Mohon tunggu...
Andi Ihsandi
Andi Ihsandi Mohon Tunggu... -

@andiihsandi

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Fenomena Ajang "Benci-bencian"

13 Januari 2014   08:25 Diperbarui: 24 Juni 2015   02:53 119
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Mulai dari keberpihakan (act of bias), sampai ke genosida.

Twitter: @andiihsandi Benci adalah emosi dimana sebuah objek nggak suka atas suatu objek lain yang bertentangan dengan kemauan kita. Wajar saja, binatang aja punya insting buat mempertahankan apa yang ia miliki. Habitatnya, sumber makanannya, keluarganya. Manusia sebagai spesies yang paling maju pikirannya di planet ini, juga nggak lepas dari insting tersebut. Sadar atau enggak, dari lahir pun kita udah membenci. Kita benci dunia yang sepenuhnya baru dan beda dari dunia yang kita tinggali selama 9 bulan. Kita benci bubur bayi yang nggak sesuai dengan selera kita. Kita benci ketika popok kita “terisi”. Sayangnya, kita hanya bisa melampiaskan rasa benci itu dengan menangis. Kita benci ketidakmampuan kita untuk menyelesaikan masalah-masalah itu sendiri, sehingga menangis hingga pertolongan datang adalah satu-satunya hal yang bisa dilakukan. [caption id="" align="aligncenter" width="252" caption="Aku benci susu ini! Aku mau susu mama! (sumber: sheknows.co.uk)"][/caption] Semakin bertumbuhnya kita pada segi fisik, mental dan kemampuan berpikir, kita mulai berpikir untuk mengatasi rasa benci itu dengan suatu tindakan supaya rasa yang mengganjal di pikiran kita hilang. Ada yang membolos ketika dia membenci suatu pelajaran. Ada yang mencibir orang karena ada aspek pada orang itu yang membuat kita nggak sreg. Banyak contohnya. Pertanyaannya, apa benci itu suatu hal yang selalu jelek? Well, menurut saya, 80% of the time, rasa benci itu selalu jelek. Jarang banget rasa benci itu ada dikarenakan hal positif atau membuahkan sesuatu yang positif. Memang, ada yang belajar Matematika mati-matian. Bukan karena dia benci Matematika, tapi karena dia benci ketidakmampuan dia dalam mempelajari Matematika. Ada yang rajin fitness karena dia benci terlihat tidak sehat. Dari kedua paragraf diatas, dapat dipahami; benci bisa menjadi motivasi. Ya, motivasi. Entah untuk hal positif atau hal negatif. Rasa benci akan memotivasi anda untuk berdiri dari singgasana anda dan melakukan sesuatu. Entah pelaksanaan dan akibat tindakan itu positif/negatif, semua kembali ke pribadi masing-masing. Motivasi (kata benda) bisa muncul dengan sendirinya, atau bisa juga muncul dari ajakan; proses itu dinamakan memotivasi (kata kerja). Benci, yang sama seperti motivasi juga bisa muncul dari ajakan. Istilahnya, menghasut. Benci muncul ketika satu pihak dirugikan oleh pihak lain, entah karena pihak lain itu sekedar nggak memikirkan kondisi A akibat tindakannya, atau karena pihak lain itu memang benci pada pihak A. Bisa juga pihak B melampiaskan pada A karena dulu dihasut oleh pihak C, dan seterusnya. Kalau ditelusuri, nggak akan ada habisnya. Benci seperti rantai yang nggak terhingga panjangnya. Filosofi ini yang akhirnya kita kenal sekarang ini sebagai frase “chain of hatred” atau “rantai kebencian”. [caption id="" align="aligncenter" width="388" caption="Apa damai itu 100% mustahil?"]

Apa damai itu 100% mustahil?
Apa damai itu 100% mustahil?
[/caption] Yang pengen saya bahas di artikel ini adalah proses tersebut. Memotivasi untuk membenci, tentunya dalam konteks negatif. Saya kepikiran untuk menulis ini setelah membaca tulisan-tulisan lain. Supaya enggak panjang-panjang, saya akan ambil beberapa contoh yang sedang ngetrend sekarang ini. Agar tidak menyinggung pihak manapun, saya akan umpamakan contoh-contohnya dengan simpel. Cerita 1: Ada seorang anak bernama Duit. Dia dibesarkan di desa yang damai. Sampai suatu hari, tetangganya yang bernama Apes dibunuh oleh seseorang yang beretnis asing (katakanlah etnis A). Diketahui juga bahwa si pembunuh telah membunuh 10 orang sebelumnya. Orangtua Apes bersumpah untuk balas dendam dan mencari si pembunuh. Setelah bertahun-tahun, akhirnya si pembunuh ditangkap dan dihukum mati. Tapi, selama bertahun-tahun pencarian itu etnis A dimusuhi oleh warga setempat. Bahkan setelah eksekusi si pembunuh, etnis A tetap saja dicap oleh warga sebagai etnis pembunuh. Cerita 2: Duit sedang berbelanja di pasar. Di pasar, ada seorang warga yang berasal dari etnis A yang dilarang untuk berbelanja disana. Setelah perdebatan panjang, warga etnis A itu dipukuli oleh warga setempat hingga tewas. Para penduduk pun saling berdebat atas kasus ini. Penduduk-penduduk yang membela oknum-oknum beralasan: Ini hanya satu nyawa. Kalian ingat apa yang mereka lakukan dulu! 11 orang tewas oleh mereka! Kami membela kebenaran!”. Kekompakan penduduk lalu terpecah jadi dua; Pihak yang mendukung oknum, dan yang nggak mendukung oknum. Cerita 3: Duit yang tergolong ke pihak yang nggak mendukung oknum, mendapat kabar bahwa salah satu sesepuh desa yang mendukung oknum, tewas akibat penyakit aneh yang terkesan seperti hukuman dari langit. Ketika Duit menyampaikan kabar itu, orang-orang berkata: Ha! Rasain. Mampus dia. Itu hukuman karena mendukung orang-orang yang salah!” Di cerita 1, etnis A dijadikan bulan-bulanan oleh warga, padahal si pembunuh sudah diadili. Ini dinamakan Bigotry, dimana suatu pihak dibenci tanpa alasan yang jelas, atau karena ada oknum dari sana yang tidak mewakili sifat pihak tersebut. Di cerita 2, 50% warga menganggap matinya 1 etnis A itu adalah hal yang wajar, karena 11 dari mereka dibunuh oleh orang lain dari etnis A. Padahal etnis A yang tewas itu sama sekali nggak bersalah. Di cerita 3, orang-orang yang nggak mendukung oknum desa, mensyukuri matinya sesepuh di kubu satunya. Mereka semakin senang karena hal yang menimpa almarhum terlihat seperti hukuman dari langit. Saya rasa 3 cerita diatas cukup buat mewakili apa yang terjadi di masyarakat kita. Pihak A membenci dan mendiskriminasi pihak B, karena ada oknum yang berasal dari pihak B. Lucu, bagaimana bisa suatu pihak digeneralisasi sebagai pembunuh/perusak moral/penghancur komunitas hanya karena ada oknum? Jika pihak itu adalah sebuah organisasi, mungkin masih masuk akal. Anggota merepresentasikan organisasi. Nila setitik, rusak susu sebelanga. Tapi gimana dengan komunitas sebesar etnis atau agama? Tentu saja nila setitik nggak akan merusak susu sedanau. [caption id="" align="aligncenter" width="400" caption="Mulai dari keberpihakan (act of bias), sampai ke genosida."]
Mulai dari keberpihakan (act of bias), sampai ke genosida.
Mulai dari keberpihakan (act of bias), sampai ke genosida.
[/caption] Pihak A menganggap membalas perlakuan oknum pihak B ke salah satu anggota pihak B yang nggak bersalah sebagai suatu yang wajar. Karena oknum pihak B telah membunuh 11 pihak A, maka pihak B lebih salah. Disini entah mengapa ada kompetisi kematian. Siapa yang lebih banyak membunuh, dia yang bersalah. Tentu kita nggak asing dengan hal semacam ini. Ketika kita melarang pihak A untuk membalas pihak B, pihak A akan mengungkit hal-hal buruk yang dilakukan oleh pihak B, sebagai pembenaran untuk tindakan pihak A. Seolah olah, pihak A adalah pihak yang lebih baik. Nggak ada yang mengalah. Nggak ada yang sadar bahwa pihak A sama saja dengan oknum pihak B itu. Atas nama apapun, pembunuhan itu jelek. Nggak ada yang perlu dibandingkan mana pembunuhan yang benar. Orang normal nggak akan bangga membunuh rampok ketika membela diri, karena mau seburuk apapun, nyawa tetap nyawa. Tapi, masyarakat kita sekarang malah dengan gampangnya mengatakan “bunuh!”, “balas mereka!”, tanpa mikir konsekuensi tindakan mereka. Di cerita 3, setelah terpecah jadi dua pihak yang beda pemahaman, seorang dari pihak A1 yang tewas disyukuri oleh pihak A2. Ini juga sering terjadi di masyarakat kita sekarang, dimana ketika seseorang dari pihak yang nggak sepaham tertimpa musibah, pihak satunya malah bersukacita, dan mengatakan bahwa orang itu pantas ditimpa musibah. Ini juga bodoh banget. Kita bukan Tuhan. Kita nggak berhak menilai apakah orang lain itu pantas ditimpa musibah atau nggak. Kita juga nggak seharusnya mensyukuri musibah yang menimpa orang itu, meskipun dia bersalah pada kita. Ketika seseorang yang penting meninggal dan banyak yang berduka, ada yang malah mencibir karena hanya sedikit yang berduka atas tewasnya ribuan orang di tempat lain akibat perang atau semacamnya. Sekali lagi, semua kematian itu sama. Silahkan cap dia jahat atau baik sesuai apa yang dia lakukan di hidupnya. Tapi saya rasa bodoh sekali untuk bersenang-senang atas matinya seseorang, dan juga membandingkan kematian siapa yang lebih berarti. [caption id="" align="aligncenter" width="315" caption="Someday."]
Someday.
Someday.
[/caption] Itu saja yang ingin saya sampaikan di artikel ini, tentu saja saya nggak pengen nulis hal klise semacam “dunia akan damai andaikan kita tidak saling benci”. Saya rasa hal itu mustahil. Sekali lagi, benci adalah insting dasar kita. Pertanyaannya adalah, bagaimana cara kita dalam menangani rasa benci itu. Dan itu kembali ke masing-masing. Kalo ada cara yang nggak merugikan pihak manapun, kenapa nggak? Tapi mau gimanapun, lebih gampang bicara daripada melakukan. Sulit, tapi ini usaha saya untuk mengajak orang-orang agar mencari cara lain untuk menghilangkan rasa bencinya pada pihak lain. Kira-kira demikian aja tulisan kali ini, kritik dan saran sangat diterima. Anda bisa mengomentari tulisan ini disini, atau menghubungi saya. Sekian dan terimasih banyak.

Email: andiihsandi@gmail.com

Twitter: @andiihsandi

Saya juga punya blog pribadi yang berisi cerita-cerita pribadi kehidupan saya, isinya lebih condong ke lucu-lucuan aja sih. Yang mau berkunjung, silahkan buka: Jurnal Dodol-Catatan Pelajar Ingusan di Negeri Orang

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun