Mohon tunggu...
Andi Hermawan
Andi Hermawan Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Mahasiswa fakultas ekonomi, penjual buku dan biasa menulis

Selanjutnya

Tutup

Film Pilihan

Senandung Bunga dari Bulukadia: Stigma, Ungkapan dan Zaman

10 Februari 2023   15:52 Diperbarui: 10 Februari 2023   15:58 602
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Screen shot footage film dokumenter Senandung Bunga dari Bulukadia 

Persis seperti judulnya, hampir keseluruhan film ini diiringi senandung syair dan tabuhan gimba (gendang) yang dipercaya serta diwariskan secara turun-temurun sebagai pengingat sekaligus medium untuk menjaga hubungan antara manusia dan para leluhur. Melalui prosesi adat, atau disebut juga upacara Balia/Nobalia. Mungkin, hampir di seluruh kawasan Nusantara atau bahkan dunia memiliki tradisi persis seperti ini. Tradisi leluhur yang dipercayai telah ada sebelum agama-agama samawi masuk di kawasan tersebut. Film ini merekam dua tokoh adat di Desa Kadia, Nenek Bungacina dan Om Hajaidin. Dua sosok ini merupakan tokoh sentral yang sepanjang jalannya film akan jadi narasumber dan pengarah tentang bagaimana, mengapa dan apa itu Balia.

Screen shot footage film dokumenter Senandung Bunga dari Bulukadia 
Screen shot footage film dokumenter Senandung Bunga dari Bulukadia 

Awal film memperlihatkan lanskap bulu dalam bahasa Kaili berarti gunung/pegunungan di sekitar Desa Kadia yang beriringan dengan lantunan syair-syair berbahasa Kaili dan tabuhan gimba. Syair tersebut memiliki arti mengenai awal mula terciptanya Desa Kadia, menceritakan tentang leluhur masyarakat Desa Kadia yang memiliki karomah dan membangun peradaban atas izin maha kuasa, serta puja-puji pada sang pencipta. Syair-syair dilantunkan dan diwariskan secara turun-temurun, tidak lain adalah untuk generasi selanjutnya agar selalu mengingat keesaan Tuhan.

"Ku sambut gembira dengan dendang kerinduan yang akan menuturkan cerita-cerita masa lalu. Kepada para remaja yang datang bertanya tentang asal mula adat peradaban di sini (kadia). 

Tuhan yang maha kuasa yang melahirkan para leluhur, 

telah lahir sosok yang memiliki karomah yang diibaratkan sebagai pohon beringin yang rindang dan tinggi menjulang,

semua orang akan mendapatkan perlindungan dariNya, Semua yang ada di dunia pun dilindungiNya, 

tidak ada tempat lain untuk mengadu kecuali hanya padaNya."

Foto: Moh. Syukran A 
Foto: Moh. Syukran A 
Film dokumenter ini juga menampilkan beberapa prosesi upacara berlangsung, seperti proses baca doa dan dilanjutkan dengan proses melarung. Beberapa daerah yang ada di Nusantara juga nyatanya punya kesamaan tradisi, yang dijadikan medium bentuk syukur atau tolak bala. Lewat film dokumenter ini juga bisa sedikit mengartikan bahwa Balia atau Nobalia punya beberapa tahap dalam pelaksanaannya, bukan hanya sekadar perayaan tari-tarian dan lantunan syair-syair semata. Dan Balia juga memiliki banyak jenis tergantung kondisi yang dialami masyarakat serta proses atau tahapan yang berbeda pula.

Screen shot footage film dokumenter Senandung Bunga dari Bulukadia 
Screen shot footage film dokumenter Senandung Bunga dari Bulukadia 
Satu adegan pamungkas dalam film dokumenter ini yang umpama oase kecil di tengah gurun perdebatan, yaitu ketika usai sudah seluruh proses Balia dan penjelasannya, di akhir sosok Nenek Bungacina salat yang beriringan dengan lantunan syair penutup yang memiliki arti

"Dendang senduh usai sudah, waktunya telah tiba untuk menyembah sang pencipta. Duhai taulan tersayang, dengan demikian tenangkanlah hati duhai pendendang senduh."

Anggapan dan Wacana Luas

Kini upacara Balia masih memicu pro-kontra di masyarakat, penghujung tahun 2018 menjadi titik puncak Balia dicap sesat, karena upacara ini bagi sebagian orang dianggap upacara mengundang jin dan membawa petaka. Semua bermula saat festival tahunan yang diselenggarakan oleh pemerintah Kota Palu, Festival yang awalnya bernama Festival Teluk Palu ini mendapat beberapa sentuhan dalam tiap penyelenggaraannya, demi terus memeriahkan dan mendongkrak wisatawan, sejak 2016 berganti nama menjadi Festival Palu Nomoni yang sejak saat itu pula beberapa upacara dan tradisi Suku Kaili digelar, salah satunya upacara Balia. Pada tahun 2018, tepatnya 28 September saat memasuki waktu magrib, beberapa kawasan di Sulawesi Tengah diguncang gempa bumi yang disusul tsunami di Teluk Palu dan likuifaksi di beberapa lokasi.

Foto: Moh. Syukran A
Foto: Moh. Syukran A
Sejak saat itulah Balia marak dianggap sebagai upacara yang mendatangkan bala, sesat dan syirik. Selain banyaknya korban jiwa, bangunan rusak dan trauma masyarakat. Bencana alam saat itu juga memberi dampak yang terbilang laten mengenai upacara Balia, tidak gamblang namun nyata adanya, bahwa stigma sebagian masyarakat negatif tentang Balia semakin meluas, juga diteruskan berkali-kali yang barangkali dilakukan oleh mereka-mereka yang bahkan tidak pernah tahu-menahu apa itu Balia.

Merendam Ujung Jari

Sedikit mencari tahu dari beberapa sumber dan coba merajut jawaban atas pertanyaan dan wacana berkembang. Balia nyatanya punya banyak jenis dan ragam syair, tergantung pada apa maksud dari pelaksanaannya. Seperti Balia untuk pengobatan, tidak serta-merta di laksanakan ketika dalam satu lingkup masyarakat terdapat orang yang sakit. Dibutuhkan usaha lebih dulu untuk mencari pengobatan lain dan jika telah dilakukan upaya untuk menyembuhkan dengan beragam cara namun tidak membuahkan hasil, barulah proses Balia dilaksanakan, itupun perlu pertimbangan matang-matang. Dengan maksud bertanya pada leluhur dan memohon doa pada sang pencipta agar menyembuhkan penyakit yang telah lama diderita.

Screen shot footage film dokumenter Senandung Bunga dari Bulukadia 
Screen shot footage film dokumenter Senandung Bunga dari Bulukadia 

Diyakini bahwa upacara Balia seharusnya dilaksanakan tanpa adanya intervensi yang tidak subtansial. Sebab Balia bukanlah parade atau perayaan yang hanya sekadar digelar dan jadi bahan tontonan serta bisa dilaksanakan kapan saja. Jauh dari itu, Balia adalah tradisi turun-temurun nan sakral yang punya banyak syarat untuk melaksanakannya, tradisi ini pula menyimpan banyak tanda-tanda(semiotik) contohnya pada beras pulut bermacam warna, nada tabuhan gimba, dan pakaian yang dikenakan. Satu hal pula yang dianggap buruk bagi sebagian orang dalam proses berlangsungnya Balia adalah ketika ada masyarakat yang mengalami "kemasukan" yang sudah barang tentu dikonotasikan negatif. Padahal kejadian ini justru diyakini sebagai bentuk para leluhur yang dianggap pilihan maha esa dan menjadi perpanjangan tanganNya untuk hadir di tengah-tengah upacara. Sebagai pemberi kabar pada generasi sekarang untuk menjalani kehidupan dengan bijak dan memperlakukan alam semestinya agar tidak mengundang murka Tuhan.

Foto: Moh. Syukran A
Foto: Moh. Syukran A
Semestinya penggunaan bahasa dan definisi tidak boleh serampangan dalam menindak atau menjustifikasi sebuah kebudayaan dan tradisi yang bahkan telah lama ada sebelum bahasa dan definisi itu hadir. Rasanya tidak adil dan menganggap remeh dalam menyimpulkannya, itu mengapa para pelaku adat dengan penuh kehati-hatian menyebut orang-orang tersebut sebagai sakaya (perahu) yang berarti media pilihan leluhur ketimbang memakai kata kerasukan/kemasukan. Karena memang selain konotasi negatif akan kata tersebut sudah terlanjur berkembang, para tokoh adat juga percaya bahwa para leluhur tidak memilih sembarang orang. Melainkan mereka-mereka yang dianggap baik, tulus, ikhlas dan jauh dari keburukan.

Gerak yang Berubah-ubah

Lupa adalah penyakit nyata untuk kemajuan zaman. Tidak begitu mengherankan mengapa berkembang narasi "Teluk Palu tidak mungkin disapu tsunami". Selain penyakit lupa, juga diteruskan berkali-kali yang barangkali dilakukan oleh mereka-mereka yang bahkan tidak pernah tahu-menahu. Seperti diawal-awal tulisan ini. Berkomentar agaknya lebih mudah dilakukan ketimbang mencari tahu lebih dulu, begitulah kurang lebih kehidupan masyarakat urban. Arus informasi yang padat dan silih berganti juga jadi faktor penyebabnya, selain modernisasi. Tidak bisa dimungkiri, kalau faktor-faktor tersebut yang jadi penyebab generasi muda agaknya tidak berminat untuk ikut serta mengambil peran penting dalam pelaksanaan tradisi para leluhur, Kesimpulan sederhananya: semua peninggalan masa lampau itu ketinggalan zaman dan teknologi masa kini adalah tren.

Foto: Moh. Syukran A
Foto: Moh. Syukran A
Belum lagi ditambah stigma negatif, yang mungkin buat para calon pelaku atau penerus muda berpikir dua kali untuk terlibat, karena tidak ingin jadi bahan pembicaraan yang mengurangi rasa percaya diri mereka. Selain itu, penyebab kekurangan penerus akibat minimnya diskursus yang dibangun dan ruang-ruang untuk berdialog secara terbuka akan hal-hal yang menyangkut tradisi. Seolah para pelaku tradisi menganggap yang hadir adalah mereka yang paham dan mengerti, padahal nyatanya tidak demikian. Bahkan di beberapa upacara adat yang dilaksanakan terbuka, dihadiri oleh mereka-mereka yang penasaran  dan pulang tanpa membawa jawaban atas apa yang telah disaksikan. Dan di sinilah bola liar bekerja, stigma negatif  yang mengisi jawaban atas pertanyaan para generasi saat ini.

Seputar Film

Film dokumenter berdurasi 20 menit ini bertema kebudayaan, program kerja sama dengan Kemendikbud melalui pendanaan Indosiana, sebagai upaya merekam maestro tradisi lisan. Yayasan Tana Sanggamu Sindue sebagai penerima fasilitasi dana hibah, menggandeng Eldiansyah atau akrab disapa Ancha, untuk menyutradarai proyek tradisi lisan/tutur, serta melibatkan Iksam Djahidin Djorimi yang merupakan arkeolog dan kurator museum Sulawesi Tengah sebagai tim peneliti. Secara keseluruhan, film dokumenter ini hadir dengan percaya diri di tengah badai stigma negatif terhadap Balia.

kelihatan bahwa sang sutradara mencari metode dan cara pengemasan yang tepat untuk film yang mengangkat unsur budaya dalam durasi waktu yang terbilang singkat. Hingga tidak begitu membahas tuntas tentang apa itu Balia, mungkin juga diakibatkan karena terkungkung dalam satu tema "merekam maestro" yang membatasinya. Hal ini juga yang sedikit memperlihatkan kebingungan atas pesan apa yang akan disampaikan, disisi lain ada topik Balia yang dibahas, tapi disisi lainnya sang maestro patut ditonjolkan. Dua hal ini yang menjadi kebingungan yang samar dalam film dokumenter ini.

Itu mengapa film dokumenter ini tidak bisa berjalan sendirian, baiknya selalu ditemani sang sutradara (orangtua). Karena kalau sewaktu-waktu ada orang-orang yang bertanya selepas pemutaran tentang apa-apa saja menyoal isi film, kiranya butuh jawaban mendalam dan penuh tanggung jawab. Sebelum pertanyaan itu disusupi lagi oleh jawaban negatif tanpa dasar. Terakhir, untuk menutup tulisan ini, barangkali untuk mereka yang masih dalam proses dialog tentang Balia mungkin tidak akan puas akan tulisan ini. Itu sudah barang tentu karena seperti tulisan di atas, Untuk menilai atau menyimpulkan serta memberi komentar atas suatu tradisi. bijaknya, membutuhkan proses pencarian yang cukup lama serta metode yang tepat, sebab semuanya menyangkut soal peradaban yang sudah barang tentu jauh diyakini dan dilaksanakan dalam satu lingkup masyarakat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun