Upil bagi lolip ponakanku, mungkin sesuatu yang istimewa. Mungkin penemuan baru tak terduga baginya. Eurekha! Usil saja, lelaki kecil berumur 3 tahun itu, mengorek ingus kering hidungnya dalam-dalam, kemudian memperlihatkan ujung telunjuknya ke Tira putriku. Kelihatan bergidik jijik, Tira menghindar injit. Mulutnya mendesis jijik dan matanya melotot lucu, mirip mata ikan gembul. Ikh.
Tak acuh, Lolip terus saja menyodorkan telunjuk memburunya. Terjadilah kehebohan kecil di rumah Pak Haji Nuntung. Kami sekeluarga kecil yang ikut bertamu pagi itu, ikut terpingkal. Adegan lucu dua bocah bersepupu itu, memberi kesan tak terlupa bagi kami. Untung saja, sebelum prosesi unjuk upil itu, hidangan barobbo yang pedisnya sekejam “cabai ibu tiri,” barusan saja kami lahap. Barobbo, adalah semacam bubur jagung, penganan khas Bugis-Makassar.
[caption id="attachment_81118" align="aligncenter" width="583" caption="Hadiah Upil dari Lolip untuk Tira "][/caption] Setahu saya, Barobbo belum pernah saya temukan di warung-warung. Makanan berbahan jagung, irisan daging ayam, sayur sawi atau kangkung ini adalah makanan musiman. Hanya nikmat, saat dihidangkan panas apalagi hujan-hujan. Aroma gorengan bawang, merica serta daun sup ini, telah membawa ingatanku jauh ke masa jadul SMA. Teringat, tiap musim jagung, kami sekelas berombongan berkunjung dari rumah ke rumah teman perempuan kami, menyantap hidangan keakraban ini. Karena Barobbo, cinta monyet semasa SMA pun bersemi.
Ritual barobbo akan makin seru, jikalau perlombaan makan diantara kami sesama cowok, digelar. Jumlah banyaknya piring yang diludeskan, adalah hitungan kemenangan. Kalau hanya sekadar menghabiskan barobbo tentu enteng, empat piringpun bisa saya habiskan. Masalahnya, tiap berpindah ke piring selanjutnya, maka kadar cabai pun harus di tambah. Jadilah Barobbo dikenal kepedasannya, setara dengan kejamnya ibu tiri. Sekadar info, saya memiliki dua Ibu. Dua-duanya penyayang. Tetapi bukanlah alasan bagi Anda hidung belang untuk berpoligami. He,
Tentang siapa yang memadankan kepedisan dengan ibu tiri, saya tidak tahu. Namun yang pasti, saya selalu kalah dalam perlombaan ini. semakin pedas cabai barobbo, ingus saya pun semakin meluber. Malulah saya, dengan teman-teman cewek yang semangat menyoraki ketika itu. Akh, jadi beromantika.
[caption id="attachment_81121" align="alignleft" width="300" caption="Menikmati Pedis Barobbo, sekejam Cabai Ibu Tiri"]
Kami berkunjung ke rumah Pak Haji, selain untuk silaturrahim, juga untuk memanfaatkan refreshing hari minggu bersama keluarga. Tamasya kecil, di hari, dua minggu lalu itu, kami maksudkan untuk menenangkan otak putriku. Esok harinya Ia akan ulangan semesteran. Anak-anak riang dengan permainannya, kami orang dewasa pun menghiasi liburan kecil itu, dengan bincang ringan. Keadaan padi, kebun jagung milik Pak Haji serta putrinya yang baru dilamar, adalah focus pembicaraan.
Nama kampung itu, Dapoko. Terletak di desa Uugalung, Kecamatan Eremerasa. Dari Ibu Kota Bantaeng, saya hanya menempuhnya sekitar 30 menit, berkendaraan sepeda motor. Di sebelah utara kampung, terdapat lokasi wisata permandian alam Eremerasa, yang selalu ramai dikunjungi diakhir pekan. Permandian itu, adalah salah satu andalan wisata Bantaeng.
Karena sudah sering ke sana, saya memutuskan untuk ke Dapoko saja. Bukan lokasi wisata sebenarnya, tetapi jikalau melihat hijaunya padi, air irigasi yang mengalir, tanaman sayur di pinggir sawah, lahan pekebunan jagung, rumah panggung penduduk serta gunung yang melatarinya, serasa saya bisa menciptakan destinasi wisata yang sejuk dalam benak dan hati ini. Keramahan Haji Nuntung, seolah guide yang menuntun saya mencerapi keindahan Dapoko, yang baru bulan ini pasarnya diresmikan Pak Bupati.
[caption id="attachment_81123" align="aligncenter" width="567" caption="Nampak suasana indah, hijaunya alam Dapoko"]
Pasar rakyat itu, akan menjadikan Dapoko ke depan menjadi ramai. Bupati Bantaeng, dengan visinya akan menjadikan Pasar Dapoko sebagai pusat transaksi hasil bumi kecamatan Eremerasa dan Tompobulu yang kaya alam itu. Sayur-sayuran segar, seperti umbi, kool, sawi, kacang panjang akan dengan mudah didapatkan. Demikian halnya dengan biji kopi, cengkeh, dan kakao, nantinya menjadi tujuan pedagang pengumpul dari kota menuju pasar itu.
Kami pulang dan kembali ke kota. Sepanjang jalan saya menikmati celoteh dua putriku, Tira da Tari, yang tak cerewet bertanya tentang jenis sayur dan pohon-pohonan. Saya kemudian berhenti di pinggir sawah untuk memuaskan dahaga bertanya mereka. Pelajaran Biologi pun berlangsung. Saya terangkan dengan sederhana tentang jenis tetumbuhan, gizi yang terkandung di dalamnya, apa itu klorofil dan seperti apa kehidupan Pak Tani. Tak lupa saya mewanti-wanti. "Awas! kalau minta Indomie lagi, sayur lebih penting".
21 Desember 2010
(Destinasi Dapoko, terjadi se minggu lalu, 12 Des 2010. Mumpung ada lomba holiday festive, kucoba mengingat kesannya, dan terpostinglah catatan sederhana ini. Tulisan lomba Lainnya “Bersama Pallu Kaloa, Serasa Pulang Kampung.” Hayooo! Mari meramaikan lomba ini, dengan cerita liburanmu. Klik di SINI untuk ikutan Lomba)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H