Mohon tunggu...
Andi Harianto
Andi Harianto Mohon Tunggu... Freelancer - Kesederhanaan adalah kekuatan

Tinggal di Kota Kecil Bantaeng, 120 Kilometer, arah Selatan Kota Makassar.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Jejak Tiga Kekaisaran Cina Penanda Kelahiran Butta Toa

5 Februari 2011   04:44 Diperbarui: 26 Juni 2015   08:53 3544
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tiga Dinasty kekaisaran China telah menjadi penanda sejarah lahirnya Bantaeng. Kabupaten yang berada 120 KM dari Makassar ini, menetapkan hari lahirnya pada tanggal 7 Bulan 12 Tahun 1254. Tahun dimana Wayne A. Bougas, seorang arkeolog Amerika membuktikannya dengan temuan keramik yang berasal dari dinasti Sung yang berkuasa di daratan Cina tahun 960-1279. Selain Dinasti Sung, juga ditemukan keramik yang berasal dari Dinasti Yuan (1279-1368)

[caption id="attachment_88661" align="aligncenter" width="576" caption="Lokasi Wisata Sejarah Gua Batu Ejayya, tempat ditemukannya berbagai artefak sejarah"][/caption]

Adapun dinasti Ming, menandai kehadirannya dengan sebuah guci yang di dalamnya terdapat bongkahan emas murni. Guci itu, kini masih terlihat di kubah Masjid Tua Tompong yang dibangun 1887 oleh Raja Bantaeng, Karaeng Panawang. Guci dari dinasti Ming yang telah mengukuhkan penyatuan Cina itu, dibawa oleh para pedagang Cina. Pedagang Cina di Bantaeng, telah bermukim pertama kali di sebuah kampung yang bernama Lembang Cina.

Selain keterkaitan dengan Cina ini, Bantaeng juga tercatat dalam ekspedisi Mahapatih Gaja Mada. Tahun 1254 dalam atlas sejarah Dr. Muhammad Yamin, telah dinyatakan wilayah Bantaeng sudah ada, ketika kerajaan Singosari dibawah pemerintahan Raja Kertanegara memperluas wilayahnya ke daerah timur Nusantara untuk menjalin hubungan niaga pada tahun 1254-1292. Bantaeng tercatat dalam kitab negarakertagama dengan sebutan “buttayya ri bantayan”.

Bantaeng dulu, memang adalah pelabuhan tempat singgahnya kapal-kapal niaga. Penentuan autentik Peta Singosari ini jelas membuktikan Bantaeng sudah ada dan eksis ketika itu. Bahkan menurut Prof. Nurudin Syahadat, Bantaeng sudah ada sejak tahun 500 masehi, karena itu dijuluki Butta Toa atau Tanah Tua (Tanah bersejarah).

[caption id="attachment_88662" align="alignleft" width="374" caption="Kompleks Pekuburan Cina di Jalan Poros Bantaeng-Bulukumba"]

1296880358886828025
1296880358886828025
[/caption]

Temuan artefak sejarah dari Dinasti Sung, Yuan dan Ming, adalah jejak kehadiran bangsa Cina di Bantaeng sejak abad ke 12 hingga kini. Empat abad setelahnya, yakni pada abad ke 16, Bangsa China baru tiba di Makassar.

Bantaeng yang juga disebut Bantayang oleh Majapahit dan Bonthain oleh Belanda, di awal mula kerajaannya pada tahun 1254, dipimpin oleh mula tau yang digelar To Toa, kemudian digantikan oleh Raja Massaniaga.

Raja yang memerintah tahun 1293 ini memiliki seorang putri yang bisa jadi sebagai pemula pertalian kekerabatan dengan kekaisaran China. Apa betul?

Versi lain dari sejarah mengatakan bahwa yang menikahi Dala, putri Raja Massaniaga adalah seorang pangeran dari Cina (Salam 1997: 24). Pernikahan ini dikaruniai kelahiran anak yang selanjutnya menjadi cikal bakal raja-raja Bantaeng, diperingati setiap pada 10 Sya'ban di tiap tahunnya dan disebut upacara Pa'jukukang.

Versi lainnya, adalah keterkaitan Bantaeng dengan Sawerigading, salah satu tokoh utama dalam epos terpanjang di dunia, La Galigo. Pangeran kerajaan Luwu ini, mengunjungi Bantaeng dan berlabuh di Nipa-Nipa, pantai Pa'jukukang, yang saat ini berada di jalan poros Bantaeng-Bulukumba.

Dikisahkan, bahwa pada hari keempat kedatangannya, Sawerigading kemudian naik menuju Gantarang Keke, sebuah perbukitan di Kecamatan Gantarang Keke saat ini. Di sini, Sawerigading menikahi Dala, putri Bantaeng.

Saweregading sebagai leluhur suku Bugis, sebagaimana ditulis Cristian Pelras dalam ‘Manusia Bugis’, juga lekat dikisahkan perantauannya ke negeri Cina untuk meminang We Cudai yang dalam cerita itu sesungguhnya adalah saudara kandung dari Saweregading sendiri.

Jikalau ini benar adanya, maka keterhubungan silsilah antara kekaisaran Cina dan Raja-Raja Bantaeng, menarik untuk dikaji kembali. apakah pangeran yang dimaksud adalah putra kaisar China ataukah Pangeran Saweregading dari kerajaan Luwu, kerajaan tertua di Sulsel.

[caption id="attachment_88663" align="alignright" width="375" caption="Sedikit Potret Tentang Bantaeng"]

12968802351892900021
12968802351892900021
[/caption] Terlepas dari benar tidaknya sejarah ini, eksistensi etnis Tionghoa telah menandakan bahwa pembauran Cina dan etnis pribumi baik melalui berdagangan dan berkawinan sudah ada sejak dahulu. Kesenjangan sosial berkenaan dengan etnis ke tiga terbesar di Indonesia ini, telah berbuah kerusuhan di Makassar, yang saya saksikan sendiri dengan tatapan ngeri pada tahun 1997.  Walau demikian Bantaeng  dalam pengetahuan saya belum pernah terjadi kerusuhan berlatar etnis.

Di Bantaeng, terdapat pekuburan Cina, kampung cina dan pasar yang didominasi oleh etnis yang memang ahli dalam hal perniagaan ini. Etnis Tionghoa telah berperan sangat besar memajukan perekonomian Bantaeng.

Walau berbaur dengan penduduk lokal jarang terlihat, sesungguhnya etnis ini bahkan telah bertalian dengan warga asli melalui pernikahan. Bahasa dan dialek warga Tionghoa di Bantaeng juga sudah menyatu dengan bahasa Makassar.

Gong Xi Fa Chae…..

Bantaeng, 5 Februari 2011

[caption id="attachment_88664" align="aligncenter" width="369" caption="Istana Naga Sakti Klenteng Xian Ma; sehari menjelang Imlek di Makassar"]

1296880562833425552
1296880562833425552
[/caption]

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun