Ada yang berargumentasi bahwa musuh membaca adalah Internet. Para remaja bisa menghabiskan waktu berjam-jam di internet. Dan inilah mengurangi literasi, merusak kemampuan memfokuskan perhatian dan menghancurkan suatu kebudayaan milik bersama yang hanya bisa eksis lewat kegiatan membaca buku.
(Motoko Rich : "Literacy Debate: Online, R U Really Reading?" 2008)
[caption id="attachment_87202" align="aligncenter" width="600" caption="Nicole Bengiveno/The New York Times (sumber:http://www.nytimes.com/2008/07/27/books/27reading.html?_r=3&scp=1&sq=online%20really%20reading&st=cse)"][/caption] Ini tentang beberapa tahun lalu, tahun dimana internet belum booming, seperti saat sekarang ini. Sepanjang koridor jadi tempat  menggelar kajian dan diskusi berbagai tema. Sore sampai malam hari, kampus tetap bergeliat. Berbagai komunitas diskusi bermunculan. Mulai dari hal berbau 'kiri' sampai hal berkait budaya dan agama selalu menarik dibahas. Beberapa tahun kemudian, tepatnya dua tahun yang lalu, saya mengunjungi almamaterku, Universitas Hasanuddin. Koridor kampus tetap ramai, malah lebih ramai dari delapan tahun lalu. Jikalau dulu kami menenteng buku Pramoedya, Derrida, Karl Marx, Foucault atau Ali Syariati, dan serius menggelar diskusi 'alas koran', kini nampak beda. Mahasiswa kini, menenteng laptop berbagai merek, beberapa memainkan perangkat mobile berbasis android. Buku sudah jarang lagi terlihat, karena bahan bacaan sudah ter save di flashdisk, google document, blog atau Gmail. Mahasiswa nampak ramai, nongkrong di koridor kampus, membuat jarak agar tak saling mengganggu, sibuk sendiri bercengkrama dengan monitor mininya. Beberapa diantaranya, senyum-senyum sendiri. Free hospot, kini tak hanya ada di kampus, tetapi juga di warung kopi yang banyak tersebar di Makassar. Warung Kopi Phoenam, Daeng Sija dan Kopizone, dulu adalah tempat favorit kami menggelar diskusi. Live dari stasiun radio lokal seperti mercurius, smart FM, Suara Celebes, atau stasiun lainnya, membuat diskusi kala itu bertambah seru. Kini tak lagi.
Betulkah budaya membaca buku dan kajian literasi sudah tergerus semenjak ramainya website di internet, yang menyajikan beragam informasi? Saya ingin meriset diri sendiri.
Jujur, buku yang terkoleksi olehku, sepertinya tidak banyak bertambah. Walau saya tahu bahwa informasi yang saya butuhkan ada di buku, tetapi saya lebih senang bertanya ke paman Google, tante Wiki ataupun website penyedia lainnya. Mudah dan instan.
Di buku, ada banyak detil yang tidak betul-betul perlu, sedangkan media online bisa kita fokuskan untuk memberikan apa yang kita perlukan, tidak lebih dan tidak kurang. Budaya menulis dengan menyebut sumber lengkap  nama serta judul bukunya, sepertinya menjadi tak menarik dan terkesan kaku. Ramailah postingan-postingan tulisan di blog maupun media sosial semisal kompasiana.com, hanya dengan mencantumkan link dengan tulisan tertanda biru, bergaris bawah. Klik saja, Anda akan ke sumber tulisan, tak perlu harus ke toko buku atau perpustakaan membuka lembaran-lembarannya. Lantas, apakah ini negatif?, Mantan CEO Google Eric Schmidt yang kini jadi Executive Chairman, perusahaan internet terbesar itu,  salah satu orang yang juga mengkhawatirkannya. Hal tersebut dia ungkapkan dalam World Economic Forum di Davos, Swiss dua tahun lalu. "Di saat seluruh dunia bisa dilihat dari perangkat instan seperti itu, Anda menghabiskan waktu lebih sedikit untuk membaca segala bentuk literatur, buku, majalah, dan sejenisnya," ujarnya, Jumat (29/1/2010) seperti dilansir AFP, yang saya kutip di tekno.compas.com. [caption id="attachment_163786" align="alignright" width="300" caption="Buku, Inspirasi"]
Bantaeng, 26 Januari 2011
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H