Mohon tunggu...
Andi Hasdiansyah
Andi Hasdiansyah Mohon Tunggu... -

saya hobbi menulis, membaca dan kadang menjadi mitos bagi sebahagian orang, itu saja!

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Agama Dalam Pembebasan Negara (Catatan Menuju Masyarakat Madani)

29 September 2013   02:54 Diperbarui: 24 Juni 2015   07:15 652
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

OLEH : SAIFUDDIN AL-MUGHNIY

Diskursus politik nasional pada dasarnya tak dapat dilepaskan dari adanya sebuah sistem sosial yang merupakan tolak ukur dalam merepresentasikan nilai-nilai kehidupan berbangsa dan bernegara dalam konteks demokratisasi. Dalam pengertian bahwa persoalan demokrasi memang menjadi persoalan sejagat sebagaimana apa yang telah diungkapkan oleh Francis Fukuyama, ini mengandung pemahaman bahwa antara makna demokrasi dan demokratisasi mempunyai dikotomis baik dalam arti sempit maupun luas. Karena demokrasi adalah sebuah faham dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat, artinya apa bahwa segala model kebijakan dan segala macam reaksionisme politik penguasa pada intinya harus mencerminkan semangat kerakyatan yang diwakilinya. Terlepas apakah didalamnya ada unsur politik atau tidak. Sementara demokratisasi lebih mengandung pengertian sebuah proses kompetisi atas partisipasi politik yang ada. Dan disinilah akan tercermin adanya partisipasi secara utuh dari rakyat atas konteks politik. Pada tesis awal inilah akan kita jumpai satu adagium pemikiran, bahwasanya apapun namanya dari realitas yang ada demokrasi dan demokratisasi harus menjadi tolak ukur (Paradigma) dalam membangun dimensi kebangsaan yang akhir-akhir ini mengalami kemunduran.

Surutnya nilai-nilai kebangsaan pada intinya sangat dipicu dengan berbagai macam persoalan horizontal yang satu sama lain mengalami benturan pada tingkat bawah. Asumsi pertama, bahwa nilai kultural tidak lagi mampu menjadi agent pemersatu dalam mendialogkan kepentingan-kepentingan bersama dalam bingkai kultural. Sekalipun memang harus diakui bahwa letak geografis kita sangat pluralistik, nilai persatuan kembali memudar sehingga terjebak pada budaya tanding yang amat primordialistik-individual. Asumsi kedua, semangat nasionalisme, kemerdekaan menjadi utopis disebabkan oleh tidak adanya bangunan komunikasi politik antara rakyat dengan penguasa. Padahal yang sebenarnya semangat tersebut mestinya harus parameter dalam mewujudkan cita-cita proklamasi sebagaiman yang dicita-citakan oleh seluruh bangsa Indonesia. Asumsi ketiga, adalah lenturnya sense of belonging terhadap semua aset-aset negara-bangsa termasuk pada perasaan memiliki bangsa ini. Sehingga anarkisme cendrung menjadi frase dari demokrasi yang dibenarkan (Justification of democration), kekerasan cendrung dilegitimasi atas dalih demokrasi tanpa harus mengedepankan nilai-nilai humanisme. Dan menurut penulis, tidakkah demokrasi selalu mencerminkan atas nama rakyat, dan rakyat sendiri adalah bagian terpenting dari humanisasi.

Dari realitas yang demikian tersebut diatas, kelihatannya demokrasi cendrung menjadi parameter tunggal, namun dibalik itu semua ada satu kekuatan yang sama sekali terlupakan, yakni paradigma agama dalam artian bahwa religion of paradigm (Paradigma Agama) sebagai moral force dalam menyampaikan pesan-pesan Ilahiyah kepada ummatnya paling tidak akan menanamkan kesadaran baru dalam mengejewantahkan nilai-nilai kebersamaan bagi keutuhan komuniras bangsa yang tercabik-cabik. Tapi dengan satu catatan bahwa hendaknya agama harus menjadi tumpuan awal dalam mendialogkan segala macam persoalan bukan lalu agama itu dijadikan komoditas politik kekuasaan demi kepentingan sesaat. Tetapi kemudian harus diyakini betapa instrumen agama itu pada dekade belangan ini sudah teramat jauh meninggalkan posisinya sebagai media dakwah terhadap ummatnya.

DILEMATIS AGAMA DALAM POLITIK

Pertentangan klasik ditubuh agama dalam beberapa dekade belakangan ini cukup mewarnai dimensi pembangunan politik nasional. Gerakan agama selalu melingilustrasikan pada satu gambaran pada gerakan radikalisme bagi sebahagian orang terutama elit politk, sementara disisi yang lain justru gerakan agama itu dipahami sebagai bentuk peringatan atas tidak terakomodirnya kelompok agama dalam kepentingan  politik nasional. Namun kesalahan yang paling fatal adalah ketika agama menjadi instrumen dalam mencapai kepentingan politik. Yang seharusnya kekuasaan politik itu haruslah menjadi mediator dalam memfasilitasi kepentingan agama demi kepentingan ummat.

Realitas tersebut sangat unik, sebab dalam pentas perpolitikan kita menurut penulis telah terjadi satu trend baru dengan masuknya para tokoh-tokoh agama dalam dunia politik praktis. Apakah kemudian ini lalu disebut dengan uzlahnya para ulama meninggalkan semedinya untuk masuk pada wilayah pragmatis yang lebih menguntungkan secara ekonomis. Ataukah adanya pemikiran yang baru bagi tokoh-tokoh agama untuk terlibat secara nyata dalam segmen perubahan. Apatah lagi melihat kondisi politik kita yang tidak lagi memperhatikan persoalan moral, etika serta estetika sehingga cendrung menghalalkan segala macam cara yang penting tujuan tercapai. Dengan demikian, maka yang paling dikwatirkan adalah kalau kemudian agamapun menjadi bagian dalam menghalalkan segala macam cara demi tujuan-tujuan politik tertentu. Belum lagi misalnya adanya pertentangan di tubuh internal keagamaan seperti bagaimana eksistensi NU dan Muhammadiyah sebagai kekuatan dalam mereduksi kepentingan ummat selama beberapa dekade belakngan ini. Ternyata pada akhirnya juga tidak dapat dilepaskan dari pergesekan untuk meraih kedudukan yang paling tinggi dalam ikatan sosial kemasyarakatan.

Basis-basis agama dan kultural kemudian menjadi simbol bagi warna politik nasional. Katakanlah misalnya, PAN yang berbasis kader-kader Muhammadiyah, PKB yang lebih berbasis pada NU, dan belum lagi pada partai-partai Islam lainnya. Ini menandakan betapa agama dalam posisi dilematis untuk menciptakan satu sistem yang kondusif sementara secara internal masih terus bergesekan pada area kepentingan politik. Sehingga dengan demikian itu agama seharusnya lepas dari pengaruh politik yang ada. Posisi agama harus menjadi mediator dalam merumuskan kebijakan dan masa depan negara. Dan politik harus mampu memberikan fasilitas terhadap tujuan-tujuan agama dalam melakukan agenda ritualnya sebagai wahana untuk mencerdaskan kehidupan bangsa menuju masyarakat yang adil dalam kemakmuran.

Dengan demikian, sebagai konklusi dari opini tersebut adalah bagaimana diupayakan semaksimal mungkin dibangun simbiosisme politik baik agama terhadap politik begitu pula sebaliknya politik terhadap agama, sehingga lahirlah nilai-nilai yang saling menguntungkan keduanya tanpa memarginalkan satu sama lainnya inilah yang kemudian disebut dengan dialog politik. Wacana tersebut kembali mengemuka oleh karena hadirnya tokoh-tokoh agama dalam penggung perpolitikan nasional, apatah lagi menjelang pesta demokrasi 2004 mendatang yaitu Pemilihan Umum Presiden yang tidak sedikit partai politik yang berbasiskan agama berusaha untuk merebut hati pendukungnya dan begitu pula bagaimana  para calon presiden dan wakil presiden untuk terus berjuang memberikan keyakinan politik bagi rakyat untuk memilih mereka. Katakanlah bagiaman munculnya tokoh agama dalam proses politik tersebut seperti Gus Shollah, Hamzah Haz, KH. Hasyim Muzadi tampil mengusung kekuatan agama dalam politik. Yang kemudian NU menjadi entry point untuk mendapoatkan kekuatan politik tersebut. tapi yang perlu diperhatikan adalah sepanjang partai-partai tersebut betul-betul memperjuangkan hak dan kepentingan rakyat diatas kepentingan politik tertentu. Karena pada akhirnya akan berbenturan dua aliran pemikiran politik berkenaan munculnya tokoh-tokoh agama dalam pentas politik nasional. Pertama, munculnya aliran politik, yang mana lebih pada perjuangan semua komponen masyarakat. Yang mana aliran politik ini muncul oleh karena disebabkan adanya pengaruh kejenuhan terhadap kondisi negara-bangsa yang tidak memberikan titik pencerahan terhadap rakyatnya.  Kedua, politik aliran, yang mempunyai karakteristik lebih pada orientasi jangka pendek , dan apresiatif pada kepentingan sesaat. Dan kalau ini keduanya muncul tidak tertutup kemungkinan akan membunuh potensi agama dalam politik, karena tidak jelasnya paradigma yang dibangun. Maka menurut analisis penulis, hendaknya diciptakan sinergisme baru dalam kehidupan politik nasional, baik itu agama dalam politik ataukah politik dalam agama.

ADA APA DENGAN FATWA ULAMA

Tentunya kondisi politik tersebut di era proses pemilihan presiden mendatang amatlah sarat dengan berbagai macam dialektika untuk memposisikan agama dengan politik pada dua mata pisau yang berebda satu sama lainnya. Sehingga inilah yang kemudian menjadikan munculnya berbagai macam intrepretasi dalam mengakumulasi kepentingan politik demi kekuasaan dan legiimasi sesaat yang pada akhirnya menyebabkan posisi kaum beragama masuk dalam kebingungan publik. Memang pada dasrnya antara agama dan politik tidaklah dapat dipisahkan sebab asumsi tersebut telah terjadi sebuah pertautan yang demikian kuatnya untuk mereduksi kepentingan politik.

Saat sekarang bukan persoalannya sepakat atau tidak dengan fatwa tersebut, hanya saja moment politik sehingga menciptakan move bagi setiap kalangan untuk memberikan pengintrepretasian terhadap fatwa tersebut. Dan secara politis ini adalah salah satu bagian untuk menjegal salah satu calon presiden mendatang. Dan kalau kita pikir bahwa apa yang dilakukan oleh ulama NU itu adalah sangat sinergis sebagaimana yang telah disabdakan oleh Rasulullah bahwa celaka suatu kaum apabila dipimpin oleh kaum perempuan. Dan menurut penulis, bahwa tentunya agama sedapat mungkin harus menjadi medium sekaligus social control bagi setiap aktifitas politik, sehingga para pelaku politik tidak kemudian menjadikan segala macam cara untuk mencapai tujuannya. Oleh sebab itu, maka agama jangan menjadi komoditas dan bualan politik demi kepentingan sesaat. Sebab boleh jadi move agama seperti ini akan mengundang terjadinya konflik horizontal antar pendukung terbukti ketika pendukung Mega-Hasyim dibeberapa tempat melakukan aksi cap jempol darah sebagai reaksi dari fatwa tersebut. Maka kalau demikian realitasnya tidak tertutup kemungkinan akan menyeret agama dalam sebuah pembusukan sebagaimana politik hari ini yang masuk pada political decay (pembusukan politik).

Jadi pada prinsipnya agama, politik diharapkan mampu membangun konsolidasi demokrasi tanpa harus mencederai nilai-nilai tatanan yang telah ada. Apatah lagi harus mencederai prinsip-prinsip dasar dalam agama. Sehingga ulama juga tampil dengan representatif ke-Islamannya untuk meneruskan ajaran-ajaran kenabian, bukan lalu membuat move yang kemudian membingungkan ummat Islam. Sehingga jelas paradigma agama dalam politik dan begitu pula sebaliknya.

Dengan demikian melihat fenomena politik saat ini yang mempunyai kecendrungan lebih pada penguatan ideology politik kemudian mengabaikan kultur politik maka memungkinkan lahirnya pemasungan agama dalam Negara. Dan kalau ini terjadi maka secara otomatis agama sebagai piranti transformasi ummat akan mengalami kegagalan dalam melakukan sebuah perubahan sebab bagaimanapun juga agama mempunyai tugas untuk membangun kesadaran ummat yang bukan hanya pada sisi ritualnya, akan tetapi lebih daraipada itu bagaimana agama melakukan upaya-upaya membangun komitment ideology, politik, ekonomi, hokum dan budaya. Sehingga dengan demikian itu, kalau agama dilepaskan dari jeratan kekuasaan, maka sedikit banyaknya akan membuka peluang terjadinya proses demokratisasi menuju masyarakat yang madani, yaitu sebuah masyarakat terbuka, toleran, demokrasi dan bersahaja, sebagai perwujudan dari penegakan hokum-hukum Allah di muka bumi ini. Amien Yaa Robbal Alamien.

Penulis adalah Sekjen Bulan Sabit Merah Indonesia.

Analis politik Fisip UVRI  makassar, Direktur Eksekutif Lembaga Kaji Isu-Isu Strategis (LKIS) Dan Pengurus Pusat Gerakan Pemuda Islam Indonesia (GPII) dan Sekjen ReCOS.

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun