Mohon tunggu...
Andi Harianto
Andi Harianto Mohon Tunggu... Freelancer - Kesederhanaan adalah kekuatan

Tinggal di Kota Kecil Bantaeng, 120 Kilometer, arah Selatan Kota Makassar.

Selanjutnya

Tutup

Inovasi

Bahkan Penulis ‘Kampungan’ Pun Headline di Kompasiana

11 November 2010   16:25 Diperbarui: 26 Juni 2015   11:41 626
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ingin merasakan sensasi menulis luar biasa ?, kompasiana tempatnya. Membaca tentang kompasiana, tentu ingatan kita tertuju pada harian paling terkenal di Indonesia. KOMPAS. Karena memang media blog sharing and connecting ini, merupakan bagian dari portal kompas.com. Anda ingin merasakan keluar biasaannya ?, mari membaca pengalaman penulis ‘kampungan’, berkategori abal-abal seperti saya ini.

[caption id="attachment_74732" align="alignleft" width="323" caption="Semarak dua Tahun Kompasiana"][/caption] Menjadi member kompasiana, bermula dari undangan salah seorang kawan facebooker untuk membaca tulisannya. Namanya Andi Arifuddin Gadjong. Kini akunnya tidak aktif lagi, entah apa sebabnya, mungkin kompasiana bisa menelitinya. Karena ingin berkomentar ketika itu, sayapun diarahkan admin untuk mendaftar. Gratis. Gampang, isi biodata, klik. Jadilah saya salah seorang anggota. Sayapun memberi kometar di tulisan kawan saya itu, kemudian setelah itu passif.

Pasifnya lama, sekitar enam bulan. Bukan apa-apa, saya anggap kompasiana itu tempatnya penulis hebat. Saya jadi tidak pede memposting se-paragraf pun tulisan. Anggapan saya kemudian berubah, setelah seorang kawan men share tulisannya di facebook. Kawanku itu, Yusran Darmawan yang kini menjadi kompasianer terkemuka. Hampir setiap tulisannya berbuah Headline.

Iri hati untuk juga menjadi penulis, membuatku memberanikan diri memposting tulisan pertama: Aku Tidak Malu Ibuku Penjual Madu. Luar biasa, tanggapan pembaca cukup banyak. Saya sama sekali tidak menyangkanya, tulisan itu tentang diri saya dan terkesan kampungan. Postingan pertama itu, di bulan Maret 2010. Mendapat 214 pembaca, 45 komentar dan 28 memberi rating inspiratif. Seumur-umur, saya belum pernah mendapatkan apresiasi pertama seperti ini. Tulisan perdana itu saya kemas dari catatan harian. Maksud saya ketika itu, hanya mengisi blog ku yang melompong. Bahkan saya tidak berharap ada yang membacanya. Malu, kalo nanti tulisanku dikritik.

Setelah itu, kudapati pelajaran pertamaku, Mulailah menulis, jangan malu. Tulis saja tanpa mengharap komentar. Sebelum di kompasiana, tulisanku hanya saya yang menganggapnya keren. Penuh dengan referensi dan kutulis selama-berhari-hari, kemudian bersusun di map berkas. Menjadi usang dan berdebu. Tidak ada yang membacanya, ketikapun kusodorkan untuk dibaca, saya lihat mata pembacanya jadi picing dan garuk-garuk kepala. Sulit dicerna. Jadilah saya mendapatkan pelajaran kedua, tulisan dibuat untuk dibaca selain kita, maka buatlah semenarik mungkin dan sisipkanlah manfaat. Jangan terlalu banyak. Kalau banyak, siapkan tulisan baru dengan judul yang baru. Di dunia jaman maya, orang ingin praktis tapi sarat manfaat.

Setelah tulisan pertama itu, sayapun keranjingan menulis. Di bulan Oktober lalu saya menorehkan 23 tulisan dalam satu bulan. Artinya, hampir setiap hari saya menulis. Kini saya telah menuliskan 67 Tulisan, selama delapan bulan. Ini masih sedikit dibanding kompasianer lain. Ada yang telah mencapai lebih dari seribu tulisan.

Selama tujuh tahun saya di kampus, pernah saya ikut diklat jurnalistik dasar. Ternyata selama itu, saya hanya membuahkan empat tulisan. Dua termuat di Koran kampus, dan duanya lagi dimuat di harian lokal. Tujuh tahun hanya empat tulisan ter publish, parah kan?.  Kompasiana bisa membuat kita kecanduan menulis. Menulis yang banyak dalam waktu singkat.Mau merasakannya?, bergabunglah di rumah sehat ini.

128949219231172653
128949219231172653
Bukan hanya itu, kompasiana menghargai tulisan abal-abal ini, dengan 20 tulisan bertengger di rubric terhormat HEADLINE. Saya juga heran, tulisan-tulisan itu hanya saya tulis dengan santai berdasarkan pengamatan di sekelilingku. Di kampungku. Dimanapun saya berada. Saya menjadi penulis ‘kampungan’. Mungkin karena jarang penulis yang mengaku kampungan seperti saya, maka kompasiana menjadikannya HL, agar orang tahu, bahwa kompasiana juga meng-apresiasi penulis kampungan sepertiku. Begitu kira-kira.

Pelajaran ketiga, menulislah seperti apa yang Anda lihat dan rasakan. Bukan seperti apa yang Anda pikirkan dan khayalkan. Ini (mungkin) hanya berlaku bagi penulis reportase sepertiku. Menulis yang di’rasakan’ akan mengikutkan hati pembaca, seolah berada pada keadaan yang kita rasakan.

