tersebut untuk meminta kontak dari Ibu Sulistina. Sekitar seminggu kemudian saya mendapat balasan email langsung dari cucu Ibu Sulistina yang bernama Tami. Selanjutnya Tami menjadi perantara pertemuan saya dengan Ibu Sulistina hingga akhirnya disepakati kami bisa bertemu dengan beliau pada tanggal 22 Maret 2008. 

Dalam pertemuan tersebut, saya mengajak kedua sahabat saya untuk mendampingi yakni Surya Adi Winata (Surya) dan Rizki Arief (Rizki). Bukan tanpa alasan saya mengajak mereka. Surya merupakan sahabat saya sejak SMA dan menyukai sejarah, sementara Rizki merupakan cucu dari Doel Arnowo (mantan Walikota Surabaya yang juga berperan penting dalam pertempuran Surabaya) tentunya sosok kakeknya dikenal oleh banyak pejuang Arek-Arek Suroboyo masa itu, termasuk oleh Bung Tomo dan istrinya.

Kami bertemu dengan Ibu Sulistina sekitar pukul 11.00 WIB di rumahnya yang asri di kawasan komplek perumahan Kota Wisata Cibubur, Jawa Barat Saat bertemu untuk pertama kalinya, saya dan kedua sahabat saya langsung sungkem atau mencium tangannya sebagai tanda bahwa kami sangat menghormati beliau yang usianya memang sudah lanjut. Percakapan dibuka oleh kami yang memperkenalkan diri satu-persatu dan kemudian menjelaskan maksud kedatangan kami yang ingin bersilaturahmi dengan Ibu Sulistina selaku istri dari Bung Tomo. Ibu Sulistina menyajikan teh dan kue untuk menemani pertemuan kami yang penuh dengan suasana kehangatan tersebut. Dalam pertemuan tersebut cucu beliau, Tami turut hadir mendampingi kami.

Menurut Tami, neneknya sangat aktif meski sudah berusia lanjut. Selain menggemari hobi berkebun bunga dan tanaman, Ibu Sulistina Sutomo ternyata juga senang menulis. Bahkan keluarganya secara khusus memberikan sebuah laptop untuk mendukung kegiatan menulisnya. Ibu Sulistina juga rutin menghadiri kegiatan pengajian dan kegiatan bersifat sosial lainnya pada masa senjanya.

Saya sempat menanyakan kenapa Ibu Sulistina memilih tinggal di Cibubur dan jauh dari Jakarta padahal sebelumnya keluarga Bung Tomo menempati sebuah rumah yang letaknya cukup strategis yakni di Jl. Besuki kawasan Menteng Jakarta Pusat yang sangat prestisius karena di sekitarnya merupakan rumah dan kediaman pejabat tinggi negara serta perwakilan diplomatik negara lain. 

Menurut beliau, dirinya sebenarnya sangat mencintai rumah lamanya di Jl. Besuki Menteng tersebut, namun biaya PBB (Pajak Bumi dan Bangunan) di kawasan tersebut setiap tahun semakin mahal dan nilainya bahkan bisa mencapai belasan juta rupiah. Akhirnya setelah berunding dengan pihak keluarga, Ibu Sulistina Sutomo bersedia menjual rumah penuh kenangan tersebut. Kabarnya rumah tersebut dibeli oleh Kedutaan Besar Amerika Serikat.

Ibu Sulistina sempat terkejut ketika mengetahui bahwa Rizki merupakan cucu dari Doel Arnowo yang menurutnya dikenal baik oleh Bung Tomo. Saya juga menanyakan apakah beliau mengenal kakek saya yang ketika itu turut bertempur di Surabaya, sayangnya beliau mengaku tidak mengetahuinya karena memang saat itu jumlah pejuang Indonesia yang terlibat dalam pertempuran 10 November 1945 sangat banyak dan terbagi dalam beberapa divisi pasukan yang berbeda-beda.

Salah satu hal yang membuat kami bertiga terkejut adalah ketika Ibu Sulistina bercerita bahwa Bung Tomo belum menjadi pahlawan nasional (saat itu) padahal sejak saya masih sekolah dasar, nama Bung Tomo hampir selalu ditulis atau disebutkan dalam peristiwa pertempuran 10 November 1945. Menurut beliau, selama bertahun-tahun banyak masyarakat Jawa Timur khususnya yang berasal dari Surabaya menghendaki Bung Tomo diangkat sebagai pahlawan nasional namun pemerintah pusat menganggap Bung Tomo hanyalah pahlawan lokal sehingga tidak memenuhi persyaratan untuk diajukan sebagai pahlawan nasional.

Bahkan Ibu Sulistina menceritakan sebuah kisah, dimana pernah pada suatu hari rumahnya didatangi oleh perwira berpangkat Kolonel yang diutus untuk menyampaikan surat penghargaan pemberian gelar pahlawan nasional kepada Bung Tomo tanpa diserahkan langsung oleh Presiden. Ketika ditanyakan kenapa diserahkan langsung ke rumah bukan di Istana Presiden seperti lazimnya penganugerahan pahlawan nasional Indonesia pada umumnya, Kolonel tersebut hanya mengatakan bahwa dirinya hanya menjalankan perintah. Mendengar jawaban tersebut, Ibu Sulistina merasa tersinggung dan langsung menolak penghargaan tersebut dan meminta sang Kolonel segera pergi dari rumahnya.

Menurut Ibu Sulistina, saat itu dirinya geram dan merasa perjuangan dan pengorbanan Bung Tomo dalam pertempuran di Surabaya seolah tidak dihargai oleh pemerintah. Bung Tomo sendiri sempat ditahan selama setahun pada masa Orde Baru karena dianggap berbeda pandangan politik dengan pemerintah saat itu. Meski demikian desakan banyak pihak khususnya dari masyarakat Surabaya agar Bung Tomo diangkat menjadi pahlawan nasional begitu kuat sejak dirinya meninggal dunia tahun 1981. "Mungkin karena desakan itulah yang membuat pemerintah akhirnya sempat berencana memberikan gelar pahlawan nasional untuk Bung Tomo namun tidak diberikan secara resmi di Istana Presiden", ucap Ibu Sulistina. 

Namun syukur Alhamdulillah, 5 bulan setelah kunjungan saya ke rumah Ibu Sulistina Sutomo, pada tanggal 7 November 2008 Presiden Susilo Bambang Yudhoyono akhirnya secara resmi menganugerahi Bung Tomo dengan gelar pahlawan nasional bersama dua tokoh bangsa lainnya, yakni Dr. Mohammad Natsir dan KH. Abdullah Halim. Saya ingat menyaksikan tayangan berita di televisi bagaimana Ibu Sulistina Sutomo yang didampingi putranya, Bambang Sulistomo hadir di Istana Negara dan menerima gelar pahlawan nasional yang memang sudah sepantasnya diterima oleh seorang Bung Tomo. Saya sempat terharu menyaksikan momen ketika Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyalami Ibu Sulistina Sutomo saat itu.

Pertemuan kami berlangsung kurang lebih selama sejam. Pada akhir pertemuan tersebut, saya meminta kesediaan beliau untuk menandatangani buku tentang Bung Tomo yang saya miliki sebagai kenang-kenangan. Tidak lupa saya dan kedua sahabat saya bergantian berfoto dengan beliau. Kami pun akhirnya pamit dan tersenyum puas dalam perjalanan pulang kembali ke Jakarta  karena berhasil bertemu dan berbincang dengan salah satu pelaku sejarah peristiwa pertempuran 10 November 1945.

Terakhir kali saya bertemu Ibu Sulistina Sutomo mungkin sekitar tahun 2010 di Pondok Indah Mall Jakarta. Saat itu saya yang tengah jalan-jalan bersama keluarga melihat sosok Ibu Sulistina Sutomo yang tengah duduk di atas kursi roda yang didorong oleh salah satu anggota keluarganya. Saya ingat ketika itu saya langsung menghampiri dan sungkem kepada beliau. Tadinya beliau lupa siapa saya, namun setelah dijelaskan bahwa saya pernah berkunjung ke rumahnya bersama kedua teman saya, beliau akhirnya ingat siapa saya dan kami pun sempat mengobrol sebentar.

Kenangan akan senyuman khas Ibu Sulistina Sutomo mungkin akan sulit terlupakan, namun mari kita semua doakan bersama agar semoga Ibu Sulistina Sutomo kini bisa beristirahat dengan tenang bersama suami tercintanya, Bung Tomo di alam akhirat sana..

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun