Langkah-langkah penerapan manajemen risiko di UK tersebut dapat dijadikan bahan referensi bagi pemerintah Indonesia. Pembangunan awareness terhadap budaya risiko merupakan hal penting yang harus dilaksanakan untuk mengurangi kemungkinan terjadinya ketidakefektifan dalam implementasi. Agar manajemen risiko tidak hanya berakhir sebagai sebuah dokumen formalitas yang diciptakan untuk pemenuhan permintaan regulasi ataupun shareholders.
Keberadaan Orange Book dan dokumen-dokumen pendukung lainnya tidak bertujuan untuk menghasilkan pendekatan one-size-fits-all untuk mengelola risiko, atau untuk memusatkan manajemen risiko di pemerintahan.
Karakteristik Umum Budaya Risiko
Dalam buku Risk Culture -- A Practical Guide to Building and Strengthening the Fabric of Risk Management dijelaskan bahwa untuk dapat menerapkan budaya risiko di dalam organisasi, perlu dipahami karakteristik umum yang melekat dengan budaya risiko.
Pertama, budaya risiko dapat menjadi suatu konsep yang samar-samar karena difokuskan pada gagasan penguatan perilaku dan kesadaran risiko, yang sulit untuk diukur dan dinilai.
Selain itu, dalam melakukan penilaian budaya risiko, akan condong kepada subjektivitas orang yang melakukan penilaian. Cara yang dapat dilakukan untuk membuat konsep yang samar-samar tersebut menjadi suatu hal yang berwujud adalah membumikan teori tersebut ke dalam praktek nyata. Artinya, harus diaplikasikan pada langkah atau aktivitas organisasi termasuk dalam keputusan-keputusannya.
Kedua, budaya risiko bersifat kualitatif. Karakteristik ini yang sering menyebabkan beberapa pihak merasa tidak nyaman dengan konsep budaya risiko. Sifat kualitatif tersebut disebabkan oleh budaya risiko berfokus pada perilaku organisasi dan anggota di dalamnya, yang sulit atau hampir mustahil dikuantitatifkan.
Ketiga, budaya risiko tidak dapat diterapkan dengan pendekatan box-checking exercise. Artinya, di lingkungan yang dipenuhi dengan berbagai regulasi, peraturan, dan pengawasan, organisasi mungkin tergoda untuk melakukan pendekatan budaya risiko dalam bentuk sebuah daftar hal-hal yang harus dilakukan oleh organisasi.
Dengan demikian, organisasi mungkin mempertimbangkan budaya risiko sebagai pekerjaan rutin yang memerlukan formulasi proses dalam bentuk checklists. Jika pendekatan tentang budaya risiko dilakukan dengan pendekatan "must-do" list, maka kemungkinan besar hasil yang diperoleh atas penerapan budaya risiko akan cenderung artifisial dan tidak efektif.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H