Berlari menyusuri jalan setapak yang sempit memberi kesan tersendiri bagi saya bahwa sebenarnya kebanyakan dari kita memilih dan terpaksa hidup menumpuk ke pinggir dengan maksud seolah memberi ruang yang lapang bagi kota untuk terus bertumbuh dan bersolek.
Saya tidak sedang membahas keadilan, tetapi mencoba meresapi apa yang terpikirkan dibenak warga Lembang Lembang Bisampole untuk memilih hidup saling berdempet di tepian sungai Calendu. Sungai ini membelah kota Bantaeng menuju lautan yang dulunya menjadi pusat peradaban Bantaeng awal.
“Berdarah laut berjiwa matahari”, demikian penggalan bait lagu Bahruddin Dion, seorang penggiat seni yang lahir dan bertumbuh di pemukiman para leluhurnya yang padat di Lembang Lembang ini. Petikan lagu yang pernah Ia tampilkan di "teater Sketsa Negeri Jangan Menangis" beberapa tahun silam di Makassar ini, rasanya tepat untuk menggambarkan dirinya, termasuk lingkungan tempat Ia dan kerabatnya bermukim.
Memilih untuk hidup dan bermukim dilingkungan para kerabat walau semakin lama semakin sempit sesungguhnya budaya orang Indonesia umumnya yang selalu ingin dekat dengan kerabat mereka. Masih lebih baik hujan batu di negeri sendiri daripada harus pergi mencari hujan emas di negeri orang.
Lorong-lorong sempit itu tidak cukup untuk dilalui kendaraan roda empat, kami penggiat Komunitas Bantaeng Berlari menyusurinya berbanjar agar tak mengganggu warga yang sementara memanfaatkan sore mereka beraktifitas. Walau sempit dan padat, lorong-lorong yang berjejak sejarah masa lalu Bantaeng itu tetap terlihat asri. Senyum warga dan keceriaan anak-anak yang kami temui menjadikan ramah suasana.
Menjadi istimewa sebab Kare’ Bisampole menurut sejarah adalah perwakilan ke tujuh pimpinan wilayah itu untuk bernegoisasi dengan To Manurungge Ri Onto agar mau diangkat menjadi raja mereka semua. To Manurung menurut mitos kerajaan-keraja di jazirah Sulawesi adalah sosok agung yang dipercaya "turun" dari langit untuk membawa kemaslahatan, miriplah dengan legenda ratu adil pembawa kedamaian bagi umat.
"Saya mau diangkat menjadi raja pemimpin kalian tapi saya ibarat angin dan kalian adalah ibarat daun, saya air yang mengalir dan kalian adalah kayu yang hanyut",” kata Tomanurung ketika diminta untuk menjadi raja mereka.
Ketujuh Kare yang diwakili oleh Kare Bisampole pun menyahut; “Kutarimai Pakpalanu tapi kualleko pammajiki tangkualleko pakkodii, Kualleko tambara tangkualleko racung.” (Saya terima permintaanmu tapi kau hanya kuangkat jadi raja untuk mendatangkan kebaikan dan bukan untuk keburukan, juga engkau kuangkat jadi raja untuk jadi obat dan bukannya racun).
Seperti pun ketika itu kami menyusuri lorong-lorong yang telah berbeton dan terlihat bersih ini, kami bertemu dengan pematik peradaban baru, cahaya kebaikan dan obat bagi ilmu pengetahuan, yakni hadirnya Teras Baca Lembang Lembang di “perkampungan” padat, sempit tetapi terasa sejuk dan ramah. Kebaikan tanpa pamrih kembali terasa, Teras Baca ini menjadi obat bagi budaya literasi yang sementara mereka bangun.
Teras Baca (TB) Lembang Lembang adalah prakarsa seorang anak muda yang kami akrab memanggilnya Dion. Selain penggiat seni seperti yang saya sebutkan di awal, sosok muda ini juga penggiat literasi. Dion kemudian mengambil langkah nyata membangkitkan budaya baca di lingkungannya dengan langkah kecil tetapi sesungguhnya akan menjadi cahaya peradaban seperti dulu para leluhurnya memulai.
Teras baca itu tidaklah terlalu luas di pemukiman yang padat, tetapi menjadi lapang bagi hadirnya budaya membaca bagi anak-anak yang sepertinya mulai malas membaca dengan hadirnya berjuta game di gadget mereka. TB lembang Lembang juga sesekali waktu di selah aktifitas membaca, Dion dan komunitasnya kembali membangkitkan permainan tradisional bagi anak-anak. keahliannya bermusik, juga Ia tularkan kemereka.
Buku-buku yang ada di teras baca kebanyakan adalah sumbangan dari mereka yang peduli, terutama dari Bpk. Sulham Yusuf, pendiri Boetta Ilmu yang saya anggap pendorong bangkitnya budaya literasi di Bantaeng. Termasuk saat kami berkunjung sejenak ke tempat itu, Teras baca yang selalu ramai dari anak-anak itu lagi direhabilitasi dengan membuat teras yang dulunya berlantai tanah itu menjadi layak dan nyaman bagi anak-anak. Biaya pembangunan juga datang dari berbagai kalangan yang peduli. Koleksi buku TB Lembanglembang tentu masih perlu diperkaya dengan fokus bacaan untuk anak-anak, Wakaf buku dari yang peduli tentu sangat dibutuhkan oleh mereka.
Meresapi ide, kreatifitas dan kepedulian seorang Dion dan teras bacanya, saya merasa perlu untuk menukil pesan, KH. Mohammad Ahmad Sahal Mahfudh, “Menjadi baik itu mudah, dengan diam saja akan terlihat baik, tetapi yang sulit adalah menjadi bermanfaat karena itu butuh perjuangan”kata Mantan Ketua Majelis Ulama Indonesia ini.
Dion tetap menganggap dirinya orang yang biasa-biasa saja, seperti filosofi hidupnya yang Ia pernah ceritakan, “seperti air, kami berkreasi ibarat air yang mengalir” Yah, air karena sifatnya memang selalu menuju ke tempat terendah, meresap menjadi penyegar bagi tanah, mencipta kesejukan bagi sekitarnya. Dion, kamu luar biasa!
Khusus untuk kisah lain terkait Bung Dion, saya pernah menulisnya di Kompasiana seperti bisa dibaca di SINI