Mohon tunggu...
Andi Harianto
Andi Harianto Mohon Tunggu... Freelancer - Kesederhanaan adalah kekuatan

Tinggal di Kota Kecil Bantaeng, 120 Kilometer, arah Selatan Kota Makassar.

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Kerumitan Pemilu dan Pohon yang Tersakiti

20 Oktober 2011   05:10 Diperbarui: 26 Juni 2015   00:44 180
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hanya 15 menit waktu untuk istirahat pagi dan sore, rehat santap siang disiapkan hanya sejam. Sibuk dan singkat. Tak masalah, sistem pelatihan yang baru minggu lalu saya ikuti itu tetap membuat kami disiplin tanpa dipaksa. Kami tetap ceriah menjalani sesi training yang berlangsung cukup lama itu. Lima hari bukanlah waktu yang sebentar, setidaknya membuat para suami rindu untuk segera pulang ke dekapan ibu pertiwi.

[caption id="attachment_136765" align="aligncenter" width="640" caption="Saat sesi foto bareng Bridge Module Training"][/caption] Bridge Modul Training nama pelatihannya, semacam pelatihan penguatan kapasitas pekerja Pemilu seperti diriku. Kegiatan itu buah kerjasama KPU Indonesia dan Austaralian Ellectoral Commission (KPU Australia). Beruntunglah saya yang hanya seorang pekerja Pemilu dari kabupaten kecil di Sulsel ini menjadi salah satu dari 25 orang peserta yang cerdas dan bersahabat itu. Hotel Bumi Asih Makassar, yang makanannya sempat membuat mayoritas peserta terserang gangguan lambung di hari ke tiga, dijadikan tempat pelatihan. Anda tahu, beberapa peserta sampai berkali-kali menginjak kloset demi mengeluarkan sesuatu yang teramat lancar dan encer. Profesionalisme panitia sungguh luar biasa. Mereka memprotes manajemen hotel serta mendatangkan dokter demi mengecek sesuatu  yang mengganggu perut kami. “Kalau Anda ingin diperlakukan profesional, maka perlakukanlah orang dengan profesional” demikian pernyataan Patrick Satie, master  trainer dari Australia saat memaparkan materinya dihari pertama. Mereka para fasilitator yang baik itu membuktikan profesionalismenya selama empat hari pelatihan inti (10 sd 13/10/2011). [caption id="attachment_136766" align="alignleft" width="369" caption="Tak mengapa, sekali-kali bertingkah konyol"][/caption] Konsistensi waktu dan aturan pelatihan yang disusun sendiri oleh peserta hampir dipenuhi dengan sempurna. Karena materinya padat, fasilitator pintar  mengisi kepenatan dengan lelucon. Peserta juga banyak bertingkah banyol dan usil. Seorang peserta sempat "menipu" kawan peserta lainnya dengan menawari permen karet yang ternyata adalah lem kertas. Lem itu berbentuk batangan, mirip permen karet kunyah. Dalam aturan, kami diminta untuk menghargai sesama peserta, tetapi dengan insiden itu kami tak bisa menahan gelak tawa mengejek kawan kami yang ketiban sial. Bukan apa-apa, permen lem karet itu sempat digigitnya dan kami melihat mukanya tiba-tiba berubah masam karena merasakan sesuatu yang aneh. Aha, Bridge Training adalah metode yang menjadikan hari-hari kami tak membosankan. Metode trainingnya begitu interaktif, memancing kreatifitas, rasa humor dan mendorong kesetaraan berpendapat. Metodenya sih mirip anak TK karena kami banyak diarahkan berkelompok, bermain dan menempel kertas warna-warni. Bayangkan saja, saya yang berjenggot seksi ini bermain seperti bocah culung. Sejak hari pertama, saya kepincut dengan logo AEC yang tercetak di banner acara. Di sana, terlihat lambang KPU Australia berdampingan dengan logo KPU Indonesia. Salah satu materi yang saya dapatkan adalah standar Pemilu yang harusnya SEDERHANA. Gambaran logo KPU Australia mewakili kesederhanaan Pemilu Australia yang memakai system prefensial vote, sementara logo penyelenggara Pemilu kita terkesan kaku, tegang dan rada rumit. [caption id="attachment_136764" align="alignright" width="397" caption="www.aec.gov.au"][/caption] Perhatikan saja, garis peta Australia yang mirip sketsa kanguru itu terletak serasi dengan tulisan AEC yang berwarna ungu. Pulau Tasmania yang berbentu titik segitiga terbalik juga cukup selaras dengan keseluruhan logo. kesederhanaannya, tetap tak melepaskan keindahan keseluruhannya. Bandingkan dengan logo KPU RI yang sepertinya dirancang orang serius bermuka tegang. Saya tak bermaksud mengejek negara sendiri dan melebihkan negara Australia yang Pemilunya menghukum pemilih yang tak memilih. Memilih di sana bukan hak tetapi kewajiban. Jumlah pemilihnya juga jauh lebih sedikit dari RI, hanya berkisar 60 juta, tentu Pemilu mereka lebih mudah dikontrol. Terlepas dari latar belakang negara yang berbeda, saya hanya merasa bahwa Indonesia belum memenuhi standar Pemilu yang harusnya sederhana. Anda mau tahu? Pemilu yang baru lalu itu hampir saja membunuhku. Begitu rumit. Seolah kami sebagai penyelenggara tak memiliki waktu sedikit pun berleha-leha, sementara sangat banyak waktu untuk mengkritik kami. Tak jadi soal sih KPU dikritik, karena memang KPU adalah pelayan para calon politisi yang tentu jago kritik, juga (mungkin) hebat berkelit dan menyalahkan orang. Memang siapakah pembuat Undang-Undang Pemilu yang rumit itu? Siapakah yang egois hingga tak mau bersatu hanya dalam beberapa Parpol saja. Siapa? Tanya kenapa? [caption id="attachment_136767" align="aligncenter" width="640" caption="kumbang nyelib di antara para kembang "][/caption] Diskusi ini sempat mengemuka saat kami kongkow-kongkow di tangga hotel. Kala itu kami menikmati kopi rehat sore sambil mengepulkan asap rokok untuk mengotori paru-paru kami. Seorang kawan, komisioner dari Kota Pare-Pare memberi saya perspektif baru, bahwa Pemilu bukan saja rumit, tetapi juga merusak lingkungan. Saking merusaknya, banyak pohon ditebang perhelatan politik lima tahunan itu. Hadduh! saya mulai tersadar, ternyata dalam empat rim kertas, para penjagal hutan harus menebang satu pohon. Saya sendiri tak bisa menghitung banyaknya rim kertas yang kami habiskan untuk kebutuhan administrasi semisal formulir berangkap-rangkap yang harus dibagikan kepada peserta Pemilu. Tak hanya itu, 34 Partai dan banyaknya Calon Legislatif juga semakin melebarkan kertas suara. Kertas untuk printout daftar pemilih, segalah regulasi bahkan kwitansi-kwitansi, juga tak terhitung banyaknya. Jikalau wilayah kerja saya saja yang hanya berjumlah delapan kecamatan dengan 128.105 pemilih banyak menghabiskan kertas, bagaimana dengan kabupaten lain di pulau Jawa, hitung sendiri. Sangat mungkin 30 juta hektare hutan kita yang kini rusak disebabkan salah satunya karena Indonesia memiliki sistem Pemilu yang demikian rumit dan menghabiskan banyak kertas. [caption id="attachment_136772" align="alignleft" width="300" caption="plastik air kemasan kampanye"][/caption] Tak hanya kertas yang menyebabkan lingkungan menjadi rusak, tetapi pula plastik dari air kemasan yang digunakan saat kampanye. Baliho, sticker, banner dan segala macam peraga, banyak menyumbang plastic untuk kerusakan ozon dan air tanah. Tinta untuk mencelupkan telunjuk saat usai mencontreng adalah bahan kimia yang tak ramah lingkungan. Solusinya? sederhanakanlah Pemilu kita. Selayaknya perancang regulasi di senayan sana mempertimbangkan Pemilu yang ramah lingkungan. Mereka, para yang mulia itu juga perlu menyayangi pohon dengan tidak menancapkan paku untuk menempel gambar cakep mereka di pohon-pohon pinggir jalan. Bukan hanya menyakiti pohon, tetapi pula mengganggu estetika kota. Bridge Training sungguh merubah persepsi kami, salah satunya bagaimana mencipta Pemilu sederhana ramah lingkungan. The Power Of Cimplicity, demikian kata Jack Trout salah seorang penulis hebat yang pernah say a baca bukunya. Kesederhanaan adalah kekuatan, kerumitan pastilah berpotensi kisruh. Pemilu kembali akan digelar tahun 2014 nanti, semoga egoisme kepentingan tak lagi menghasilkan banyak partai dan caleg. Semoga pula KTP Elektronik yang kasus korupsinya kini digelar dipengadilan, menjadi solusi terhindarnya data pemilih dari kekisruhan. Sepenggal  Gosip dari  Bridge Module Training Makassar Berdiskusi dan Bermain Tempel Kertas; Mirip anak TK

Bantaeng, 17 Oktober 2011

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun