Mohon tunggu...
Andi Harianto
Andi Harianto Mohon Tunggu... Freelancer - Kesederhanaan adalah kekuatan

Tinggal di Kota Kecil Bantaeng, 120 Kilometer, arah Selatan Kota Makassar.

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Artikel Utama

Pantai Bira Tak Secantik Dulu Lagi

16 Januari 2012   05:51 Diperbarui: 25 Juni 2015   20:50 1068
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pantai berpasir putih itu sudah tak cantik lagi, walau jernih airnya tetap sejukkan hati siapa pun yang memandangnya. Deburan ombak bulan Januari, nampak bergeliat garang, pertanda saat asyik bermain perahu pisang (banana boat) ataupun berselancar air.

[caption id="attachment_155894" align="aligncenter" width="640" caption="Hotel Berbentuk Perahu Phinisi, di salah satu sudut Pantai Bira"][/caption] Diakhir pekan itu, libur kecil keluarga kami. Menjadikan Pantai Bira yang terletak di Kabupaten Bulukumba sebagai pilihan, sebab jarak dari kota kami di Bantaeng cukup dekat. Bantaeng – Bira, cukup ditempuh tak lebih dari dua jam perjalanan

Bira, adalah salah satu andalan pariwisata Sulsel karena keunikan pasirnya yang berwarna putih. Keindahan panorama bawah lautnya juga berhiaskan aneka ragam terumbu karang dengan ikan berbagai species menjadi tempat asyik untuk diving dan snorkling.

Bira beberapa tahun lalu, sungguh kontras saat ini. Pantai berpasir putih itu kini dipenuhi bangunan bambu beratap nipa. Di beberapa sudut pantai, pula terlihat bangunan bertenda yang kurang sedap dipandang mata. Begitu cepatkah Bira berubah? Sementara baru dua tahun lalu saya menikmati hamparan pantainya yang bebas bangunan kumuh dan tumpukan sampah.

[caption id="attachment_155897" align="alignright" width="354" caption="tumpukan sampah dan bangunan kumuh, potret Bira kini."]

13266913741839162123
13266913741839162123
[/caption] Pasir putih yang harusnya menjadi ruang publik untuk bersantai dan bermain kini semakin sempit, karena bangunan liar yang tumbuh tak terawasi. Sampah yang berserak karena hempasan ombak, pula seolah mengambil tempat agar pengunjung tak bebas bergerak.

Bira sepertinya tak lagi dipeduli, dibiarkan begitu saja sementara hutan-hutan dan tepian karang telah ditempati para borjuis membangun lapak penginapan, bar ataupun hotel berbintang. Seolah bangunan berkelas wisata itu berlomba dengan bangunan kumuh penduduk asli untuk sekadar bertaruh untung berebut pelanggan.

Dulu ada microfon pengingat dari sebuah menara untuk mewanti-wanti pengunjung agar tak terlalu jauh berenang, saat saya dan keluarga berkunjung ke sana, suara-suara pengingat itu sudah tak ada lagi. Saya juga tak menemukan para petugas pantai yang berpatroli dengan pakain seragamnya. Jadilah saya menjadi satpam bagi anak-anak yang sementara asyik bermain pasir dan berendam tanpa peduli dengan kekumuhan yang membuat saya bersungut kepiting.

Akh, saya tak terlalu inginterus menggurutu dengan berbagai pemandangan kurang sedap itu. Daripada terus mengeluhkan perhatian kurang dari pengelola Pantai Bira, lebih baik saya mencari keindahan pantai lainnya yang belum diobrak-abrik para pemilik modal dan penduduk asli yang pula ingin mencari tempat berdagang di balik eksotiknya lokasi wisata yang berjarak 200 kilometer dari Makassar itu.

Film Jangan Rengut Cintaku dan Badik Titipan Ayah yang disutradarai Dedi Miswar pernah menjadikan Bira sebagai lokasi syuting. Sekilas saya mengingat adegan silat di tepian pantai, di bawah tebing-tebing karang. Saya kepincut untuk ke sana yang lokasinya agak jauh di sisi utara. Ketika itu pagi, air masih surut. Sambil berjalan, saya memunguti karang-karang merah, putih, hijau dan biru yang terhempas ombak. Lumayan, untuk mempercantik aquarium dan kolam kecil saya.

[caption id="attachment_155900" align="aligncenter" width="640" caption="beberapa pengunjung, asyik berendam"]

13266925011509121837
13266925011509121837
[/caption] Wouw, selain muda-mudi yang lagi bermesraan di bawah karang yang menjorok ke dalam saya juga menyaksikan betapa indah pasir putih dan jernihnya air di lokasi itu. Paduan tebing, pepohonan, perdu yang merambat, birunya laut dan langit yang nampak mendung kala itu menambah romantic suasana. Karena jaraknya agak jauh dan hempasan ombaknya agak keras, pengunjung tak menempati area itu sebagai lokasi berendam. Beberapa turis memanfaatkannya berjemur dan bermain timbun pasir.

Merasa risih dengan beberapa badan setengah telan***ng yang dijemur, serta aksi sedikit mes**m beberapa pasangan muda, membuat saya segera balik ke anak-anak yang masih tak peduli dengan semakin panasnya matahari. Setumpuk karang merah yang katanya hanya pada bulan Januari muncul ke pantai sudah saya dapatkan. Kalau anda melihat aktifitas saya saat itu, saya mirip seorang pemulung yang memunguti karang diantara banyaknya sampah yang ikut terhempas ombak.

Saatnya makan, bekal seadanya kami buka dan mulailah acara bersantap dilangsungkan di bawah atap nipa milik pedagang penduduk sekitar. Matahari semakin menyengat, anak-anak saya arahkan untuk membasuh diri dengan air tawar yang dijual di tempat itu. Sewa lapaknya sendiri seharga dua puluh ribuan.

[caption id="attachment_155901" align="aligncenter" width="640" caption="Saat pulang, memotret Bira di puncak"]

13266929301952912358
13266929301952912358
[/caption] Saya sendiri tak berminat untuk mandi air laut, tidak seperti sebelum-sebelumnya mandi seolah sebuah kewajiban ketika bekunjung ke Bira. Anda tahu, dari rumah, saya juga tak mandi. Jadilah keringat dan butiran pasir yang menempel di badan, saya bawah pulang hingga ke kamar mandi rumah saya.

Usai dhuhur, kami balik.Janji liburan anak-anak telah saya tunaikan. Bebatuan karang untuk media tanaman bonsai dan hiasan kolam serta pasir putih ikut saya angkut. Tersisahlah kini sedikit kegeraman betapa pemerintah setempat telah menjadikan obyek wisata itu tak secantik dulu lagi. Semoga Bupati baru yang terpilih tahun lalu hanya belum berkesempatan untuk membenahi tempat yang sesungguhnya paling indah di Sulsel itu.

Bantaeng, 16 Januari 2011

Catatan kecil saat berkunjung ke Pantai Bira di akhir pecan. Kala itu masih lekat momentum tahun baru - Minggu 8 Januari 2011.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun