Mohon tunggu...
andi herawati
andi herawati Mohon Tunggu... tenaga pengajar dan editor jurnal kanz philosophia -

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Peran Keindahan dalam Kehidupan Manusia

26 Maret 2016   12:03 Diperbarui: 26 Maret 2016   12:28 1568
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Fiksiana. Sumber ilustrasi: PEXELS/Dzenina Lukac

Kini di tengah kehidupan yang serba chaotic, bising dan memuakkan, manusia kembali menilik pentingnya suasana harmonis dan damai. Di sinilah letak peran keindahan. Ia sangat esensial dan tidak terelekkan bagi mereka yang sudah tidak lagi hidup dalam suasana dan budaya yang integral dan tradisional. Semakin manusia terpisah dari alam yang suci dan irama kehidupan religious tradisional sehari-hari, semakin besar peran keindahan. Pembicaraan keindahan bukan saja tentang spiritualitas, kosmologi dan tubuh manusia, tetapi juga pada seni sakral. Keindahan menembus sekat-sekat forma, yang melalui forma tersebut, seperti seni musik, kaligrafi, bangunan, membawa manusia pada Pusat (The Center).

Jika bangunan seperti gedung gedung sekolah, rumah ibadah, dan lain-lain, itu diinspirasikan oleh kecerdasaan estetika ini, maka bangunan itu hanya sekedar menjadi sebuah bangunan megah, antroposentris, berpusat pada manusia dan kosong makna, maka yang terjadi adalah yang kita sebutkan sebelumnya, yakni hanya kemegahan fisik saja.

Meskipun demikian, bukanlah hal mudah untuk ‘membumikan keindahan’, ditambah lagi dari pandangan sekelompok orang yang menolak keindahan dan bentuk bentuknya, dan mereka yang berbicara dan menulis tentang kehidupan spiritual sering tampak tidak tertarik pada suasana estetis pencari kebenaran dan bahkan seringkali menghambat pemeliharaan keindahan. Mereka menganggap keindahan inderawi karena hanya berkaitan dengan indera (sense) saja dan akan dapat menghambat perjalanan spiritual manusia. Kesalahan pandangan ini disebut oleh Oliver Leaman sebagai salah satu kesalahan fatal dalam tradisi Islam dalam memandang seni.

Agaklah aneh memang jika kita memandang alasan sebagian kalangan yang melarang manusia untuk berseni atau mencurigai seni, seperti musik, tarian dan lukisan hanya karena alasan tidak ingin menyamai Tuhan sebagai yang memiliki kekuasaan untuk mengubah materi atau yang dapat melakukan segalanya.

 Bagi sufi, yang justru sangat terikat dengan gambar, lukisan, puisi, tarian dan musik, mereka melihatnya sebagai jalan mendekatkan diri pada Tuhan. Musik dan tarian dinilai penting bukan karena keduanya indah, melainkan indah karena keduanya penting, dan penting karena menjadi elemen dalam mendekatkan diri pada Tuhan.[5] Prinsip yang setara bagi para tradisionalis, yakni bagaimana keindahan ini mempunyai ‘force power’ yang melaluinya dan menjadi tujuan transenden manusia, yaitu penetrasi atau menembus pencerahan akan hakekat ‘Yang Satu’ secara simbolis. Meski demikian objektifitas dan universalitas simbol berarti bahwa seni sakral mampu mentransmisikan secara simultan kebenaran metafisik, keadaan spiritual dan sikap-sikap psikologis. Misalnya, seseorang merasakan jajaran ini, khususnya dalam keindahan multiforma dari suatu tempat suci seperti kristalisasi aliran spiritual.

Dalam esoterisme Islam inilah kita bisa melihat seni tradisional seperti musik, tarian, telah menjadi ritual dalam artian yang sama dengan zikr (mengingat, sadar, eling). Bahkan dalam fiqh pun mengajarkan bagaimana dalam shalat ada keharmonisan gerak dan suara yang semuanya adalah satu kesatuan perjalanan manusia dalam bertemu Tuhannya. Pakaian pun dianjurkan untuk memakai yang indah, bersih, khusus, dengan wewangian, hal ini menunjukkan bagian dari adab lahir untuk bertemu Sang Penguasa Jagat, Sang Kekasih, Sang Indah.

Keindahan dalam ranah praktis, Selain melihat atau meninjau keindahan bersumber dari wahyu, penting untuk lebih dekat melihat secara konkrit bagaimana membawa keindahan dalam kehidupan sehari-hari. Hal itu sebenarnya kita tidak bisa terlepas darinya. Sekali lagi bahwa kenyataan yang membuat keindahan menjadi penting dan semakin penting adalah dunia modern.

Dalam peradaban tradisional, persoalan keindahan tidak pernah muncul atau setidaknya tidak dengan urgensi yang sebanding. Dalam kondisi tersebut, setiap elemen formal merupakan anugerah dari surga, bahkan termasuk hal yang paling sederhana dari kerajinan-kerajinan tangan. Ini merupakan basis pra-eksisten dalam perjalanan spiritual. Di zaman modern, basis ini secara praksis sulit ditemukan, sehingga butuh pengkondisian sedemikian rupa untuk berkaca pada hal-hal yang dianggap sepele, bahkan jika ingin mendekatkan diri pada Tuhan. Keindahan pada suasana ini dibutuhkan sejauh ia bisa membantu mewujudkan keseimbangan yang menjauhi perfeksionisme obsesif dan sinisme. Kunci terpenting adalah kesesuaian dengan lingkungan alamiah dimana seseorang harus berusaha memastikan dalam batas-batas realistis bahwa material-material, warna-warna dan jenis-jenis benda dalam lingkungannya itu sekonsistensi mungkin dengan kesederhanaan, kerendahan hati dan kemuliaan alam. Cara terbaiknya adalah membuat lingkungan-lingkungan tersebut semirip mungkin dengan alam.

Tidak mungkin bagi setiap hal di alam berada di luar cakupan keindahan, karena alasan sederhana bahwa dalam alam keindahan murni ada dimana-mana, baik dalam kekerasan dan kehalusan.[6] Alamlah yang mengajarkan kita menjadi polos, tulus, kekanak-kanakan spiritual, yang dimana di sisi lain, manusia dengan aspek liarnya dengan potensi kelicikannya mudah menjadi rusak, yang juga membuatnya menjadi tamak dan jahat[7]

Dari aspek lahir ketika melihat keindahan, melalui tindakan yang bermartabat, seseorang mungkin lambat laun memperoleh karakter yang luhur, sebab sudah menjadi kodrat manusia karena dia menyatukan yang lahir dan batin –memanfaatkan dukungan-dukungan sensori menjuju progres ruhnya dan keseimbangan jiwanya.

Meskipun demikian, keindahan tidak begitu saja menghasilkan kebajikan, melainkan ia menyokong dengan cara tertentu. Sekali lagi, selain dibutuhkan kesesuaian dengan alam, bersahabat dengan alam, bahkan dari sisi lahiriah yang sangat dekat dengan keseharian kita, dalam hal berpakaian misalnya, bagiamana manusia ‘membusanakan’ dirinya, seharusnya adalah ia mengekspresikan keindahan manusia, dengan cara yang sama keindahan mengarahkan kembali pada Tuhan, yakni melalui kesederhanaan, kerendahhatian, keseimbangan, ketenangan, dan kesejukan.  Dengan demikian, sebagaimana pakaian ada untuk mengekspresikan maksud Tuhan bagi tubuh, maka ruang sekitar seseorang seharusnya mengekspresikan atau meneruskan karakter sakral, keluruhan, keindahan alam yang murni. Pada akhirnya suasana lahir kita harus mengekspresikan keindahan sebagaiamana suasana batin kita mengekspresikan kebajikan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun