[caption id="attachment_290827" align="alignleft" width="300" caption="Memahat Ke-arifan Tradisi Morowa"][/caption]
Berjarak hanya sekitar 30 menit dari Ibu Kota Kabupaten Bantaeng, Dusun Morowa yang terletak di wilayah pegunungan Kecamatan Sinoa yang dingin ini, masih memegang teguh tradisi leluhurnya, walau nuansa modernitas sudah terasa, terlihat dari perkakas rumah tangga mereka yang sudah dilengkapi tivi, spring bad, kursi sofa dan berbagai macam perlengkapan rumah tangga lainnya. Tingkat kesadaran mereka untuk bersekolah sudah cukup tinggi. Lengkapnya, mereka sudah tidak lagi bisa dikatakan terbelakang. Warga Morowa di Desa Bonto Matenne ini, begitu bersahaja, bergotong royong, dan sangat ramah.
Saya tidak akan menyoal tradisi itu dalam hubungannya dengan agama, seperti misalnya animisme, syirik, apalagi ajaran sesat. Pengaruh budaya bahulea terasa masih begitu kental, walau tetap pengaruh agama sudah ber-asimilasi dari setiap ritual-ritual tersebut. Tertarik menulis ini, ketika suatu waktu saya memesan tangga kayu jati. Di Morowa memang banyak terdapat tukang kayu, mereka begitu ahli dalam hal kayu-kayuan ini.
Orang-orang di dusun Morowa dan sekitarnya, biasanya diminta jasanya untuk menjadi tukang kayu ataupun tukang batu di kota, bahkan Dg.Mammang yang mengerjakan tangga kayu ku itu barusan pulang dari Kolaka, Sulteng untuk sebuah proyek pembangunan beberapa rumah pangung. Mammang dalam ceritanya, berkolaborasi dengan para pengukir dari Jepara. "bajiki tauwwa Jawayya cara na ang'ngukiri, tapi punna kitte kassaki pare'ta" (Orang Jawa ahli/pintar dalam hal mengukir atau menghiasi, tetapi kami (orang Makassar) ahli dalam hal kekuatan bangunan). Kolaborasi keindahan dan kekuatan ini, menyatu dalam kekokohan Makassar dan liuk indah ukir Jepara.
Dalam hitunganku, waktu pembuatannya cukup sehari saja. Bahannya sudah lengkap, dan tentu alat tidak menjadi soal bagi tukang kayu sepertinya. Perkiraanku keliru, ternyata ada beberapa ritual yang harus dilewati. Akh, sebenarnya aku agak jengah juga. Lebaran ketika itu sudah mendekat. Tangga harus selesai. Mau diapa lagi, mereka tidak mau dipaksa logika praktis ala aku. Tangga menurutnya adalah titian hidup. Membuatnya tidak asal buat- bisa kualat natinya. Pembuatan tangga yang tidak mengikuti ritual Morowa akan mencelakakan pemiliknya dan menurunkan pamor tukang nya.
Seperti itukah ? Ribet. Karena maksud menghargai, sayapun memesan gula merah, kelapa, pisang satu tandang, dupa kemenyan dan bahan untuk pembuatan umba-umba. Umba-umba adalah sejenis pengana khas yang terbuat dari gula merah, tepung beras, dan kelapa. Umba-umba ini juga dikenal dengan onde-onde. Bentuknya bulat, rasanya nikmat. Kalau tidak hati-hati potongan gula dibagian dalam onde-onde bisa muncrat kena hidung atau baju. :)
Ada cerita, entah benar atau tidak. Orang Belande penjajah ketika itu, mengakui kehebatan orang Morowa dalam membuat onde-onde. Mereka heran, bagaimana caranya memasukkan potongan kecil gula aren dalam onde-onde. Tidak ada bekas lubang ataupun tusukan, ternyata ada gula merah di dalamnya. Aha, Orang Morowa bangga dikatakan pintar sama Kompeni, padahal bisa saja kompeni itu sekedar memuji agar para ekstrimis itu tidak lagi melindungi para gerilyawan yang menjadikan wilayah pegunungan Sinoa ini sebagi tempat bersembunyi dan menyerang tba-tiba. Entahlah, saya juga tidak paham betul pikiran Belanda, bisa saja itu hanya sekedar bualan.
Selesai didupa-dupai segala, akhirnya tangga mulai dikerjakan. Kepala tukang mengukurnya dengan hati-hati, jarak anak tangga harus seimbang, kayu nya juga tidak main-main, harus pilihan. Lurus, kuat dan tidak koreng. Ada lagi, anak tangga harus ganjil, 5, 7, 9 atau 11 anakan. Apa pula ini ? aku bertanya. Ternyata angka ganjil adalah angka keramat. Anak Tangga tidak boleh berpasangan, karena pemiliknya bisa celaka, saat menaikinya. Aku percaya saja, kalo hal kecelakaan pasti saya rada-rada percaya. Siapa tahu memang demikian. Tak apakan mengikutinya, toh bukan saya yang membuat.
[caption id="attachment_290950" align="alignright" width="187" caption="Vectorstock (Graphic Design By Tom) "][/caption]
Akhirnya selesai, setelah lima hari menunggu bersungut-sungut. Tangga diangkut dengan mobil pickup, jarak dari Kota Bantaeng ke Morowa sekitar 20 menit. Waktu itu sore sudah menjelang, berapa jam lagi waktu berbuka tiba. Tangga kemudian diukur ulang, diteliti dudukannya, diusap-usap, Ffffuh...Fffuh.....kepala tukang melepaskan jampinya dengan tiupan memutar. Ada yang salah, ukurannya tidak tepat. Kepanjangan sedikit. Akh, ini tukang betul-betul ribet. Sebelumnya kan sudah diukur kenapa bisa salah !?.
Kenapa ki Daeng, saya bertanya. Dia tidak langsung menjawab, ia sambil meneliti kemudian berkata. "Anu, kukaluppai, nia' pale tegele" (Ekh, anu saya lupa ternyata ada tegel yang mengganjal). Wah,sepandai-pandai tupai melompat pasti akan jatuh juga. Pepatah ini sebenarnya tidak nyambung, yang aku maksud, se-ahli bagaimana pun tukang pasti kadang ada yang terlewat. Disini jampi-jampi tidak berperan. Ini sudah masuk persoalan teknis.
Karena kendala teknis ini, tukang terus bekerja sampai saat berbuka. Mereka tidak mau berhenti, untuk istirahat. Menurutnya, pemasangan tangga harus selesai sesegera mungkin tidak boleh ada jeda. Tangga tidak bisa dibiarkan teronggok begitu saja, selesai harus langsung dipasang walaupun sampai pagi hari. Itu harus ! harus !......, akhirnya tangga selesai dan waktu berbukapun tiba. Kami menikmati buka puasa, setelah itu Daeng Mammang dengan pasukannya pulang. Cukup 500.000 harga persahabatan, tangga itupun selesai. Alhamdulillah, sampai saat ini saya selamat menaikinya naik turun. Terlepas dari jampi-jampi, memang tangga itu sangat pas ditelapak dan mulus tetapi tidak licin.
Ritual pembuatan tangga ala Morowa, tentu bukan saja saat waktu aku memesannya. Hal ini sudah turun-temurun dari nenek moyang para tukang yang bersahaja itu. Tukang kayu, adalah ilmu yang diwariskan di Morowa - seolah menjadi genetik, maka tidak heran kalau hanya dari keluarga itu-itu saja yang ahli. Adapun ritualnya, bagi saya adalah bentuk penghormatan mereka terhadap kayu yang dihasilkan oleh alam tempat mereka hidup. Dengan ritual itu, mereka diharuskan berhati-hati dalam pembuatannya, teliti dan mengikuti detail yang sudah berlaku ribuan tahun.
Bantaeng, 14 Oktober 2010
Kalau Anda tidak meyakini ritual ini, cukup menghormatinya sebagai bagian dari tradisi bangsa yang kaya budaya ini. Mari ki Daeng,..............
---------------------
Sebelum memposting ini, saya termotivasi dengan beberapa tulisan Sahabat kompasianer yang menarik, Diantaranya Pak Guru Johan Wahyudi “Anda Memang Luar Biasa“, Sari Novita “Perempuan di Perbatasan “SR. Wijaya “Kesumat Buat Hipermaket ”. Om Jay “ Enakan mana, Menulis Sebelum Tidur atau….“ Mommy “Hati-Hati Menjaga Hati” Mas Linnga “Tehnologi+Puisi=Kemanusiaan,Antara Presiden RI dan Chile”, Iip “Kali Pucung”dan banyak lagi yang lainnya.
----------------------
Sumber Foto: Selain INI, Dokumentasi Pribadi Kalau Tentang Ikon, saya belajar dari Zuragan Qripix Pedez™ “Kumpulan Icon Untuk Anda”
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H