Menulis seperti yang di’pikir’kan, justru membuat tulisan menjadi kaku dan ‘berat’. Tidak bernilai jual di era media pewarta warga seperti saat ini. Menulis seperti yang dipikirkan, kesannya egois. Ini pendapat saya, karena tulisan-tulisan yang saya pikirkan justru minim apresiasi pembaca. Bukan berarti yang dirasakan itu tidak diolah dengan pikir. Justru dengan merasa, akan melembutkan daya pikir kita, merangkai kata demi kata. Mengalir. Saya mulai menulis dengan kepekaan perasaan, baru kemudian melengkapinya dengan olah pikir. Adapun EYD, kuabaikan. saya tidak mau terkekang dengan kaidah tata bahasa. Setelah menulisnya, baru mengintip kamus Bahasa Indonesia atau Wikipedia.

Sharing and connecting adalah jargon kompasiana. Menurutku, jargon ini sangat bersahabat dan rendah hati. Dengan tulisan, kita berbagi dan terhubung dengan banyak orang. Berinteraksi dengan banyak rasa dan pikiran. Bersahabat dengan banyak suku, ras dan agama. Jadilah tulisan kita, harus diakrabkan dengan keanegaragaman. Kompasiana membuatku cinta mati terhadap Indonesia yang kaya latar budaya ini. Kecintaan itu berbuah banyak tulisan tentang hal yang berkait dengan kampung. Kampung dengan sejuta cerita di dalamnya. kampung Indonesia.

Tidak jarang pula saya memprotes dengan pedas keadaan kampungku. Jadilah saya menjadi tukang protes di kompasiana ini. Entah mengapa, banyak juga yang menyukai hal yang berbau protes. Tulisan protes yang mendapat apresiasi, bahkan dari penulis buku best seller Pak Beye dan Istananya. Tulisankuitu adalah Ketika Iklan Pemerintah Terbang Terbawa Angin. Mas Wisnu Nugroho mengisi kolom komentar dan saya begitu bahagia. Seumur-umur, baru saya mendapat komentar dari penulis Best Seller. Penulis yang gaya menulisnya saya kagumi. Santai, unik dan rendah hati. Jarang lho, kompasianer yang mendapat komentar dari Mas Inu. Mau tahu rahasianya, (bisik-bisik: Saya memaksanya berkomentar via Japri). He-he-he

[caption id="attachment_74736" align="alignright" width="300" caption="Mas Wisnu Nogroho "]

1289492369969533840
1289492369969533840
[/caption] Masih banyak pelajaran lain yang saya dapatkan, tetapi saya tidak bermaksud menggurui. Jikalau pembaca selain kompasianer ingin terlibat dalam pengalaman yang sama, saya yakin kompasiana tempatnya. Di kompasianalah tulisan dihargai, ketika kita juga menghargai karya orang lain. Sejelek apapun itu tulisan dalam kesesuaian kaidah bertata bahasa dan berkomunikasi, pasti ada manfaat yang terselip di dalamnya. Ini pelajaran keempatku. Sangat napak kompasianer yang tidak terbiasa menghargai kompasianer lain. Pasti tulisannya sepi pengunjung, kecuali kalau penulis itu langganan Headline.

Setiap orang adalah guruku, dan setiap tempat adalah sekolahku. Semakin berisi buliran padi, juga semakin pula Ia merunduk. Ini pelajaran yang paling saya sukai, dan di kompasiana saya mendapatkannya. Bagilah ilmu (sharing) dengan itu, maka ia semakin bertambah. Terhubunglah (connecting), maka dengan itu saya belajar dihargai dan menghargai karya orang lain. Kompasiana memberiku arti kemanusiaan. Ini yang Luar biasa.

Nah, sampai di sini Anda boleh berhenti membaca. Saya tidak marah.

oOo----------------------------------

Khusus saya mengucapkan Terima Kasih Kepada Mbak Iswantiyang mengajariku fotoscape. Seperti ampilannya ada pada ilustrasi gambar di atas. Juga Berterimah kasih kepada Zuragan Kripik Pedas yang mengajariku icon yang membuat kompasianalebih ceriah, serta Mbak Khussy Alfarisi yang mengajariku Printscreen. Demikian Pula kepada Yusran Darmawan, Om Jay, Pak Guru Johan Wahyudi, Mbak Endah Rahardjo, Kak Armin Mustamin Toputiri, Winda Krisnadeva, Mba Inge Yang Ngakak, Sari Novita, Mommy, MamakKetol, Della Ana, Mas Danny (SR. Wijaya), Mas Elianto Anas, yang dari kompasianer hebat ini aku banyak belajar menulis.

Bantaeng, 11 Nopember 2010

Kalau para sahabat berkenan membaca tulisan Kampungan yang Headline, berikut daftarnya. Klik saja:

Iklan Pemerintah Terbang Terbawa Angin // Ketika Orang Kampung Berobat Ke Kota// Dengusan Jantan Kuda Prabowo // Duka Cinta Gadis Berjilbab // Wahai Pemimpin Bangsa, belajalah dari masjid // Ketika Listrik Main Bola // Secantik Pramugari; Makasar Tidak Kasar // Nama Jawa Bertabur Indah Di Makassar // Kearifan Ritual Tangga Morowa // Fakta Menarik Burung Bangau Sandhill // Rahasia Perjalanan Dinas Legislator // Daftar Headline ada juga di Sini.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun