Mohon tunggu...
Andi Hermawan
Andi Hermawan Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Mahasiswa fakultas ekonomi, penjual buku dan biasa menulis

Selanjutnya

Tutup

Film Pilihan

Senandung Bunga dari Bulukadia: Stigma, Ungkapan dan Zaman

10 Februari 2023   15:52 Diperbarui: 10 Februari 2023   15:58 602
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Dendang senduh usai sudah, waktunya telah tiba untuk menyembah sang pencipta. Duhai taulan tersayang, dengan demikian tenangkanlah hati duhai pendendang senduh."

Anggapan dan Wacana Luas

Kini upacara Balia masih memicu pro-kontra di masyarakat, penghujung tahun 2018 menjadi titik puncak Balia dicap sesat, karena upacara ini bagi sebagian orang dianggap upacara mengundang jin dan membawa petaka. Semua bermula saat festival tahunan yang diselenggarakan oleh pemerintah Kota Palu, Festival yang awalnya bernama Festival Teluk Palu ini mendapat beberapa sentuhan dalam tiap penyelenggaraannya, demi terus memeriahkan dan mendongkrak wisatawan, sejak 2016 berganti nama menjadi Festival Palu Nomoni yang sejak saat itu pula beberapa upacara dan tradisi Suku Kaili digelar, salah satunya upacara Balia. Pada tahun 2018, tepatnya 28 September saat memasuki waktu magrib, beberapa kawasan di Sulawesi Tengah diguncang gempa bumi yang disusul tsunami di Teluk Palu dan likuifaksi di beberapa lokasi.

Foto: Moh. Syukran A
Foto: Moh. Syukran A
Sejak saat itulah Balia marak dianggap sebagai upacara yang mendatangkan bala, sesat dan syirik. Selain banyaknya korban jiwa, bangunan rusak dan trauma masyarakat. Bencana alam saat itu juga memberi dampak yang terbilang laten mengenai upacara Balia, tidak gamblang namun nyata adanya, bahwa stigma sebagian masyarakat negatif tentang Balia semakin meluas, juga diteruskan berkali-kali yang barangkali dilakukan oleh mereka-mereka yang bahkan tidak pernah tahu-menahu apa itu Balia.

Merendam Ujung Jari

Sedikit mencari tahu dari beberapa sumber dan coba merajut jawaban atas pertanyaan dan wacana berkembang. Balia nyatanya punya banyak jenis dan ragam syair, tergantung pada apa maksud dari pelaksanaannya. Seperti Balia untuk pengobatan, tidak serta-merta di laksanakan ketika dalam satu lingkup masyarakat terdapat orang yang sakit. Dibutuhkan usaha lebih dulu untuk mencari pengobatan lain dan jika telah dilakukan upaya untuk menyembuhkan dengan beragam cara namun tidak membuahkan hasil, barulah proses Balia dilaksanakan, itupun perlu pertimbangan matang-matang. Dengan maksud bertanya pada leluhur dan memohon doa pada sang pencipta agar menyembuhkan penyakit yang telah lama diderita.

Screen shot footage film dokumenter Senandung Bunga dari Bulukadia 
Screen shot footage film dokumenter Senandung Bunga dari Bulukadia 

Diyakini bahwa upacara Balia seharusnya dilaksanakan tanpa adanya intervensi yang tidak subtansial. Sebab Balia bukanlah parade atau perayaan yang hanya sekadar digelar dan jadi bahan tontonan serta bisa dilaksanakan kapan saja. Jauh dari itu, Balia adalah tradisi turun-temurun nan sakral yang punya banyak syarat untuk melaksanakannya, tradisi ini pula menyimpan banyak tanda-tanda(semiotik) contohnya pada beras pulut bermacam warna, nada tabuhan gimba, dan pakaian yang dikenakan. Satu hal pula yang dianggap buruk bagi sebagian orang dalam proses berlangsungnya Balia adalah ketika ada masyarakat yang mengalami "kemasukan" yang sudah barang tentu dikonotasikan negatif. Padahal kejadian ini justru diyakini sebagai bentuk para leluhur yang dianggap pilihan maha esa dan menjadi perpanjangan tanganNya untuk hadir di tengah-tengah upacara. Sebagai pemberi kabar pada generasi sekarang untuk menjalani kehidupan dengan bijak dan memperlakukan alam semestinya agar tidak mengundang murka Tuhan.

Foto: Moh. Syukran A
Foto: Moh. Syukran A
Semestinya penggunaan bahasa dan definisi tidak boleh serampangan dalam menindak atau menjustifikasi sebuah kebudayaan dan tradisi yang bahkan telah lama ada sebelum bahasa dan definisi itu hadir. Rasanya tidak adil dan menganggap remeh dalam menyimpulkannya, itu mengapa para pelaku adat dengan penuh kehati-hatian menyebut orang-orang tersebut sebagai sakaya (perahu) yang berarti media pilihan leluhur ketimbang memakai kata kerasukan/kemasukan. Karena memang selain konotasi negatif akan kata tersebut sudah terlanjur berkembang, para tokoh adat juga percaya bahwa para leluhur tidak memilih sembarang orang. Melainkan mereka-mereka yang dianggap baik, tulus, ikhlas dan jauh dari keburukan.

Gerak yang Berubah-ubah

Lupa adalah penyakit nyata untuk kemajuan zaman. Tidak begitu mengherankan mengapa berkembang narasi "Teluk Palu tidak mungkin disapu tsunami". Selain penyakit lupa, juga diteruskan berkali-kali yang barangkali dilakukan oleh mereka-mereka yang bahkan tidak pernah tahu-menahu. Seperti diawal-awal tulisan ini. Berkomentar agaknya lebih mudah dilakukan ketimbang mencari tahu lebih dulu, begitulah kurang lebih kehidupan masyarakat urban. Arus informasi yang padat dan silih berganti juga jadi faktor penyebabnya, selain modernisasi. Tidak bisa dimungkiri, kalau faktor-faktor tersebut yang jadi penyebab generasi muda agaknya tidak berminat untuk ikut serta mengambil peran penting dalam pelaksanaan tradisi para leluhur, Kesimpulan sederhananya: semua peninggalan masa lampau itu ketinggalan zaman dan teknologi masa kini adalah tren.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun