Mohon tunggu...
Andi Harianto
Andi Harianto Mohon Tunggu... Freelancer - Kesederhanaan adalah kekuatan

Tinggal di Kota Kecil Bantaeng, 120 Kilometer, arah Selatan Kota Makassar.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Tokoh Besar di Balik Kalender Masehi dan Hijriyah

25 Desember 2010   16:47 Diperbarui: 26 Juni 2015   10:24 6227
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi/Admin (http://blogcasa.wordpress.com/)

Memperdebatkan, tentang acuan penanggalan berdasarkan peredaran benda langit tak ada habisnya. Bagi saya, itu tidak lebih sebagai kajian keilmuan astronomi. Tentang, apakah penanggalan itu berhubungan dengan agama, itu betul. Tetapi tidak harus diperdebatkan. Bagi saya, penanggalan Masehi ataupun Hijriyah, tidak terkait dengan keyakinan ritual agama. Sebagai penanda, dari rangkaian sejarah yang begitu panjang. Penanggalan telah melalui pergulatan empirik dan logika keilmuan astronomi. Sejarah dan ilmu dari pendahulu kita, ribuan tahun silam itu patut dihormati.

Sebagai Muslim, saya hanya meyakini firman Allah Subhana Wata'ala:, pada surah At Taubah ayat 36 yang telah mengabsahkan system penanggalan sebelumnya “Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah ialah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram………….”

Penanggalan Masehi dan Hijriyah, walau berbeda acuan tetap jumlahnya 12 Bulan. Demikian halnya dengan Bulan Saka yang dirayakan Umat Hindu, dan juga penanggalan Imlek bagi etnis Tionghoa, semuanya berjumlah 12 Bulan. Peredaran bulan dan matahari adalah ketetapan, hukum alam. Sunnatullah. Perbedaan seharusnya lebih terletak pada bagaimana cara kita memaknainya, bu.kan mengaitkannya dengan keyakinan tertentu.

Keluarga saya di kampung selalu merayakan tahun baru Hijriyah, 1 Muharram dengan berbagai ritual, tetapi tetap tak seheboh perebutan telur di acara Maulid. Adapun, tahun baru Masehi, kami tak memiliki tradisi itu. Almarhum Ayah saya yang PNS, hanya memaknainya dengan harapan, bahwa mungkin gaji bakalan naik. Kini tahun baru Masehi, saya mau memaknainya dengan bermuhasabah, instrospeksi diri, dan merancang bagunan harapan tahun depan. Semoga lebih baik.

Adapun gebyar tahun baru di luar rumah nantinya, cukup saya nikmati lewat layar tivi. Atau mungkin bakar-bakar jagung dengan tetangga kompleks. Khawatir saja, biasanya tahun baru di kotaku, dimana sekarang saya bermukim, akrab dengan balapan liar, pentas musik, dan pesta anak muda semalam suntuk. Dengar-dengar, biasanya pesta itu ditemani minuman keras. Tiap pergantian tahun baru, istriku yang bekerja di Rumah Sakit, kebanjiran pasien kecelakaan.

Selamat hari Natal dan Tahun Baru, buat saudara sebangsaku yang merayakan. Damai di hati damai di Bumi

Bantaeng, 25 Desember 2010

Sumber tulisan ini, banyak dikutip dari situs INI, INI, INI, INI, dan Juga INI

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun