Backdrop selfi cukup unik. Kotak tivi dan motor vespa jadi favorit.
Di puncak itu, juga ada gasebo, toilet bersih dan kebun tomat. Pemilikmya, juga menyewakan untuk berkemah.
Sewanya, Rp. 5000 peron untuk pengunjung biasa. Mau berkemah, bayar Rp. 10.000 peron.
Tomat dijajakan sangat murah. Setidaknya, saat saya berkunjung. Sekantong besar hanya Rp. 15.000. Bu Istri membelinya. Mungkin untuk penguat imun kami. Karena kebanyakan, tetangga kompleks akan kebagian.
Yah, rasanya tepat kami curi waktu ke tempat itu. Suasananya tidak ramai. Hanya belasan muda-mudi yang cekikian sambil berfoto kami temui.
Info pemilik, para muda itu, semalam berkemah. Asyik pastinya, sebab lampu di kota akan nampak berkelap-kelip di puncak ruang bernapas itu.
Walau pemilik adalah warga setempat. Pilihannya mencipta nama "ruang bernafas" untuk lokasi wisatanya, keren. Keren bagi kami yang disiplin bermasker.
Masker membuat 30% ruang bernapas saya memang hilang. Jika dikalikan dengan banyak bulan lagi pandemi ini berakhir, maka ruang napas saya semakin sempit.
Akhirul kisah, dari Bantaeng, di bagian Selatan Sulsel ini saya mengabarkan. Bahwa, ruang bernafas bagi kita penting di masa sulit ini. Di Bantaeng, ruang bernafas itu nyata.
Temukanlah ruang bahagia itu, disaat sulitnya kita menemukan tempat yang terbebas dari ancaman.Â