Mohon tunggu...
andi herawati
andi herawati Mohon Tunggu... tenaga pengajar dan editor jurnal kanz philosophia -

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Gagasan Kearifan Lokal dalam Hubungan Tuhan-Manusia dan Alam

25 Januari 2016   12:38 Diperbarui: 25 Januari 2016   13:17 597
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Ketika mereka bertemu dan saling mendengarkan satu sama lain, sang parenialis mengatakan, tradisi seperti inilah yang patut dipertahankan, sebab ia tidak meminjam dari siapa-siapa tapi lahir dari dirinya sendiri, dan beginilah Tuhan termanifestasi dalam bentuk-bentuk yang partikular dan tidak akan tergerus zaman. Bahwa Seni sakral adalah manifestasi dari The Truth yang setiap saat mampu membawa kita pada kesadaran. Sekali lagi, menurut Guru saya bahwa semua seni sebenarnya adalah sakral, mulai dari proses keterlibatan sang seniman dalam karyanya (dalam bentuk apapun itu), ketercelupan dia adalah kecintaan dia, hingga kepuasan pada saat menikmati hasilnya. Jadi seorang seninam, akan lebih dulu tercelup dan memuja dalam sebuah karya sakral, sebelum orang lain. 

Mengapa tradisi tersebut kini sangat jarang ditemui kecuali hanya menjadi acara pengisi pada acara-acara tradisional ? Seorang pemimpin saat ini dialah yang harus didengarkan, tetapi apakah budaya mendengarkan pepatah bijak dari orang yang dituakan, ataupun dari orang bijak, masih menjadi kebiasaan? inilah yang menjadi pertanyaan dan observasi kita. Bahwa sejatinya alam (dan segala fenomenanya) adalah nasehat yang paling tulus dan paling bermakna. Sebagaimana menurut Ibn ‘Arabi bahwa manusia akan mengenal Tuhan melalui diri dan alam, Jadi pelajaran berharga ada pada setiap orang, dari segala sesuatu meski dari hal yang paling remeh sekalipun.

Hubungan sinergis yang disebut ini sulit dihilangkan mengingat budaya yang telah menjadi sumsum kita adalah kekeluargaan, namun bisa saja renggang, Jika hubungan ini  dilandasi dengan relasi transmisi nilai kebajikan, maka nilai nilai itu akan terus subur, meskipun generasi berkembang dalam konteksnya sendiri. Pola relasi ini akan sangat baik jika dapat di formulasikan dalam satu bentuk kegiatan ,entah yang bersifat pendampingan atau pendidikan lokal.

Yang muncul di benak saya, bagaimana seandainya ada ‘silang budaya’ yang bersifat intra dan antar mejadi sebuah pendekatan solutif bagi kehidupan saat ini, sehingga meskipun setiap tempat mempunyai ciri khasnya masing-masing, tetapi perlu ada persilangan yang mampu menjadi media komunikasi positif. Intra adalah menemukan sejumlah komponen yang terlibat dalam satu masyarakat, untuk mencari titik temu. Dan salah satunya adalah menggali kembali kebijkan lokal yang berisfat warisan turun temurun. Melalui tiga tahap di atas. Dengan demikian generasi muda tidak tercerabut dari akar nenek moyangnya. Bahasa kerennya adalah GOOD RELATIONSHIP BETWEEN THE ELDERLY AND YOUTH

Dan silang budaya yang bersifat antar-budaya adalah menemukan titik kesamaan (meskipun membandingkan bukan mencari kesamaam atau perbedaan) tapi lebih melihat potensi apa yang dimiliki oleh masing masing kebajikan lokal untuk dapat diterapkan melihat masalah yang sama. Ini juga mampu menjadi sarana yang solutif bagi tindakan “othering”, kita memang berbeda, tapi perbedaan tidak menjadikan kita mutlak berbeda. We have different tastes, but they are actually One taste.

Sebagai contoh, budaya “kejujuran”, “santun”, “kerja keras”, “malu”, “kebajikan”, ‘keterbukaan” dalam masing masing masing budaya yang inherent dapat dikeluarkan dan di temukan dalam satu meeting point.

Karena sedari dulu pun dalam tradisi di seluruh Indonesia sangat menghargai warisan turun temurun yang bersifat ‘hikmah”. Inilah hal mendasar yang tidak boleh tergerus dalam keadaan apapun kita saat ini. Sebab dalam setiap ruang, ada “sacred space”. Dan tanpa “sacred space” yang merupakan spiritual embodiment (meminjam istilah Nasr) dalam satu lingkungan hidup manusia, maka sebuah kebudayaan tidak akan bertahan, dalam hal ini manusia atau penghuninya akan kehilangan dirinya, identitasnya.

 Jadi dengan demikian ada dua hal sekaligus yang mampu dikembangkan yaitu membudayakan kembali pesan-pesan orang bijak dan orang tua, kedua membudayakan seni sakral yaitu seni yang akan mengingtkan manusia terhadap krisis kemanusiaannya. Dan jika seni sakral  ini mampu dipertahankan, maka seni sebagai bagian dari budaya hidup manusia, tidak hanya berupa formalitas bentuk seni saja, tanpa ada aspek dan akses pada nilai nilai kesucian (virtues)  di dalamnya.

Confucius menekankan pentingnya seni (arts) dan kemanusiaan (humanities) khususnya dalam melebarkan kecenderungan (fitrah) manusia dan ritual etika (etiquette) untuk mengembalikan kita pada esensi kemanusiaan kita. Karena lingkungan manusia tidak semata-mata bersifat material, namun juga bersifat etis dan spiritual.

Jung, menunjuk beberapa unsur yang mendukung mausia dalam mencari kebahagiaan, diantaranya adalah kemampuan untuk menangkap keindahan dalam seni dan alam dan titik pandang religius dan falsafi yang mampu bergulat dengan suka duka kehidupan.

Masih banyak yang saya ingin ungkapkan, namun keterbatasan informasi terhadap nilai tradisi lokal, maka apa yang saya ungkapkan ini adalah lebih banyak dari pengalaman saya bergelut dan hidup dalam budaya di Indonesia .

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun